0.3 Abstrak

214 23 5
                                    

Sudahkah Chris bercerita bahwa Hyunjin sangat menghargai seni?

Ia rasa Hyunjin merupakan manifestasi dari seni itu sendiri. Tidak, Chris tidak membahas mengenai paras Hyunjin yang seperti lukisan. Tapi kemampuannya dalam seni yang tidak perlu dipertanyakan kembali.

Dalam tugas seni budaya, Hyunjin selalu mendapat nilai terbaik.

Seingatnya.

Waktu kelas 1 SMA dia membuat satu lukisan dengan kanvas ukuran 40x50 cm dengan cat akrilik. Lukisan yang ia buat adalah lukisan seorang anak perempuan yang sepertinya berusia kurang dari 10 tahun tidur telentang dengan berselimutkan bintang. Kedua matanya terbuka dengan tangan terangkat mencoba meraih matahari. Chris ingat ketika ia melihat deskripsi yang tertulis pada lukisan itu.

Judulnya adalah Caelum, dalam bahasa latin berarti langit. Secara garis besar lukisan itu merupakan penggambaran seorang anak yang bermimpi setinggi langit dan mencoba mewujudkannya dengan meraih matahari, bintang terbesar di tata surya. Melalui lukisannya ia ingin mendukung orang-orang untuk meraih mimpi, sebesar apapun mimpi itu. Chris yang kala itu tengah dilanda kekecewaan akibat kekalahannya pada olimpiade nasional sempat sedikit terharu membacanya. Ia menjadi lebih bersemangat untuk menantang dirinya kembali, menargetkan medali emas pada pertandingan selanjutnya. Itulah saat pertama kali dimana dirinya mengetahui nama Hyunjin.

Maksudnya, mereka memang sekelas, tapi awalnya ia hanya memandang Hyunjin sebagai penyendiri yang enggan bergaul dengan teman-temannya. Namun siapa sangka dibalik diamnya, ia merupakan orang yang sangat berbakat. Kini saat ia lebih mengenal Hyunjin, ia juga mengetahui kepribadian Hyunjin yang sebenarnya sangat hangat.

"Demi Tuhan, Hyun, gue payah banget soal ini. Bantuin ya? Ya ya?"

Tugas seni budaya.

Mereka diharuskan menggambar karikatur wajah mereka sendiri. Sang guru mengatakan ketika mereka menggambar wajah mereka sendiri maka para siswa akan berusaha untuk menggambarnya sebaik mungkin. Jika obyek gambarnya adalah orang lain, mereka tidak akan peduli apakah hasilnya akan bagus atau tidak. Dan disinilah Chris, di tengah keputusasaannya dalam menggambar potret dirinya sendiri.

"..."

Hyunjin sempat terdiam melihat sketsa yang telah dibuat Chris menggunakan pensil. Ia kemudian menghela nafas.

"... Ini... Siapa?"

Hyunjin membandingkan sketsa tersebut dengan mengangkatnya tepat di sebelah wajah Chris. Meskipun beberapa bagian memang mirip, secara keseluruhan ia tak bisa mengenali wajah di atas kertas itu.

"Gausah dibandingin. Gue tau gambar gue jelek, gak ganteng kayak aslinya," Chris mengibaskan tangan kanannya di depan wajah, "Gue sadar diri jadi stop di situ, jangan ada komentar menyakitkan."

"Aslinya juga jelek kok, ga beda jauh."

"Hey hey hey."

Chris menatap sinis pada Hyunjin.

"Perasaan lo suka coret-coret di halaman belakang buku. Gue kira lo suka gitu karena emang pinter gambar?" Tanya Hyunjin sembari meletakkan kertas tersebut di atas mejanya. Chris mengerucutkan bibirnya sembari memasang wajah memelas.

"Gue sukanya coret coret abstrak doang. Kalau disuruh gambar gini mah payah."

Lelaki berlesung pipi itu kemudian menarik kursi kosong dibelakangnya. Mendekatkan dirinya dengan Hyunjin.

"Bantuin gue ya Hyun, gue gamau pas pameran besuk gambar gue dijadiin bahan bulian sama Abin."

"Ini tugas lo njir, masak gue yang bikin?"

Fri(end)zone ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang