Ini adalah sebuah lore alternatif bagaimana Crazy Ollie bisa terlahir. Diiringi dengan masa lalu Kobo, seorang pawang hujan yang dipandang sebelah mata. Bukan Kobo yang riang dan ceria, bukan Kobo yang hiperaktif dan bertingkah seenaknya. Disini, Kobo hanya hidup untuk menderita.
☂️ 🧟 🧟 ☂️
Hari ini, serupa seperti hari-hari sebelumnya, seperti pekan-pekan yang sudah tutup usia.
Tirta turun dari cakrawala, membasahi dunia dan seisinya, sampai seluruh manusia sudah muak untuk menghadapinya.
Hujan, hujan, dan hujan saja isinya.
Mau pagi buta, ketika matahari berbunga, lanjut siang hingga petang, bahkan sampai semuanya ditutup oleh malam. Tidak. Bahkan, orang-orang mulai lupa akan konsep matahari itu sendiri. Apa itu matahari? Bola bercahaya panas di atas langit? Yang memberikan cahaya dan kehangatan kepada manusia?
Tidak ada.
Tidak ada benda semacam itu.
Langit selalu mendung, dilingkupi oleh awan gelap yang berkumpul, yang menghantarkan cuaca dingin terus menerus. Bahkan, orang-orang siap menjemput salju? Sekarang, Indonesia sudah bukan Indonesia yang dulu.
Meski begitu, terdapat pengecualian bagi SMA Pupus Harapan ini.
Entah mengapa, meskipun seluruh isi kota–bahkan mungkin hingga seluruh provinsi–tidak dikabarkan bahwa hujan akan berhenti dalam waktu dekat, para penghuni sekolah ini masih bisa berkenalan dan bersapa salam dengan matahari yang dirindukan orang-orang.
Bahkan, suatu waktu, satu daerah kecamatan di sekitar sekolah dengan radius belasan kilo pernah cerah secara bersamaan (meski sisa kota yang lain tetap saja diguyur hujan).
"Yah, udah jam setengah tujuh, ya? Siap-siap reda, deh," keluh seorang siswi yang bersandar dan menopang dagu pada jendela terbuka di lantai dua.
"Orang-orang protes sama hujan, ngeluh ini dan itu, dan kamu masih sinting kayak biasanya, ya? Girang banget sama penderitaan," respon siswi lain di belakangnya, yang sibuk memainkan dan menyisir rambut lurus panjang temannya ini. "Liv, aku minta cangkok rambut kamu, dong! Musim hujan gini tapi masih bisa lurus rapi gimana caranya, deh?"
"Ahahaha! Jangan dielus gitu, dong. Ditarik, kek? Dijambak, kek? Diacak-acak, kek? Kamu ini baik banget sama aku, Rina!" seru Olivia serius, sang pemilik rambut lurus itu.
Iya.
Dia seserius dan sesinting itu terhadap kesukaannya dengan tantangan dan penderitaan.
Namanya Olivia. Siswi kelas dua belas yang memiliki rambut dan mata yang merah menyala. Rambutnya panjang lurus sampai dada, meskipun dadanya berhenti tumbuh sejak kelas tiga SD. Entah apa yang menyebabkan otaknya miring dan korslet, mungkin ini adalah sebuah coping mechanism untuk menutupi kekecewaannya terhadap pertumbuhan tubuhnya yang tidak sempurna.
Pernah suatu ketika, Olivia dengan sengaja tidak mengumpulkan PR pada guru killer yang gampang marah, super galak, yang menakutkan, yang ditakuti semua murid. Olivia sebenarnya mengerjakan PR tersebut. Dia tetap siswi yang rajin dan pintar. Tapi, ia berikan saja PR-nya pada siswa di sampingnya (yang kemudian dijadikan bahan contekan untuk para siswa-siswa lain), dan berkata pada sang guru bahwa PR-nya dimakan anjing peliharaanya.
Bukannya menyesal, putus asa, atau memelas meminta ampunan, Olivia justru terlihat kegirangan. Seperti baru saja memenangkan lomba, dan dia siap menerima piala sebagai penghargaan.
(Rasanya, bagi Olivia, mendapat hukuman adalah sebuah prestasi).
Atau pernah juga ketika Olivia meminta agar dirinya disalahkan atas rusaknya salah satu komputer sekolah yang hangus dimakan virus. Olivia ingin dicaci maki oleh guru yang naik pitam, yang biasanya membuat mental setiap siswa langsung runtuh berjatuhan. 'Anak setan! Murid tolol! Punya otak, gak!? Kalau gak ngerti jangan sembarangan makanya! Komputer itu mahal, goblog! Ganti rugi lu, monyet!' bentak sang guru komputer yang kepalanya pitak di tengah.
"Tapi aku gak bisa berharap lagi sama guru-guru, nih. Mereka kayaknya tau kalau aku sebenarnya gak bersalah dan cuman kena getahnya doang," sebut Olivia yang mulai mengingat, tentang kejadian beberapa hari lalu ketika dirinya dipanggil ke ruang guru.
Olivia pikir akan kena hukum lagi, akan kena marah lagi, akan mengalami mental breakdown lagi. Hatinya sudah bersemangat, mulutnya tersenyum lebar, matanya sudah bersinar-sinar. Kira-kira hukuman apa lagi yang akan bakal mereka kasih? pikir Olivia berlari jingkrak menuju ruang guru.
Apakah akan merapikan sampah-sampah super bau di belakang gedung?
Menyapu seisi sekolah sampai lelah?
Atau memoles ubin kotor yang tidak bisa bersih meski sudah berjam-jam?
Sayangnya, yang Olivia dapatkan adalah sebuah permintaan maaf dari para guru, sebuah ucapan dan pernyataan yang dapat disimpulkan bahwa para guru menyesal sebesar-besarnya sudah menghukum dan mencaci maki Olivia.
'Padahal kami tahu kalau kamu anak yang berprestasi. Padahal kami tahu kalau kamu berusaha melindungi teman-teman saja, atau kalau kamu tidak ada sangkut pautnya sama sekali,' ucap para guru bergantian, yang menyebutkan bahwa Olivia tidak perlu bertanggung jawab atas keusilan para murid nakal lagi (yang hanya bisa dijawab oleh Olivia dalam hati 'gak juga sih, Pak, Bu. Itu semua untuk saya pribadi juga,' dengan kecewa).
"Gak coba ke Kobo aja?" usul Rina memecah nostalgia.
"Kobo?"
"Iya. Dia anak kelas sepuluh yang dibully itu, kan? Tapi memang sifatnya jelek, sih. Ekspresinya dingin sombong banget, apatis, gak peduli sekitar, penyendiri, sibuk banget sama dunianya sendiri, anaknya juga autis dan aneh, suram banget, deh! Udah gitu dia anak orang kaya! Sok-sokan pengen dipuja gitu, kan!? Tapi yang ada semuanya malah muntah di depan Kobo," tawa Rina puas membicarakan Kobo. "Tuh, orangnya dateng," lanjutnya memberikan isyarat kepala, meminta Olivia untuk menengok ke bawah, melihat ke arah gerbang depan.
Dan benar saja, terdapat sebuah mobil SUV putih yang baru berhenti persis di depan gerbang sekolah. Turun selanjutnya seorang lelaki paruh baya yang mengenakan kemeja dan celana katun seperti seragam PNS (namun berwarna hitam). Beliau membukakan pintu penumpang, lalu turun setelahnya seorang gadis mungil sembari membuka payung.
Dengan rambut bergelombang berwarna biru panjang hingga punggung, muka yang tak berekspresi, mata yang tajam dan dingin, dia memasuki sekolah sambil menggumamkan sesuatu.
"Padahal hujan sudah reda, loh? Barengan sama Si Kobo yang dateng? Aneh juga sih secara ajaib hujan selalu berhenti disaat-saat kayak gini. Tapi kenapa dia malah buka payung? Autis, kan? Mungkin kalian bakal serasi, deh!" sebut Rina yang ikut berpangku dagu di jendela bersama Olivia.
Olivia bukannya pertama kali melihat Kobo atau semacamnya.
Hanya saja, sebelumnya Olivia belum peduli untuk mengurusnya.
Bagaimana tidak? Olivia hanya peduli pada hukuman-hukuman guru (yang dinikmatinya dengan girang) saja. Tapi sekarang, dengan hukuman para guru yang mungkin akan sirna, Olivia menatap Kobo dengan penuh sukacita.
Kira-kira aku bakal diapain aja, ya? pikir Olivia sumringah.
Kepalanya mengepul panas, pikirannya berandai-andai, air liur keluar dari kekeh dan senyumnya. Bagaimana kira-kira pertemuannya dengan Kobo akan terjadi? Apakah akan dihina dan dicaci maki seperti para guru? Atau justru lebih buruk dari itu?
Ah... aku akan sangat menantikan ini! lanjut Olivia menatap mata Kobo yang dingin dan tajam, siap menusuk dan menikam hatinya, mengoyak-oyaknya berserakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
HoloRoot - Hololive FanFiction
Fanfiction⚠️ Rate 18+ ⚠️ Mengandung konten dewasa UNOFFICIAL HOLOLIVE FAN FICTION Bagaimana jika para member hololive memiliki kehidupan alternatif, kehidupan diluar menjadi idola, kehidupan yang tidak pernah terjadi sama sekali? NIKMATI !!!! - Kehidupan alte...