18. Antarlina
Mimpi buruk itu di mulai selepas Sanggatama menjemput anak dan istrinya dari rumah. Jam masih menunjuk pukul enam lebih sedikit, terhitung pagi sekali. Jena tengah ada di dapur, mengaduk-aduk kopi dengan mata mengantuk sebab semalam ia hanya tidur sebentar, sibuk memikirkan Marvel yang entah ada dimana. Sementara itu, ponsel yang ia tinggalkan diatas meja berdering. Membuat Jena menoleh sekilas, namun belum bergerak dari tempatnya hingga Anthariksa yang saat itu duduk di sofa berseru. "Telpon, Cil!"
Jena berlarian selepas menarik sendok dari cangkir. Menendang kaki Anthariksa yang jahil menghalangi langkahnya, kemudian berlutut di bawah sofa. Mengambil ponsel sekaligus mengangkat panggilan.
"Hal--"
"Mau nonton Spongebob nggak?"
"Diem!" Jena menggeplak tangan Anthariksa yang usil menarik kuncir rambutnya, melanjutkan sapaan. "Halo?"
"Selamat pagi, benar ini dengan ibu Semesta Jainari Sutedja?"
Jena mengiyakan dengan kernyit tipis di dahi. "Iya, saya sendiri."
"Kami dari kepolisian," jedanya, membuat Jena mengerjap waspada.
"Kepolisian?" gumam gadis itu heran. Diikuti Antha yang kini duduk mendekat, menatapnya penuh perhatian.
Hal pertama yang Jena pikirkan ketika itu adalah ibunya. Bisa jadi, ibunya membuat ulah di luar sana hingga di tahan di kantor polisi, atau mungkin ... ya ampun, apa jangan-jangan ibunya terlilit hutang yang besar dan hal-hal buruk lain?
Kepala Jena sudah penuh praduga buruk hingga pria di seberang panggilan melanjutkan."Kami meminta kehadiran ibu guna mengidentifikasi jenazah Bapak Marvel Chou yang dini hari tadi kami temukan sudah meninggal dunia di rumahnya."
Ia berkedip sejenak. "M-maaf?"
"Bapak Marvel Chou ditemukan dalam keadaan meninggal di rumahnya dini hari tadi. Satu-satunya kerabat yang dimiliki adalah ibu. Jadi mohon kerjasamanya untuk--"
Jena terhenyak, melepaskan ponselnya dari tangan lantas berdiri tiba-tiba. Tatapan gadis itu kosong, tidak bergerak sedikitpun. Sementara Anthariksa yang sudah menangkap gelagat mencurigakan si gadis sejak tadi pun bergegas memungut ponsel yang Jena campakan barusan, mengambil alih percakapan.
"Halo?" Lelaki itu melirik Jena yang masih mematung tanpa kata sambil mendengarkan. "Sori, gimana?" ulangnya, kali ini dengan nada tak percaya. "Dimana?" tanyanya. "Okay, kami segera kesana. Terimakasih." Setidaknya Antha masih bisa berpikir waras saat itu. "Ayo."
Melupakan rencananya berangkat kerja, lelaki itu menarik Jena pergi. Membawa gadis itu memasuki mobil, menuju tempat yang harus mereka datangi.
Butuh sekitar setengah jam hingga mereka tiba disana. Anthariksa ada di sebelahnya ketika Jena di giring masuk ke sebuah ruangan. Penuh dengan kotak-kotak besar warna usang yang ketika ditarik, memunculkan sesosok manusia yang telah terbujur kaku, membiru.
Jena tak ingat banyak hal sebab kepalanya menolak diajak berpikir kala itu. Ia hanya ingat, dirinya terpekik kaget dengan kedua telapak tangan menutup mulut ketika kain putih itu di sibak. Melepaskan pegangan Anthariksa pada kedua bahunya untuk berlari mendekat.
"Semesta,"
Baru semalam mereka bicara.
"Semesta?"
Gadis itu menarik napas panjang dari mulut. Melangkah perlahan, mengulurkan tangan kearah wajah tak bernyawa yang penuh lebam tersebut. Jemarinya gemetaran ketika menyentuh pipi lelaki itu, airmatanya berjatuhan tak terbendung merasakan dinginnya kulit Marvel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anggrek api dan Mata ketiga
Roman d'amourDendam kesumat membara di dadanya. Bagai api yang berkobar tak tahu arah, melalap segala hal yang lewat tanpa kecuali, si anggrek api berjalan menyusuri setiap jengkal tempat dan orang-orang yang konon katanya menjadi penyebab keluarganya hancur sed...