Fano menendang pintu rumah mansion keluarga Jovetic sangat keras. Rimba yang berada di ruang tamu terlonjak kaget mendengar suara pintu didobrak oleh Fano. Rimba memincingkan matanya melihat wajah pucat Fano.
"Dek!" Rimba menghampiri Fano untuk memeriksa keadaan Fano dari atas sampai bawah. Fano sedikit mendorong tubuh Rimba merasa risih akan perlakuan Rimba. "Kakak bisa jemput padahal," ucap Rimba.
"Adek mau papa," ucap Fano.
"Papa tidur di kamar. Mama di dapur memasak makan malam untuk kita," ujar Rimba.
Fano meninggalkan Rimba begitu saja tanpa mengucapkan apapun. Rimba memilih pergi ke dapur untuk memberitahu kedatangan Fano terhadap ibunya Lusiana.
Di depan pintu kamar berwarna silver. Fano memutar kenop pintu untuk masuk. Di kasur ada Stevan tidur tanpa memakai baju memperlihatkan abs enam kotak tercetak jelas. Fano mendekat ke tubuh Stevan yang terlentang dan memeluknya erat.
"Papa kepala adek berputar-putar," adu Fano kepada Stevan. "Pah!" panggil Fano lirih.
Stevan membuka sebelah matanya melihat sosok putra bungsunya menatap sayu kearahnya. "Dek!" kaget Stevan.
"Dada adek sakit pah," lirih Fano.
"Berantemnya tadi kena dadamu, kah?" tanya Stevan panik.
"Enggak hah," ucap Fano.
"Kulitmu sedikit membiru dek," khawatir Stevan.
Fano semakin memeluk tubuh Stevan. Stevan merasakan nafas Fano tidak normal ditambah demam tinggi. Stevan menggendong tubuh Fano berniat mneghubungi dokter untuk mengetahui kondisi Fano.
"Pah mual," lirih Fano.
"Muntahkan saja," ucap Stevan.
"Kasurnya nanti kotor. Adek tidak bisa ganti sprei mahalnya," lirih Fano.
Stevan memijit tengkuk Fano agar Fano mengeluarkan isi perutnya. Fano memuntahkan makan siang yang dia santap sebelumnya. Stevan berusaha mengambil hpnya tapi kesulitan karena tubuh Fano tidak bisa diam.
"Dek diam dulu ya," ucap Stevan.
"Papa sakit," lirih Fano.
"Iya papa tahu. Papa akan panggilkan dokter agar hilang sakitnya," ucap Stevan.
Stevan mengelap keringat dingin yang terus saja mengalir di dahi Fano. Stevan sangat khawatir melihat kulit Fano semakin membiru. Fano terlihat kesulitan bernafas, batuk, demam tinggi dan keringat dingin membanjiri baju yang dikenakan Fano.
"Kuharap dugaanku salah," harap Stevan.
Stevan menghubungi beberapa kali dokter pribadi keluarga tapi tidak diangkat. Stevan mengambil jaket tebal dan memakaikannya ke tubuh Fano. Stevan hanya menggunakan kaos tipis berwarna hitam dan menendang pintu kamarnya.
Stevan menuruni tangga dengan tergesa-gesa dan di ruang tamu ada Argo sendirian mengerjakan tugas kantor. Stevan melirik Argo dibalas anggukan oleh Argo.
"Papa adek kenapa?" tanya Rimba.
"Kita ke rumah sakit sekarang!" tegas Stevan.
Argo menyiapkan mobil untuk berangkat ke rumah sakit. Rimba akan mengambil alih Fano dari gendongan Stevan tapi Fano malah memeluk leher Stevan.
"Sudahlah kita harus cepat," lerai Lusiana.
Lusiana tahu kalau diperpanjang pasti Rimba dan Stevan akan adu mekanik di rumah. Di mobil Fano terus mengeluh karena dadanya sangat sakit dengan sabar Stevan mengelusnya. Sementara Lusiana mengelap keringat yang terus mengalir di hampir seluruh tubuh Fano.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stefano Mahardika (END)
Ficción GeneralNot BL/Only Brothership. Ini hanya kisah keluarga saja tidak lebih. Stefano Mahardika cowok tengil yang hobi bolos dan hidup sebatang kara selama ini Fano panggilan akrabnya menyambung hidup dengan mengamen setiap hari demi sesuap nasi. Tiba-tiba se...