29

4.7K 182 42
                                    

Kematian memang telah menjadi takdir bagi setiap umat manusia. Tidak mengenal usia setiap kematian akan mengiringi makhluk yang bernyawa. Saat ini di depan gundukan tanah hanya ada keheningan total.

Keluarga Jovetic kehilangan permata berharga mereka. Permata yang telah menghilang sangat lama dan sekarang telah berpulang ke pangkuan tuhan untuk selamanya.

Rimba tidak percaya akan kenyataan ini dia bahkan menampar pipinya beberapa kali. Tindakan dia dihentikan oleh sang kakak Argo.

Fano menghembuskan nafas terakhirnya beberapa jam lalu setelah berjuang melawan rasa sakit akibat racun mematikan. Dia menyerah dan memilih pergi meninggalkan rasa kesedihan berkepanjangan bagi keluarganya.

Pemakaman dihadiri oleh semua orang yang mengenal anggota keluarga Jovetic. Selesai dari prosesi pemakaman Rimba beranjak pergi tidak mengatakan hal apapun. Terlihat jelas kedua mata Rimba membengkak dikarenakan menangis kepergian Fano.

Semua orang tidak mendekati Rimba dikarenakan Rimba tidak mau diganggu oleh siapapun saat ini. Stevan menatap dalam diam kepergian putra keduanya berbeda dengan Argo yang menghampiri Stevan. Argo memukul perut Stevan sangat kuat membuat ayah tiga anak tersebut terjatuh.

"Kau membuat adikku tiada," ujar Argo dingin.

"Argo kematian Fano itu takdir," timpal Bram.

"Takdir itu tidak akan terjadi apabila adikku tidak menjalankan misi berbahaya dari kau Stevan Jovetic!" kesal Argo.

"Nak," ucap Lusiana.

Argo mundur dan memutuskan menyusul Rimba yang lebih dulu meninggalkan area pemakaman. Keluarga Jovetic mengerti mereka berdua memerlukan waktu sendiri untuk menerima kepergian adik kecil mereka.

Keluarga memandang sedih kepergian kedua kakak beradik tersebut.

Di tempat Rimba dia menatap dalam diam genangan air di depannya. Raut wajah kesedihan terlihat jelas. Fano bangun hanya mimpi dari Rimba. Kondisi Fano semakin menurun setiap jamnya segala upaya telah dilakukan tapi takdir berkata lain.

"Dek kakak berharap kamu tidak pergi lagi. Lima tahun lalu kamu diculik dan sekarang malah meninggalkan kakak," lirih Rimba.

"Patah hati memang menyakitkan namun ditinggalkan saudara sedarah lebih menyakitkan," ucap Argo.

"Bang aku marah sama papa," lirih Rimba.

"Luapkan saja segala amarahmu sekarang. Kita tidak mungkin terus begini untuk selamanya," jawab Argo.

"Besok pagi aku ke bandara," sambung Rimba.

"Dan keputusanmu saat ini pasti kau buat saat amarah menguasaimu. Jangan membuat kedua orang tua kita semakin sedih," larang Argo.

"Alasanku ke Indonesia demi adikku bang. Tidak ada adek berarti aku juga pergi lagi," jawab Rimba.

"Rasa sayangmu terhadap Fano lebih besar dibandingkan rasa sayangmu terhadap kedua orangtuamu," ucap Argo.

"Aku yang merengek kepada mama dan papa untuk memberiku adik. Sejak adek lahir aku sangat sayang terhadapnya," ucap Rimba.

Rimba tersenyum tipis mengingat bagaimana keras kepalanya dia dulu agar kedua orangtuanya memberikan dia adik. Alasan Rimba meminta adik karena Argo sibuk dan sulit diajak bermain.

"Dulu abang sibuk sendiri. Aku kesepian tanpa dirimu disisiku. Jadi lebih baik aku memiliki seorang adik," ucap Rimba.

"Abang sibuk sekolah dan papa mulai mempercayai abang mengenai perusahaan," jawab Argo.

"Alasan," sindir Rimba.

Argo tersenyum dan mengelus rambut Rimba. Argo sengaja mengalihkan pembicaraan agar Rimba tidak terlalu larut dalam kesedihan.

Stefano Mahardika (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang