24. Calabéka
Lelaki itu baru saja menarik kursi, hendak duduk dan menyebut kata 'kopi' seperti biasa saat perhatiannya tiba-tiba teralihkan pada sesosok gadis yang berdiri di pantry, sibuk menggaruk pipi sambil membaca sesuatu di tangan amat serius.
Anthariksa mengernyit, lantas berdiri lagi dengan shock. Matanya bergerak naik turun mematut penampilan si gadis dari atas ke bawah selama beberapa saat sampai ia berseru histeris. "SEMESTA JAINARI SUTEDJA?!"
Gadis itu mendongak kaget. "Hah?"
Tampangnya yang kelihatan berbeda makin membuat mata Antha terbelalak tak percaya.
"YA TUHAN!!"
Bukan apa-apa. Tapi seumur hidup, baru kali ini Anthariksa melihat gadis itu pakai dress pendek. Bagian lengannya di tekuk hingga siku, sementara di bagian bawah jatuh menjuntai beberapa senti diatas lutut, menampakkan kulitnya yang terang, jauh lebih banyak dari biasanya. Dress berwarna Beige dengan motif bunga-bunga kecil itu menggantikan kaos kebesaran dan celana panjang serba hitam yang biasa melekat di tubuhnya. Rambut legamnya yang biasa di cepol sembarangan pun kini tergerai menggelombang. Anthariksa sampai menganga ketika Jena berkedip dengan bulu mata yang tumben-tumbenan lentik.
Ini ... sama sekali bukan Semesta Jainari Sutedja yang ia kenal!"Habis kepleset dimana kamu tadi?!" tanyanya masih histeris. "Lihat aku, Jainari. Mana yang sakit?"
Jena mengerjap. Bertanya 'kenapa' sambil meletakkan sebungkus bumbu nasi goreng instan di meja. Sedangkan Antha mengurungkan niatnya duduk hanya demi berlarian mendekati Jena, membolak-balik tubuh gadis itu hingga si empunya badan berteriak kesal.
"IIHH!!"
"Kamu ngapain!?" tanya Antha masih histeris.
Dibalas Jena dengan gerutu pelan. "Mau bikin nasi goreng pake bumbu instan," katanya cemberut. "Sana jangan ganggu konsentrasiku. Ini first time aku beneran niat bikin sesuatu."
"Bukan. Bukan itu," sanggah Antha sambil menggeleng. Persetan dengan nasi goreng bumbu instan. Siapa juga yang peduli kalau saat ini ada hal mencekam lain yang tengah terjadi? Hei, mati keracunan masakan Jainari bukan apa-apa dibanding mati jantungan karena menyaksikan transformasi dadakan gadis ini. Ingat itu.
Anthariksa menunduk, membingkai kedua pipi Jena dengan gurat khawatir bercampur takjub. "Maksudku ... ya ampun." Ia menyodorkan telunjuk lantas mengusapkannya di jidat Jena. Ber'wah' tipis. "Ini dempul?" Ia meniup ujung telunjuknya pelan. Terkekeh jahil. "Ada kinclong-kinclongnya nempel di tanganku."
Jena memicing sebal, mengepalkan tangan. "Minggir nggak?" ancamnya dengan nada yang awalnya masih rendah.
Tapi bukannya sadar, Antha justru kembali menarik kedua bahu Jena mendekat. Menatap tampilan gadis itu dari atas ke bawah secara terang-terangan, jauh lebih dekat dari sebelumnya. "Kamu ngapain pake baju perempuan?" tanyanya, mengulum senyum diam-diam. "Kamu kan jadi ..." cantik. "...aneh," gantinya. Berkedip pelan saat Jena menggigit bibir.
Makin Jena emosi, makin Antha tergoda. Bahaya ini.
Sambil berdekhem-dekhem lelaki itu menambahi. "Kamu jelek banget. Asli."
"Udah kubilang minggir, kan?" ulang si gadis dengan mata memicing penuh amarah. Tampak menahan kepalan tangan yang siap di layangkan kapan saja.
"Poni kamu kayak Dora."
"MINGGGIIIIIRRRRR!!!" jerit Jena habis kesabaran. Dada gadis itu naik turun mengatur emosi. Untuk sesaat, ia sibuk mengipasi wajah sementara Antha terbahak-bahak puas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anggrek api dan Mata ketiga
RomanceDendam kesumat membara di dadanya. Bagai api yang berkobar tak tahu arah, melalap segala hal yang lewat tanpa kecuali, si anggrek api berjalan menyusuri setiap jengkal tempat dan orang-orang yang konon katanya menjadi penyebab keluarganya hancur sed...