8. Manon

22.3K 3K 745
                                    

8. Manon







Tiga hari belakangan, lelaki itu jadi kalem. Bukan yang pendiam banget, tapi intensitas bacotannya berkurang nyaris lima puluh persen. Jika dulu, pagi hari Jena selalu di sambut dengan ledekan tiada batas dari si Prambudi ketiga tersebut, akhir-akhir ini tidak lagi.
Sesekali, Anthariksa masih meledek kemampuan memasak Jena yang belum berkembang meski sudah rajin berangkat kursus memasak tiap hari. Tapi, godaannya hanya sebatas, "Dibayarin kursus mahal-mahal, masak mie instan kuahnya masih kayak bendungan. Hambar." Gitu doang.

Jena kan jadi takut, ya.
Kata orang-orang terdahulu, manusia kalau tiba-tiba berubah drastis bisa jadi akan segera mati. Jadi, pertanyaan itu terngiang-ngiang di kepalanya beberapa hari belakangan.

Apakah si bajingan Prambudi ini akan mati? Kenapa sifatnya berbeda? Kenapa dia tak semenyebalkan biasanya? Jena khawatir sekali.

Ia masih akan berpikir Antha sekarat seandainya Andreas tak muncul secara misterius pagi-pagi, menjawab segala kegundahan hatinya dengan kalimat sedatar,

"Jangan khawatir. Mas Antha nggak kenapa-kenapa. Dia berubah pendiam belakangan karena di telpon mantan tunangannya."

Jena langsung menoleh. Melirik Andreas yang masih santai menyusun bento ke piring. Lelaki itu perhatian sekali. Datang khusus hanya untuk menyiapkan sarapan bagi bosnya. Seandainya Jena tak tinggal disini, ia pasti akan percaya dengan gosip yang beredar, tentang kiblat seksual mereka yang mulai melenceng.

"Dia selalu begitu tiap kali Bu Alisa menelepon lagi. Terakhir kali mereka bertemu di pesta pernikahan Pak Arkaish, Mas Antha juga murung dan tidak semangat melakukan apapun selama seminggu," terangnya lagi. "Tapi dia akan baik-baik saja nanti. Asal kamu jangan bicarakan Bu Alisa di depannya."

Alisa?

"Alisa Hartanto?"

"Ya."

Dahsyat. Rupanya si bajingan itu betulan gagal move on.

"Emang dia beneran masih suka sama Alisa?"

Andreas menjawab dengan helaan napas panjang. "Mungkin."

Jena manggut-manggut. Mengambil satu balok gula untuk diaduk bersama kopi yang mengepul.
Keduanya berdiri bersisian di pantry. Jena sibuk membuat kopi, Andreas sibuk dengan bekalnya yang hari ini di bawa khusus dari rumah untuk sarapan bersama. Sungguh pemandangan yang harmonis, macam rumah tangga yang di kepalai satu suami dan dua istri.
Oh, suami istri. Sial, Jena jadi mengkhayal!

"Jangan suka Mas Antha."

Belum juga lima menit berlalu sejak Jena membatin kata 'harmonis' di kepala. Si sekretaris kesayangan terpantau mulai cari gara-gara lagi dengannya.

Awalnya, Jena menanggapi perkataan Andreas dengan sangkalan kalem.

"Siapa juga yang mau sama atasan situ."

Namun Andreas menambahi. "Kamu," tembaknya. "Kamu nggak tahu diri. Sudah diberi tumpangan, malah jatuh cinta ke majikan sendiri," katanya. "Suara jantungmu berisik tiap ada Mas Antha. Isi kepalamu bunyinya 'aku suka dia-aku suka dia-aku suka dia' tiap hari." Kalimatnya kali ini berhasil membuat Jena mengerjap kaget, terbata-bata mengelak.

"S-siapa ... siapa juga yang begitu!" teriaknya, berlebihan sekali. "ENGGAK, KOK!"

Andreas berhenti bergerak hanya untuk menoleh, menatap Jena dengan tatapan dengki lantas menambahi. "Jangan cium dia lagi."

Jena megap-megap panik. Mundur beberapa langkah saking shocknya. "S-siapa ..." Gadis itu menelan ludah. Mengerjap-ngerjapkan mata sambil celingukan. Lantas mengangkat kaki dan menendang paha Andreas sekencang yang ia bisa. "Jangan ngomong sembarangan!" teriaknya.

Anggrek api dan Mata ketigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang