39. Kangsèn
"Mas Kiel yang baik yaa. Jangan rewel, jangan nangis selama Mama sama Papa nggak ada," ucap Medhya dengan senyum lebar. Ia berlutut, memakaikan topi di kepala anaknya yang pagi itu tampak ganteng dengan setelan serba spiderman dan topi senada. Bocah itu berkedip-kedip sembari mengangguk patuh, mendengarkannya. Ransel bergambar manusia laba-laba tersampir rapi di belakang punggungnya. Tak lupa botol minum Thomas kesayangan yang dikalungkan ke leher. Anak itu sudah siap berpetualang dengan kakek dan neneknya dua hari satu malam kedepan. "Nggak boleh sering-sering minta gendong. Oma sama Opa punggungnya sakit. Oke?"
"Hu'uh, Mama. Masiel njanyanyis," jawabnya yakin. Mata bundarnya yang kebiruan memancarkan semangat luar biasa ketika mengerjap. "Masiel yibuy soyahnya ya Mama?" Bahkan disaat-saat beginipun, ia tak lupa menanyakan lagi perihal sekolahnya. Benar-benar sesuatu anakan Prambudi satu ini.
"Iya," jawab Medhya, nyengir mencurigakan. Harusnya sih, Kiel berangkat les sabtu ini. Tapi tak mungkin Medhya jujur, bisa-bisa anaknya menolak pergi kalau begitu.
Anak ini memang buah nyata dari Ginan Satyatama. Ia gila belajar, persis seperti ayahnya yang gila bekerja. Cuma Medhya yang tidak gila apa-apa dirumah ini. Gila mobil dikit, sih. Tapi jarang dapat ijin mengemudi. Sial.
"Miss-nya sakit perut. Mas Kiel bisa main hari ini sama besok. Jangan belajar disana, yaa. Pokoknya main aja," pesannya sungguh-sungguh, membuat sang suami berdecak pelan dibelakang.
"Iya, Mama."
"Nggak apa-apa. Opa bisa temani Argatama kalau mau belajar disana," jawab Hangga dengan wajah bahagia. Menggandeng sebelah tangan cucunya tersayang. Sementara istrinya berdiri dibelakang bocah itu, memegangi pundaknya dengan raut tak kalah gembira darinya.
"Guter Junge."
"Ngomong apa, Oma?" bisik Medhya penasaran.
"Masiel anyak baik, Mama," jawab bocah itu nyengir.
Medhya ber'oh' sambil manggut-manggut.
"Nanti ada beberapa anak Gatama yang akan mengikuti di belakang," sahut Ginan pelan. "Pulangkan Yehezkiel sesuai kesepakatan. Jangan molor apapun yang terjadi."
"Papa mayah?" tanya Kiel lugu. "Papa mau pigi main sama Masiel sama Oma sama Opa?" tawarnya. "Papa jijanya yibuy tayak soyahnya Masiel?"
Ginan memaksa senyum tipis sembari menggeleng. "Enggak, Sayang. Papa nggak marah," katanya. "Kerjanya Papa masuk, nggak libur."
"Tapi Papa gini," bocah itu mengerutkan kedua alis hingga tersambung, mengerucutkan bibir, membuat ekspresi marah ala dirinya sendiri.
"Makanya muka kamu biasa aja. Jangan judes," komentar Medhya pelan, mendongak pada suaminya yang tengah memutar mata. Tampak belum sepenuhnya rela melepas putranya pergi. "Anaknya aja sampai takut," cibirnya. Kembali pada Kiel untuk menenangkan. "Papa nggak marah. Its okay."
"Mama njaboyeh nyanyis, pas Masiel nja aja, ya?" ujar Kiel manis. Melepas pegangannya pada tangan sang Opa guna memeluk ibunya. "Yuvyu, Mama."
"Love you more, cinta Mama," jawab Medhya nyengir. Mengecup kedua pipi dan bibir anaknya yang mengerucut sambil terkekeh. "Happy ya mau main sama Oma-Opa?"
Tanpa sungkan bocah itu mengangguk. "Masiel nyanti mau ... uumm ... mau mam eskim, sama candy, sama nyaik peja sama Oma sama Opa."
Medhya ketawa sambil manggut-manggut. "Nanti ceritain ke Mama lagi ya, Mas Kiel ngapain aja disana? Sekarang tasnya dipakai yang betuul ... okay! Finish! Ganteng sekali anak Mama. Kiss lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Anggrek api dan Mata ketiga
Roman d'amourDendam kesumat membara di dadanya. Bagai api yang berkobar tak tahu arah, melalap segala hal yang lewat tanpa kecuali, si anggrek api berjalan menyusuri setiap jengkal tempat dan orang-orang yang konon katanya menjadi penyebab keluarganya hancur sed...