17. Mitayani

22.4K 3.2K 474
                                    

17. Mitayani







"Pegangan Tante, nggak akan jatuh." Jena mengulurkan tangan pada bocah yang tengah duduk tersebut. Sepatu roda sudah menempel di kedua kakinya hingga ia tak berani berdiri sejak tadi. Helm di kepalanya tampak kebesaran hingga berulangkali Jena harus memperbaiki letaknya agar tak menutupi mata.

Ya. Si anak sultan satu ini kemarin berkeluh kesah pada Jena tentang keinginannya main sepatu roda. Tak lupa menyelipkan secuil kisah sedih mengenai Timothy --atau siapalah itu, Jena lupa-- yang mengejeknya di sekolah karena merasa lebih jago dari Kiel dalam hal bersepatu roda. Yah ... ini itu tentang persaingan bocah umur tiga tahunan pada umumnya, lah.

Berhubung ayahnya terlalu sibuk bekerja sementara kemampuan ibunya dalam mengendarai apapun tak patut dijadikan teladan, maka Jena pun turun tangan, menawarkan diri membantu Kiel belajar. Hitung-hitung sebagai ucapan terimakasih karena anak ini selalu jadi angin segar diantara banyaknya tekanan yang Jena derita semenjak tinggal bersama para Prambudi sialan.

"Masiel njabisa," gumam Kiel, memegangi lutut sambil cemberut. "Tete, Masiel njamau tatuh."

"Nggak apa-apa, Mas Kiel. Tante pegangin," bujuk Jena lembut. Berjongkok di depan Kiel sambil tersenyum. "Tante kan so cool? Di jamin Mas Kiel nggak akan jatuh selama ada Tante. Janji."

"Masiel ... nyanti talau tatuh satit, Tete?" tanyanya, berkedip polos. "Mayin gigit Ceyi satit ini Masiel." Ia menunjuk paha dengan bibir melengkung turun.

"Nggak ada Cherry, dianya kan lagi bobok di rumah?" kata Jena lagi. Masih dalam upaya meningkatkan kepercayaan diri si bocah. "Ada Tante, nggak akan jatuh," ujarnya. "Kalaupun jatuh, nggak akan sesakit itu, kok. Nanti bisa Tante tiup lukanya, langsung sembuh, deh!" ujarnya. "Ayo, Mas Kiel harus berani. Biar nggak diejek Timothy lagi di sekolah."

Setelah cukup banyak bujukan, anak itu akhirnya mengangguk. Menggenggam tangan Jena dan perlahan-lahan berdiri. Masih tampak takut, namun Jena buru-buru menenangkannya.

"Tete, Masiel tatuh." Bocah itu menunduk, senantiasa menatap kedua kakinya yang bergetar dan tak seimbang.

"Enggak. Tante pegangin nggak akan jatuh," sangkal Jena, tersenyum lembut. "Jalan dari sini sampai depan rumah Mas Kiel, ya?"

"Hu-uh," angguknya.

Bocah itu mulai berani mendongak ketika perlahan Jena bergerak, menariknya meluncur. Si gadis berdiri di depan, menghadap Kiel. Kedua tangannya memegangi Kiel sepanjang jalan. "Kakinya Mas Kiel di gerakin kayak yang Tante ajarin tadi. Nggak usah takut, Tante pegangin."

Yehezkiel mulai mengangkat kaki, menggerakkannya sesuai instruksi. "Tete, Masiel jayaaannn!"

"Good job! Waaah, Mas Kiel bisaa!" serunya. "Pegang satu tangan aja berani nggak?"

Kiel mengangguk. Melepaskan satu tangan Jena kemudian menggerakkan kaki lagi, diikuti Jena yang telah berpindah ke samping, berlarian mengikuti gerak sepatu roda si bocah dengan amat sabar. "Masiel bisaaa!"

Jena tersenyum puas. Masih mengikuti gerakan Kiel yang belum sempurna, sesekali bergerak sigap ketika anak itu hendak tumbang.

"Aaaaa!"

"Upsie, its okay." Tenangkan Jena, menangkap tubuh Kiel tepat sebelum bocah itu jatuh ke tepi jalan. "Lagi?" tanyanya. Membantu Kiel putar balik.  "Dari sini ke rumah Cherry. Berani?"

Kiel manggut-manggut. "Sama Tete?"

"Iya. Tante pegangin." Ia memperbaiki letak helm di kepala Kiel sejenak. "Mas Kiel hebat," bisik Jena, mengusap pipi kemerahan bocah itu, memberi semangat. "Pasti bisa."

Anggrek api dan Mata ketigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang