31. Cetho

24.1K 3.3K 635
                                    

31. Cetho











Kesadaran Jena yang tadinya sudah menipis diambang lelap seolah ditarik paksa untuk sadar ketika suara jendela kamar berderit pelan. Sayup-sayup dinginnya udara malam berembus masuk, bersamaan dengan langkah kaki yang perlahan mendekati ranjang.
Gadis itu masih terpejam, namun tubuhnya telah siaga dan siap melompat turun dari kasur ketika sesosok manusia berjongkok di depannya, disusul sebuah tangan yang mengusap keningnya lembut.

Tingkat was-was di dadanya musnah begitu ia membuka mata dan melihat bayangan yang tampak familiar di hadapan. Lampu kamar sudah dimatikan, hanya menyisakan remang-remang bias cahaya dari lampu toilet yang cukup jauh. Tapi meski demikian, Jena tahu siapa yang ada di depannya. Aroma maskulin yang menguar di tubuhnya membuat Jena menghela napas tenang, menarik tangan dari dalam selimut guna menggenggam telunjuk yang tadi bermain di keningnya.

"Kamu pulang?" Matanya mengeriyip diantara kegelapan. Bergumam, nyaris tak kedengaran.

"Enggak, aku cuma mampir sebentar. Nanti pergi lagi," bisik lelaki itu pelan sekali. Menggenggam balik tangannya untuk dikecupi.

"Lewat jendela banget?" tanya Jena, mengucek kedua matanya yang terasa berat.

"Sejujurnya, Gatama dilarang pulang selama misi belum selesai," jawab lelaki itu lembut. Tak ada gurat bersalah dari nada bicaranya, seolah perilaku yang ia lakukan adalah hal yang normal. "Tapi aku nggak kuat nahan kangen, jadi aku mampir meskipun harus kayak maling di rumah sendiri," ucapnya lagi, membuat pipi Jena bersemu kemerahan tanpa dapat diatur. "Boleh geser, nggak?"

"Mau apa?"

"Rebahan sebentar. Punggungku sakit habis manjat ke lantai dua. Maklum, udah umur."

Bibir Jena berkedut menahan tawa. Ia memundurkan tubuhnya, sengaja memberi ruang kosong di kasur bagi lelaki itu naik, ikut merebahkan tubuh di depannya yang spontan mendongak. Meraba jaket kulit yang lelaki itu kenakan sebelum berbisik pelan. "Belum selesai kerjaanmu?"

Antha menggeleng. Menarik kepala Jena ke lengannya lantas memeluk tubuh gadis itu erat. "Sesuai prediksi. Lebih rumit dari yang kita bayangkan diawal," tuturnya. "Kita bahkan nggak bisa lapor polisi karena nggak ada jaminan mereka bukan salah satu penggagasnya."

"Udah kuduga, nggak mungkin kejahatan sebesar itu bisa berjalan sekian lama dan lancar tanpa ada backingan yang besar." Jena menghela napas panjang di dada lelaki itu, meremas jaket yang menempel di tubuhnya sembari bertanya. "Harusnya, dulu aku lebih giat buat membongkar aib keluargaku sendiri daripada ngejar-ngejar secuil info soal proyek gagal keluarga kamu yang legendaris itu."

Anthariksa terkekeh geli. "Tapi proyek gagal keluargaku pada akhirnya bisa menghasilkan uang buat kamu dari buku yang laris manis itu, kan?" Ia menunduk, mengusap kening si gadis dengan tatapan menghangat. "Kena karma kamu. Dulu sibuk nyari aib keluargaku, sekarang kejebak didalam sini."

Bibir Jena mengerucut, tapi tidak protes sebab ia sadar kalimat Anthariksa seluruhnya benar. Ia justru mengerjap sambil bertanya. "Dari skala satu sampai sepuluh, seberapa berbahaya tempat itu?"

"Gudang?"

"Mm-hm,"

Antha bergumam cukup panjang sebelum menjawab. "Sebelas," katanya, melampaui deret angka yang Jena tawarkan.

"Sebahaya itu?"

Anthariksa mengangguk. "Pokoknya aku nggak akan kasih ijin kamu kesitu saking bahayanya."

Si gadis mendongak penasaran. "Tapi kamu nggak apa-apa, tuh?" Tubuhnya bergidik geli saat tangan lelaki itu mengusap pinggang. Ia coba mengalihkan rasa gugupnya dengan cara berdekhem pelan, melanjutkan kekepoannya. "Ada apa aja disana? Aku penasaran."

Anggrek api dan Mata ketigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang