5. Ujubriya
Jena memang tidak tahu seluruh rahasia di dunia ini. Tapi sedikit banyak ia tahu, bahwa satu orang yang diam-diam mengatur perpolitikan di negara tercinta adalah orang yang sama, dengan yang saat ini tengah menunduk, sibuk mengobati luka-luka di tubuhnya.
Dari tatapan matanya yang hangat, Jena sangat percaya bahwa satu kata dari orang ini bisa sangat berpengaruh pada siapa yang akan memegang tampuk kekuasaan dalam negeri di periode selanjutnya. Keterkaitan keluarga mereka dalam segala hal sudah jadi rahasia umum sejak dulu. Jadi, bukan hal istimewa lagi kalau Jena tahu soal ini.
"Nanti pasti akan gatal lukanya. Tapi jangan di garuk, ya."
Jena tidak menyangka, akan ada satu masa dimana tubuhnya yang tidak berguna ini di sentuh dan diobati oleh orang ini.
"Untuk sementara waktu hindari olahraga yang terlalu berat dan kegiatan ekstrem. Jangan minum alkohol, jangan merokok, dan jangan begadang. Minum obatnya tepat waktu, jaga pola makan, dan sedikit gerak supaya ototnya tidak kaku. Selesai." Ia bangkit setelah mengganti perban di pundak Jena. "Tha,"
"Hn," Lelaki yang sejak tadi mengamati di pinggir kamar itu bergumam sebagai jawaban.
"Resepnya."
"Taruh situ aja."
"Bayaran gue?" Lelaki itu merapihkan tas dan peralatan sambil bertanya. "Lo berani manggil dokter spesialis ke rumah, terus nggak ada kesadaran buat bayar?"
"Kebalik. Harusnya gue yang minta bayaran," decak Antha sebal. "Anak lo tuh ngegigitin kabel sampai mau putus, macbook gue di dudukin sampai retak, rumah gue di berantakin nggak karuan." Adunya. "Seandainya gue jadi babysitter dan disuruh jagain Cherry seharian, walau dibayar satu milyarpun gue nggak sanggup."
Sangga melirik sang tersangka, yang kini tengah menggelayut manja di kakinya. "Yudith?" Panggilnya pelan. "Siapa yang berantakin rumah Mantha?"
"Tapa, Papi?" tirunya.
"Siapa, yaa?"
"Ceyi, Papi?" tanyanya balik.
"Betul kamu?"
"U-uh." Si bocah mengangguk sok tahu. "Ceyi."
Sangga terkekeh lantas menunduk, menggunakan sebelah tangan untuk mengangkat anaknya ke gendongan. "Anak bayi kelayapan sampai malam begini, nggak dicariin Mami kamu, hm?"
"Tadi sore di jemput. Kielnya balik, tapi dia nggak mau," jawab Antha, mewakili. "Nongkrong berjam-jam sambil nonton Cocomelon sampai hape gue mau meledak."
"Hari minggu memang waktunya dia nonton kartun," jawab Sangga tanpa rasa bersalah. "Ikhlasin aja. Yang bikin ulah ponakan lo sendiri ini, bukan anak orang," katanya. "Yudith, say sorry ke Mantha."
"Tata, Ceyii soyii."
Meski tampak tak rela, Antha tetap tersenyum ketika Cherry nyengir padanya. "Sori aja, nggak di kiss dulu, Mantha-nya?"
Bibir bocah itu mengerucut dari jauh, berusaha menggapai omnya sampai Antha mendekat, menempelkan pipi disana. "Mmuaahh!"
"Di maafkan," ucap Antha lembut. "Kasih Mantha senyum cantik dulu. Senyum cantiknya gimana?"
Si bocah nyengir, berkedip-kedip dengan mata sipit yang genit. Sukses membuat Antha tergelak gemas.
Sangga mengecupi wajah putrinya berulangkali, lantas mengernyit. "Ya ampun, Yudith. Kamu Bau asem." Ia melirik Antha, berdecak pelan. "Nggak lo mandiin anak gue?"
"Orang anaknya di mandiin nggak mau," balas Antha, membela diri. "Cherry, siapa yang tadi nangis waktu diajak mandi, angkat tangaaan?"
Dengan segera bocah satu setengah tahun itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi. "Ceyii!" Akunya, membuat Anthariksa ketawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anggrek api dan Mata ketiga
RomanceDendam kesumat membara di dadanya. Bagai api yang berkobar tak tahu arah, melalap segala hal yang lewat tanpa kecuali, si anggrek api berjalan menyusuri setiap jengkal tempat dan orang-orang yang konon katanya menjadi penyebab keluarganya hancur sed...