13. Singid

22K 3.1K 579
                                    

13. Singid






"Enggak, aku tuh serius."

Perkataan Jena di balas tawa kalem Antha yang tengah memindahkan deretan mie instan dari rak ke dalam troli belanjaan. Mereka masih berjalan beriringan dengan Antha yang sibuk mengambil beberapa hal secara impulsif. Tak peduli butuh atau tidak. Selama menarik mata, maka akan ia ambil begitu saja.
Sementara Jena sibuk mendorong troli sambil ribut bercerita. Tak kenal kata bosan, mengulangi setiap kata dengan menggebu, pantang menyerah.

"...dia ngelihatin aku terus tiap di kelas," ucapnya. "Tatapannya nggak biasa. Bener-bener dari semua murid yang paling sering dilihatin tuh cuma aku. Ngerti, nggak?"

Topik yang diangkat Jena pun masih sama sejak minggu lalu. Chef yang mengajar di tempatnya kursus, yang menurut Jena sangat patut di curigai keberadaannya.

"Itu namanya kepedean, Cil," sahut Antha terkekeh-kekeh, melirik Jena sekejap. "Wajar kalau laki-laki ngelirik perempuan. Bukan berarti dia suka sama kamu."

"Tapi cara ngeliriknya tuh beda, Anthariksa!"

"Ya mungkin dia cuma ngebatin, ini bocil anak siapa sih? Diajarin dari lama masih ajaaa nggak becus masaknya. Gitu."

"Hih! Tapi dia tuh minta nomer telponku!" bantah Jena, masih ngotot. "Dia nge-chat terus, nanya 'lagi apa, Semesta? Udah makan belum, Semesta? Berangkat kursus nggak hari ini, Semesta?' Kayak gitu!"

Antha ketawa, memancing tangan Jena bergerak menggebuk punggungnya. Tanpa sedikitpun rasa bersalah, lelaki itu melanjutkan ledekan. "Umumnya, laki-laki tuh sukanya sama perempuan yang enak di lihat."

"Diem!"

Antha terbahak-bahak, mengacak rambut Jena sampai si gadis misuh-misuh sebal.

"Aku nggak ingat pernah ketemu dia dimana. Tapi aku yakin banget kalau aku tuh kenal dia," gumam Jena pelan,  berjalan mengikuti langkah Antha lagi. "Tiap deket dia, aku berasa familiar gitu."

Antha melirik sambil menimpali. "Kamu juga ngomong gitu waktu lihat foto Leon, padahal kalian nggak pernah ketemu."

Jena berkedip-kedip lugu, menggaruk pelipisnya dengan telunjuk sambil bergumam lagi. "Aku juga berasa pernah lihat iparmu yang itu. Tapi lupa dimana."

"Mana ada," kekeh Antha geli.

"Beneran! Aku yakin pernah lihat matanya."

"Nggak mungkin," sangkal Antha kalem. "Meskipun tipe Leon jelek, tapi nggak sejelek ini juga, lah." Ia menyipit, memindai tubuh Jena dari ujung rambut hingga ujung kepala lalu ketawa iseng. "Adekku akhlaknya memang zonk, tapi tampangnya lumayan. Jadi, masih bisa di mengerti kenapa Leon bisa sampai khilaf. Lha kamu?" Ledeknya. "Kalaupun pernah ketemu, pasti cuma sekelibat. Nggak mungkin sampai ada adegan tatap-tatapan. Emang apa yang bisa Leon tatap dari kamu? Datar begini." Ia membuat garis lurus untuk menggambarkan bentuk tubuh Jena sambil berdecih.

"Diem nggak?!" Amuk Jena kesal. "Aku nggak sejelek itu! Dulu waktu kuliah banyak yang naksir aku, tahu!" pamernya. "Meskipun nggak sebanyak Bia sama Didi," sambungnya lagi, pelan sekali. "Yang penting pernah di taksir orang!" Ia menyalak emosi. Berjalan lebih dulu, meninggalkan Antha yang menyusul di belakang sambil menjawil pinggangnya.

"Ngambek-ngambeekkk," ledek Antha iseng. "Si pendek ngambeeek."

"Jangan gitu, geli!" Jena berbalik, menggeplak tangan jahil Antha hingga si empunya kembali ketawa.

"Berapa orang?" tanya Antha, melingkarkan tangan di bahu Jena tiba-tiba. "Hm?"

Jena mendongak, bertanya. "Apanya?"

Anggrek api dan Mata ketigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang