27. Nander
"Hah? Gue??" Antha menunjuk dadanya dengan kaget. Mengerjap-ngerjapkan matanya sebelum mengonfirmasi ulang. "Bukan Ginan?" tanyanya, mencoba meyakinkan. "Lo salah denger kali, pasti yang dimaksud Ginan, mana mungkin gue?"
Sangga berkedip kalem sembari mengangguk. "Dia bilang adek gue nomer dua, bukan adek gue nomer satu," katanya. "Adek gue nomer dua itu elo, jangan coba-coba ngajarin gue soal urut-urutan adek gue dari yang nomer satu sampai tiga, Dirgatama. Gue lebih ngerti soal ini."
Antha mendengus, lantas bertanya lagi. "Tapi gue nggak pernah ketemu dia," ucapnya setengah mengeluh. "Kami nggak kenal sama sekali. Kalaupun ketemu, mau ngobrolin apa nanti?"
"Lo pernah ketemu dia. Dulu waktu kecil."
"Ya tapi gue lupa."
"Ya itu urusan lo, siapa suruh lo lupa."
Antha mendengus lagi. "Kenapa nggak lo aja, sih? Gue kan nggak pernah ikutan politik, nggak mau juga. Kenapa jadi gue yang dia ajak ketemu?"
"Dia bukan mau ngomongin politik sama lo. Tenang aja," sangkal Sangga segera. Mengenyahkan setengah dari kekhawatiran yang sempat bertahta di wajah sang adik barusan. "Gue rasa dia tahu sesuatu soal kasus keluarga Sutedja," gumam Sangga lagi, kali ini amat pelan. "Dia nanya ke gue soal kabar Jainari setelah Marvel meninggal."
Kalimat itu membuat kening Antha berkerut samar. Menanggapi dengan kebingungan. "Nggak mungkin," sanggahnya. "Sejauh ini, yang tahu persis soal kasus itu cuma keluarga kita."
"Lo lupa kita pernah minta tolong ke Arkaish?" tanya Sangga, mengingatkan. "Waktu itu dia bilang, ada seseorang yang bisa bantu kita. Orang itu adalah sepupu dari istrinya," Kalimatnya terjeda sejenak. Sembari mengusap philtrum, bapak satu anak itu meneruskan. "Setelah gue ingat-ingat lagi, keluarga Gustipradja masih ada hubungan kekerabatan sama ayah mertuanya Arkaish. Jadi kalau di urut-urutin, sepupu yang dia maksud akan membantu kita mencari informasi itu, bisa jadi adalah Raffanthara Gustipradja."
"Bukannya si Raffanthara itu tentara?" tanya Antha pelan. "Emang bisa?"
"Pekerjaan formalnya tentara. Tapi dibalik itu siapa yang tahu?" jawab Sangga dengan tanya misterius, mengendikkan bahu. "Yang penting lo ati-ati aja pas ngomong sama dia. Gue yakin dia bakal kasih clue besar dan membuat semua ini jauh lebih mudah untuk dipecahkan."
Anthariksa membuang napas berat sambil menyandarkan bahu di sofa. "Gue males banget kalau udah mepet-mepet politik begini. Meskipun dia nggak terlibat sama partai bapaknya, tetep aja, begitu gue masuk rumah itu, pasti besoknya bakal ada berita soal pemilu selanjutnya. Lo ngerti, kan? Panggung politik kita lagi panas banget, gue khawatir isu-isu gorengan bakal merembet ke perusahaan kalau gue ikut kesebut."
"Nanti gue urus soal itu," jawab Sangga kalem. "Pemilu masih dua tahun lagi, kita juga belum ada feeling ke siapa-siapa sejauh ini. Jadi untuk sementara waktu, gue rasa aman. Nggak akan ada yang berani nyebut Prambudi selama mereka punya harapan maju di Pilpres nanti."
Antha kembali bergumam. "Tapi gue nggak bisa ninggalin Jainari," katanya. "Terlalu bahaya."
Sangga mengangguk paham. "Gue nggak nyuruh lo ninggalin Jainari. Bawa aja dia sekalian."
"Ribet. Disini aja dia banyak tingkah, apalagi kalau nekat gue bawa."
"Atau tinggal aja di rumah gue, biar gue yang jagain."
"Nggak dulu, gue nggak percaya sama lo," sahut Antha sinis. Memicing skeptis. "Tharania aja tega lo buntingin. Muka lo doang yang kelihatan baik, aslinya kelakuan lo sama aja kayak Ginan, sama-sama babi kalian berdua."
KAMU SEDANG MEMBACA
Anggrek api dan Mata ketiga
Любовные романыDendam kesumat membara di dadanya. Bagai api yang berkobar tak tahu arah, melalap segala hal yang lewat tanpa kecuali, si anggrek api berjalan menyusuri setiap jengkal tempat dan orang-orang yang konon katanya menjadi penyebab keluarganya hancur sed...