3. Andrepati

20.7K 2.9K 525
                                    

3. Andrepati






Jena bersumpah, ia tak pernah melarat seumur hidupnya.

Sejak lahir hingga umurnya yang sekarang --dua puluh enam-- tingkat kesulitan ekonomi terparahnya mentok saat kuliah dengan uang saku yang pas-pasan. Tapi tetap saja, dulu ia punya Gamael yang bisa diandalkan jika sisi konsumtifnya sebagai manusia sedang kumat hingga berimbas pada dana bulanan yang menipis sebelum waktunya. Sementara sekarang? Siapa yang harus Jena andalkan?

Terlebih, hutang Maminya tak masuk diakal. Mau cari dimana uang sebanyak itu dalam waktu semalam?

Royalti dari tulisannya hanya cukup untuk makan. Sisa uang di rekeningnya bahkan tinggal beberapa ratus juta saja. Dan itu adalah nominal terkecil yang pernah Jena pegang seumur hidup, sebagai cadangan nyawa. Sumpah. Jena belum pernah semiskin ini dulunya.

Jika Jena nekat memberikan seluruh sisa tabungan pada si lintah darat, artinya ia harus hidup menggelandang dan kelaparan setelahnya. Sementara jika ia berdiam diri tanpa melakukan apa-apa, satu-satunya peninggalan ayahnya harus ia relakan seperti halnya aset-aset lain yang sudah melayang.

Jena tidak akan merelakannya. Jadi, ia bertekad melakukan segala cara sebelum menyerah begitu saja.

Mudiharjo yang disebut-sebut Maminya pagi tadi, ternyata persis seperti apa yang Jena duga. Komplotan lintah darat yang punya markas di seberang pinggiran kota Surabaya. Jena harus memacu motornya lebih dari satu setengah jam untuk sampai kemari. Melepaskan helm dan turun dari motor setelah seorang bodyguard bertubuh besar memelototinya. Celana jeans di padu kaos oblong sepanjang lengan tak mengurangi sedikitpun rasa percaya diri Jena. Dengan kerjap angkuh gadis itu mendongak, melempar tanya.

"Om Murdiharjo-nya ada?"

Yang di sambut kernyit heran bodyguard tersebut, sebelum ia menjawab. "Paket JnT di titip disini aja."

Bangsat.
Jena di kira tukang paket! Bedebah ini benar-benar minta di hajar!

"Saya bukan mbak-mbak JnT!" bentaknya tak terima. "Om Murdiharjo-nya ada, nggak?! Saya mau ketemu sekarang juga!"

"Siapa?"

"Om Murdiharjo," jawab Jena percaya diri.

"Ada." Bodyguard itu menjawab dengan gurat geli. "Di kuburan," lanjutnya,  terbahak-bahak.

Dengan kesabaran setipis kulit martabak di belah dua, ditambah tempramennya yang bukan main jeleknya, Jena mengepalkan tangan. Berjinjit guna menarik kerah bodyguard di depannya, melayangkan tinju tanpa basa-basi.

Premanisme adalah prinsip hidup Jena paling mutlak.

Geger pecah di detik itu. Sebab tiga orang lelaki besar menyusul keluar dari dalam gedung, mengeroyoknya. Mereka nyaris menghajar Jena ramai-ramai seandainya tak ada mobil sedan yang menepi, dekat sekali. Nyaring suara klakson terdengar sebelum lelaki muda keluar dari sana. Menendang salah satu bodyguard yang tadi memegangi kedua lengan Jena lantas memicingkan mata.

"Di bayar mahal-mahal buat menjaga ketertiban malah ngeroyok tukang paket!"

Sudah dibilang, Jena bukan tukang paket!

"Heh, Pak! Kalau ngomong di pikir dulu, ya!" seru gadis itu sebal. "Dipakai betul-betul matanya! Jangan asal bicara!"

Lelaki itu menyipit, kemudian keningnya berkerut sebelum memberi isyarat agar Jena di lepaskan. Ia berkacak pinggang sambil bertanya. "Nyari siapa?"

"Udah di bilang, Om Murdiharjo!" Teriak Jena kesal. Habis kesabaran. "Suruh dia keluar! Saya mau ketemu!"

Lelaki itu melirik keempat bodyguard-nya dengan datar, sebelum kembali pada Jena dan menjawab. "Bapak saya baru mati seminggu lalu. Kalau mau ketemu dia, kamu bisa pergi sendiri ke Sidoarjo. Kuburannya ada disana."

Anggrek api dan Mata ketigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang