02

379 38 1
                                    

"Bro what's up!" teriak salah satu murid di kelas hingga mengagetkan Haerin yang sedang membaca buku sambil menunggu bel masuk berbunyi.

Murid itu — sebut saja Danielle — merupakan satu-satunya murid blasteran di kelasnya. Tidak heran, kebanyakan guru cenderung lebih cepat mengingat wajah dan namanya dibanding murid-murid lain. Biasanya, dia memang menjadi pusat perhatian, tidak hanya di kelas, tetapi hampir semua murid pun tahu siapa dia.

Danielle memang tidak bisa dibilang sangat dekat dengan Haerin, namun mereka cukup dekat. Sampai sekarang, Danielle masih belum mengetahui masalah di antara orang tua Haerin, karena memang Haerin belum siap menceritakannya.

You know, Danielle benar-benar populer. Fansnya ada di mana-mana. Mereka bisa mengetahui hal-hal yang bersangkutan dengan idola mereka, termasuk mengenai teman-teman Danielle. Haerin sendiri bingung bagaimana Danielle bisa betah seperti ini, disaat Haerin sering risih melihat para fans-fans gila itu terus mengekori Danielle.

"Ngagetin mulu sih lo," ketus Haerin, lalu kembali fokus membaca buku miliknya.

"Galak banget," balas Danielle.

Haerin kembali mendongak ke arah temannya, namun detik berikutnya ia mengembalikan pandangannya ke arah buku itu lagi.

"Tumben banget sih lo gak semangat gini. Cerita dong ada apaan, habis ditolak ya?"

Hening. Haerin tidak menjawab, bahkan ia seolah-olah tidak terlalu mempedulikan kehadiran Danielle.

"Hey, gak biasanya lo kayak gini. Ada masalah?" tanya Danielle dengan hati-hati, takut pertanyaan tersebut merusak mood Haerin.

"Gue cuma lagi gak mood ngomong, Danielle," ucap Haerin sambil menghela napas, kemudian menunjuk ke arah depan pintu kelas, "Mending lo urusin aja tuh fans-fans lo."

Danielle terkekeh sejenak, kemudian mengangguk dan mulai berjalan pergi menjauhi Haerin. Ia mengerti, pasti Haerin sedang benar-benar membutuhkan waktu sendiri.

Haerin menutup buku yang sedang ia baca. Moodnya untuk membaca buku seketika hilang. Kejadian semalam benar-benar terus terbayang di pikiran Haerin, membuat gadis itu berdecak sebal.

Semalam — lebih tepatnya tengah malam — kedua orang tua Haerin benar-benar bertengkar hebat. Suara pecahan piring terdengar begitu keras, membuat Haerin mau tidak mau beranjak dari tempat tidurnya dan keluar dari kamar. Pemandangan pertama yang gadis itu lihat adalah tangan bundanya yang berdarah cukup banyak karena terkena pecahan piring.

"Bunda!" pekik Haerin panik, tanpa menyadari bahwa ayahnya beralih menatapnya dengan tatapan yang cukup mengerikan.

Sang Ayah sudah bersiap untuk melempar piring lainnya ke arah Haerin, namun pergerakan tangannya terhenti sejenak karena ucapan istrinya.

"Jangan sakitin Haerin. Jangan, cukup saya aja," ucapnya sambil terisak.

Namun Sang Ayah tidak mempedulikan ucapan itu, sehingga akhirnya piring tersebut dilemparkan ke arah Haerin dan membuat tangan Haerin terluka.

"Akh!"

"HAERIN!"

Lukanya cukup besar, tapi untung saja tadi Danielle tidak menyadarinya.

Haerin lelah. Ia benar-benar — ah, tidak tahu lagi bagaimana cara menjelaskannya.

"Tangan lo kenapa?" pertanyaan yang keluar dari mulut Minji berhasil membuyarkan lamunan Haerin.

"Kenapa sih dari tadi gue dikagetin mulu," gerutu Haerin sebal.

"Lo-nya aja yang gampang kaget," timpal Minji, "Serius deh, tangan lo luka? Sini coba gue liat-"

"AKH! PERIH BANGET, BEGO!" teriak Haerin saat Minji tiba-tiba memegang tangannya yang terluka.

"Sorry gak sengaja, tapi itu kenapa?"

Haerin terdiam, ia sedang tidak ingin membahas masalah semalam. Melihat Haerin yang tampak tidak nyaman dengan pertanyaan itu, Minji jadi merasa bersalah.

"Eh, sorry kalo gue terlalu ganggu privasi lo," ucap Minji.

Haerin tersenyum tipis kemudian menggeleng, "Nggak kok, Ji. Makasih udah perhatian banget sama gue," lirihnya.

"Kalo lo butuh temen cerita, gue bakal selalu ada buat lo."

Haerin mengangguk pelan.

Jika dilihat-lihat, kehidupan Haerin dan Minji memang dipenuhi masalah. Keduanya sering berbagi luka bersama, itulah mengapa mereka bisa menjadi sangat dekat.

Mungkin benar apa yang orang lain katakan, tidak ada keluarga yang sempurna.

.

.

.

Minji melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumahnya tanpa ditemani siapapun. Tadi, Haerin menolak untuk ikut, mungkin tidak ingin Hanni melihat luka di tangannya.

Niatnya Minji hanya ingin merebahkan dirinya di atas kasur, namun sialnya ia malah berpapasan dengan papanya di ruang tamu.

"Minji, papa mau ngomong," suara berat sang papa — Kim Seokjin — terdengar.

Minji berusaha menghindarinya dan tetap berjalan ke kamarnya.

Merasa tidak dihargai, papanya mencekal tangan Minji.

"Ck! Apa sih?!" Minji mulai marah.

"Kamu gak sopan! Kenapa gak jawab papa, hah?"

"Males ngomongin urusan yang gak penting."

"KIM MINJI!" Kini bahu Minji dicengkeram dengan begitu kuat, membuat Minji meringis menahan sakit.

"Akh, lepasin! Ini sakit!"

"Makanya jangan membangkang sama orang tua!"

Cengkeraman di bahu Minji menjadi semakin kuat, membuat gadis itu mundur perlahan hingga tubuhnya menempel pada tembok.

Di detik itu juga, ia histeris karena bayangan dari kejadian 6 tahun yang lalu kembali muncul di pikirannya.

"Sakit... lepasin," lirih Minji disertai dengan napasnya yang berangsur-angsur melemah.

Sang papa terdiam sejenak melihat kondisi anaknya sekarang. Namun, hatinya masih belum tergerak sedikitpun untuk melepaskan cengkeraman tersebut, hingga terdengar kalimat berikutnya yang diucapkan anak sulungnya.

"Sakit... mama..."

Iya, kalimat ini membuat laki-laki itu terkejut. Perlahan, cengkeraman itu mulai terlepas. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Minji segera berlari masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu.

Sambil terisak, gadis itu berlari mengambil sebuah silet di atas mejanya, lalu...

Srekh!

...menyayat permukaan kulit tangan yang sudah kasar itu untuk yang kesekian kalinya.

Ia membiarkan darah segar terus mengalir dari pergelangan tangannya, sembari duduk di sudut kamar, lalu kembali menangis. Sendirian. Tanpa seorang pun di sisinya.

.

.

.

24/02/23

Wishlist || Kang HaerinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang