23. Sahita
Anthariksa sudah bangun jauh sebelum Jena. Tapi entah untuk alasan apa, lelaki itu tak segera beranjak dari tempatnya meski seluruh tubuhnya sudah pegal setengah mati.
Bisa jadi, itu semua karena seseorang yang kini bergelung di pelukannya, berbagi hangat tubuh dengannya semalam suntuk. Antha tak memberi sejengkalpun jarak bahkan ketika gadis itu bergerak. Saat Jena balik badan dini hari tadi, Antha bangkit untuk pindah ke pinggir sofa demi bisa memeluk gadis itu lagi, sekalian menjaga tubuh Jena agar tak berguling jatuh ke lantai.
Pagi buta saat ia terbangun, Antha langsung meraih Jena lagi ke pelukan. Menyandarkan dagunya di kepala si gadis yang masih lelap dalam tidur sembari berpikir keras, tentang apa yang ia rasakan.
Tidak munafik. Jainari cukup menarik buatnya sekarang. Bisa jadi karena mereka terbiasa bersama, atau bisa jadi juga karena Jena adalah gadis pertama yang mengusik kesendiriannya setelah bertahun-tahun Antha vakum dalam urusan asmara. Antha sama sekali tak menampik bahwa ia nyaman bersama Jena. Tapi kalau di pikir-pikir lagi ... apakah nyaman adalah satu-satunya hal yang ia cari saat ini?
"Tha,"
Antha menunduk, menjawab Jena yang mengigau dalam tidur dengan gumam lembut. "Hmm," ia tersenyum tipis, memainkan rambut Jena sambil sesekali mengecup puncak kepalanya.
Ia menghela napas panjang. Tampaknya, segala sesuatu mengenai perasaan terlalu dini untuk ia pikirkan. Jainari masih punya banyak hal yang harus di selesaikan. Antha tak mau fokus gadis ini terpecah ke hal lain untuk sekarang.
Baik. Mari kita jalani dulu apa yang ada. Tidak perlu ribut memikirkan hal lain selama Jainari tak membahasnya. Antha mengangguk pelan, lantas kembali memejamkan matanya. Mencoba ikut bergabung dalam mimpi yang Jena miliki hingga beberapa menit berselang, ponselnya berbunyi.
Antha mendengarnya, tapi ia tak berniat mengangkat panggilan itu. Alih-alih bangkit, ia justru sibuk menarik pinggang Jena saat gadis itu berbalik. Belum rela berpisah.
"Diii," racau si gadis dengan nada manja. "Biaaa,"
Antha mendengus pelan, iseng menjawab. "Hmm,"
Menenggelamkan hidungnya di tengkuk Jena, mengecup permukaan kulit gadis itu sesekali.
"Nanti aja," gumamnya. Coba menggunakan telapak tangannya untuk membelai dada gadis itu selembut mungkin, lantas tersenyum geli saat tubuh Jena merespon sentuhannya dengan kaku, menegang layaknya amatiran.Jemari lentik gadis itu menyentuh lengannya sebelum pelan-pelan membalikkan tubuh. Membuat insting jahil Antha terpanggil dan ia berakhir menarik Jena lagi hingga tersuruk di bawah dagu. Pura-pura menutup mata sambil memanggil namanya.
"Jei?"
"H-ha?"
Ia berlagak mengerjap, menundukkan kepala untuk bersitatap dengan Jena yang berkedip-kedip kaku. Ponsel di meja berdering lagi dan ketika itulah Jena berjingkat, berteriak histeris.
"AAAAAAAAHHH!!!"
Antha nyaris mati menahan tawa sampai tiba-tiba Jena berdiri, menginjak perutnya lalu melompat ke lantai, sibuk menutupi dada dengan kedua tangan.
"JAINARI! teriak Antha panik, memegangi aset berharganya yang nyaris terinjak. "MACEM-MACEM ANAK INI! UNTUNG NGGAK KENA MASA DEPAN KELUARGA!"
"KAMU NGAPAIN AKU?!" tanya gadis itu histeris. Berlarian ke kaca besar sambil memeriksa leher dan bagian dada. Sementara Antha terduduk sambil mendengus.
"Kamu yang ngapain aku," balasnya, membuat Jena menoleh dengan mata sipit yang membulat galak. "Aku kan mabuk semalam. Bangun-bangun kamu nempel begitu, pantesan aku mimpi ketiban karung beras, ternyata kamu." Ia sengaja meregangkan tangannya sambil meringis, sok kesakitan. "Ya ampun, tanganku sakit. Gara-gara siapa ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Anggrek api dan Mata ketiga
RomanceDendam kesumat membara di dadanya. Bagai api yang berkobar tak tahu arah, melalap segala hal yang lewat tanpa kecuali, si anggrek api berjalan menyusuri setiap jengkal tempat dan orang-orang yang konon katanya menjadi penyebab keluarganya hancur sed...