20

4.3K 243 10
                                    

Fano mengikuti Stevan ke markas. Fano sudah menyerahkan percakapan antara bodyguard tersebut kepada sang ayah Stevan. Stevan hanya diam tidak mengatakan apapun. Beberapa menit Fano keluar dari ruangan Stevan terdengar bunyi cukup keras. Fano yang penasaran mengintip sedikit ke ruangan Stevan disana terlihat meja kerja Stevan terbelah dua oleh tangan Stevan. Fano tidak bisa berkata apapun lebih memilih pergi daripada kena amukan Stevan.

Disinilah Fano berada di depan pengkhianat yang dia laporkan kepada Stevan. Dua kakaknya ada mereka nampak bersenang-senang menyakiti pengkhianat. Stevan tidak berkomentar apapun mengenai tindakan kedua putranya.

"Argh!"

"Hentikan kumohon!"

"Tidak seru apabila dihentikan," ucap Rimba dengan nada suara datar.

"Bosmu berniat menyakiti adik bungsuku. Aku tidak akan membiarkan hal tersebut," ucap Argo datar.

"Kak potong lidahnya!" pekik Fano.

"Suara dia mengganggumu adik?" tanya Rimba.

"Ya sangat menyebalkan atau tidak biarkan dia digilir saja," usul Fano.

"Ide bagus tapi sayangnya abang tidak akan membiarkanmu melihat pemandangan hina tersebut!" tegas Argo.

"Adik sudah dewasa bang. Kita buat dia mengerti kekejaman keluarga Jovetic!" pekik Rimba.

"Pah ajak adik keluar," ucap Argo.

"Hey tidak mau!" protes Fano.

"Biarkan saja adikmu. Keluarga Jovetic itu kejam dan sepatutnya adik mengerti cara bermain keluarga Jovetic," ucap Stevan.

"Om penjaga bagi pisau daging," ucap Fano.

Penjaga yang diperintahkan Fano segera menuruti kemauan Fano. Dia menyerahkan pisau daging yang diminta dan menyerahkannya kepada Fano. Fano tersenyum senang melihat benda tersebut mulai mendekati kedua kakaknya.

"Ingin menyiksanya?" tanya Rimba.

"Tentu saja. Aku dapat informasi dia salah satu orang yang menculikku dulu dan anehnya malah diterima sama papa bekerja di keluarga kita," gerutu Fano.

"Dia pasti memalsukan dokumen dia," ucap Stevan.

"Diem deh gak usah membantah kambing tua!" kesal Fano.

"Hahahaha julukan baru," tawa Rimba.

"Kalau kau bukan anakku sudah kucongkel matamu sejak lama," ucap Stevan datar.

"Congkel saja sini, memangnya aku takut dengan ancamanmu gitu sorry saja ya tidak sama sekali," balas Fano.

"Aku tantang kau putra bungsuku. Kulitin pengkhianat tersebut, dan jangan biarkan dia tewas sebelum seluruh kulit dari tubuhnya terkelupas," perintah Stevan.

"Imbalan untukku apa?" tanya Fano.

"Papa kasih boba," ucap Stevan.

"Sedikit banget imbalan untuk adek, pah!" protes Rimba.

"Ok aku setuju," ucap Fano tiba-tiba.

Kedua kakaknya kaget akan ucapan Fano barusan. Ayolah harusnya Fano menolak dan meminta hadiah yang lebih mewah, tapi Fano setuju dengan hadiah sederhana dari Stevan.

"Kenapa tidak memilih hadiah mewah dek?" tanya Argo.

"Aku senang kok diberi apapun oleh papa. Murah atau mahal tidak masalah untukku. Terpenting bagiku papa ikhlas memberikan hal tersebut kepadaku," ucap Fano.

"Selain boba papa kasih apartemen di London," ucap Stevan.

"Tidak mau apartemen itu tidak dimakan. Aku mau makanan saja," tolak Stevan.

Stefano Mahardika (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang