42. Runtyaka
"Blok, perempuan itu sukanya yang pasti-pasti," jawab Devin sok bijak. Dibalas dekheman geli Leon yang tengah menunduk, sibuk mengikat tali sepatu istrinya yang hobi memerintah macam mandor kuli bangunan. "Pasti ganteng, pasti kaya, pasti royal, dan pasti seriusnya," tambah Devin lagi. "Lah elo, udah nggak sebegitu ganteng, duit banyak sih, tapi buat apa kalau medit. Sama pacar aja masih main utang-utangan. Belum lagi disuruh beli cincin nggak berani. Gue jadi dia juga putar balik ke laki satunya. Males banget sama lo," decihnya puas. Kini menyeringai. "Tapi tenang aja," ia terduduk dengan tegak. Menepuk bahu kakaknya sambil mengerjap penuh tipu daya. "Gue berpengalaman soal beginian. Lo cuma harus transfer gue lima ratus juta, setelah itu gue akan bantu lo dengan berbagai macam saran brilian. Gimana?"
"Gue nggak butuh saran lo," jawab Antha dengan raut kesal. Terduduk di ruang tunggu sementara Jena sedang menjalani pemeriksaan dengan seorang dokter di dalam. Gadis itu butuh sedikit terapi agar bahunya bisa pulih sempurna lagi.
Soal Devintari dan Leonard, kebetulan mereka berpapasan setelah dua sejoli itu selesai melakukan pemeriksaan kandungan. Memang apes sekali Antha hari ini. Sudah kepalanya pusing dua hari belakangan gara-gara teror perjodohan sialan yang Jena ceritakan, kini ditambah iblis berbentuk adiknya sendiri yang tiada henti berusaha memoroti kekayaannya.
"Ditinggal kawin lagi baru tahu rasa," cibir Devin dengan senyum pongah. Melirik suaminya lantas berdecak. "Beib!" protesnya. "Kan tadi aku udah bilang, ikatnya jadi pita tiga, bukan pita dua!" serunya, menggerak-gerakkan kaki dengan kesal. "Aku nggak mau. Ulangin ikat lagi sampai pitanya ada tiga. Jangan berhenti sampai aku bilang iya."
Antha melirik Leon yang manut-manut saja, sama sekali tak membantah. Dengan mata menyipit iba, ia berdecak. "Kasian, mana masih muda," gumamnya. "Kata gue mending lo minggat, Le. Nyari istri yang agak waras dikit. Daripada seumur hidup nelangsa begini."
Leon mendongak sejenak, tersenyum tipis. "Dia sempurna," katanya.
Anthariksa bergidik jijik. "Nggak ketolong," balasnya. Beralih pada sang adik yang sibuk mengusap-usap perut tanpa beban. Bibir Antha tertarik tipis, tangannya ikut tergerak menyentuh perut Devin lantas bergumam. "Mirip Papa kamu aja ya, bayi. Mirip Mantha juga boleh sih, asal jangan mirip Ginan," katanya.
Devin mendengus, tapi tak menolak. Justru menambahi. "Yang penting jangan Mirip Sanggatama. Males banget ngelihat mukanya."
Lagi-lagi Leon hanya tersenyum tipis. Masih sibuk membentuk pita tiga pada sepatu istrinya, yang entah bagaimana caranya. Yang penting ia mencoba. Soal bagaimana hasil akhir nanti, serahkan saja pada yang maha kuasa.
"Tha," panggil Devin lagi. "Gue bisa gagalin rencana perjodohan si copet," bisiknya. Menodongkan tangan. "Murah, cuma lima ratus juta. Transfer hari ini, besok gue jalanin rencananya."
"Radhistyatama," panggil Leon lembut. Masih fokus ke tali sepatu yang berkecamuk tak karuan.
Devin menunduk. "Apa?"
"Aku sudah bilang, jangan minta uang dari sembarang orang."
"Aku nggak minta uang sama sembarang orang, aku minta sama kakakku!" serunya tak terima. Kembali pada Anthariksa dengan kerjap santai. "Uang segitu nggak ada apa-apanya dibanding kisah asmara lo. Percaya sama gue."
"Nggak. Gue menolak bersekutu sama setan," balas Antha sekenanya. Berdiri saat pintu ruangan itu terbuka dan Jena dituntun keluar perlahan. "Hei," sapanya, tersenyum manis. "Udah?"
Perawat yang membantu Jena mesem-mesem mengiyakan. "Kalau bisa jangan naik kursi roda terus ya, Pak. Kata dokter, sebaiknya bawa jalan aja biar ototnya nggak terlalu kaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Anggrek api dan Mata ketiga
RomanceDendam kesumat membara di dadanya. Bagai api yang berkobar tak tahu arah, melalap segala hal yang lewat tanpa kecuali, si anggrek api berjalan menyusuri setiap jengkal tempat dan orang-orang yang konon katanya menjadi penyebab keluarganya hancur sed...