2. What you know

6.1K 485 30
                                    

"Kau benar tak mau turun dulu untuk ke rumahku?" Tanya Jeno begitu mobil yang ia kendarai semakin dekat jaraknya dengan kediaman keluarganya.

"Tidak, Jeno. Aku masih harus ke istal, dan mengecek kondisi kudaku." Jawab Renjun, alasan lain ia tak mau turun dulu adalah mama Jeno. Renjun tak begitu menyukai wanita itu, ada satu dua hal yang tak Renjun sukai darinya.

Dan dari pada ia harus berpura-pura baik-baik saja berinteraksi dengan mama Jeno nantinya, lebih baik ia tak bertemu sekalian.

Mendengar alasan Renjun barusan, Jeno teringat sesuatu. "Ah, iya. Saat di telpon waktu itu, kau bilang ada pertandingan dalam waktu dekat." Renjun menceritakan itu di telpon, dua hari sebelum kepulangan Jeno.

"Iya, kenapa memangnya? Kau tak akan menonton juga." Seingat Renjun waktu itu ia hanya menceritakan soal kegiatannya beberapa hari terakhir yang makin sibuk latihan, dan tak sengaja ia menyinggung pertandingannya.

"Kan siapa tau aku bisa datang." Jeno berhasil memarkirkan mobil Renjun di halaman rumahnya.

Renjun mengangkat sebelah halisnya tak percaya. "Sangat mustahil, kau orang sibuk."

"Aku akan coba luangkan waktu, lagi pula kalau memang masih di minggu ini aku mungkin bisa. Mengingat aku akan cuti beberapa hari karena baru kembali dari new york kemarin." Ujar Jeno pada Renjun yang masih menatapnya dengan pandangan meremehkan.

"Aku ada pertandingan awal minggu nanti, jadi bagaimana? Waktu cutimu pasti sudah habis." Renjun bersedekap dada.

"Lihat saja nanti, aku tiba-tiba ada di barisan penonton." Jeno meladeni Renjun yang seolah menantangnya.

Renjun mencibir. "Kalau itu terjadi, aku akan menciummu di depan banyak orang."

Jeno tiba-tiba tersenyum senang. "Aku menunggu hal itu." Tangannya menangkup pipi Renjun untuk ia mainkan karena gemas.

Erangan Renjun terdengar saat pipinya mulai merasakan ngilu saat Jeno mencubitnya. "Cepat turun."

Setelah Jeno turun, Renjun dengan cepat berpindah tempat duduk ke kursi pengemudi. Belum ia menutup pintu mobil, Jeno lebih dulu mencuri ciuman pada pipi Renjun. Bahkan mengusakkan hidungnya pada pipi gembil submisif itu, membuat Renjun mengerang geli.

Sementara Jeno menyahutinya dengan kekehan, kemudian ia mengusak surai Renjun dan menatapnya lembut. "Nanti hubungi aku kalau ada apa-apa, tidak ada apa-apa juga harus tetap menghubungiku."

"Iya, iya." Renjun mengangguk paham. "Sana masuk, kalau mama menyiapkan makanan jangan banyak mengeluh ini itu, dan langsung makan. Kalau mama sudah menyuruhmu istirahat cepat pergi ke kamar." Ujar Renjun.

Kemudian Jeno memotongnya. "Kalau kau mau menyuruhku sebagai bentuk perhatianmu, katakan saja. Jangan memakai nama mama untuk hal itu." Cengir Jeno.

Renjun berdecak sambil mengernyit. "Kenapa percaya diri sekali? Aku kasihan pada mama kalau kau jadi anak tak tau diri yang tak menuruti setiap perintahnya."

Jeno memasang wajah meledek. "Iyakah? Aku tak menangkap hal itu darimu."

"Terserah, aku akan pergi." Renjun menutup pintu mobilnya setelah dengan susah payah mendorong tubuh Jeno agar tak menghalangi.

"Kemari dulu." Jeno meraih wajah Renjun lewat jendela kaca mobil, kemudian mengecup bibir Renjun. "Padahal tak usah malu untuk mengatakan semua perhatianmu itu."

"Akh." Jeno menjerit sakit saat Renjun menggigit bibirnya, setelah Jeno membisikkan kalimat tadi.

Renjun seperti cenayang, ia tau kalau mamanya langsung menyuruhnya makan begitu Jeno memasuki rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Renjun seperti cenayang, ia tau kalau mamanya langsung menyuruhnya makan begitu Jeno memasuki rumah. Tapi Jeno tak sedang ingin makan, apalagi tadi ia sudah sarapan dengan Renjun.

"Jeno, mama yakin Renjun tak akan suka kalau tau kau tak makan." Nyonya Lee mengomel saat melihat Jeno yang langsung merebahkan tubuhnya di sofa, tanpa mau menuruti perintahnya untuk makan lebih dulu.

"Ma, aku sudah makan dengan Renjun tadi. Perutku akan sakit kalau aku paksakan makan." Sekarang semua pegal yang tubuhnya miliki setelah pulang dari perjalanan bisnis baru ia rasakan.

Mata mamanya menyipit tak percaya. "Benar kau sudah makan?"

Jeno menghela napas, melirik sang mama. "Mama pikir saja sendiri, Renjun yang seperhatian itu akan membiarkanku kelaparan begitu pulang?"

"Tidak." Nyonya Lee tau betul bagaimana galaknya Renjun setiap hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan Jeno.

"Nah, aku sudah makan. Percaya padaku, ma." Ujar Jeno.

Nyonya Lee akhirnya percaya, ia pun duduk di dekat Jeno. "Kenapa Renjun tidak ikut turun kemari? Selama kau tak ada, Renjun hanya menelpon untuk menanyakan kabar mama saja. Tapi Renjun tak pernah menemui mama." Keluh nyonya Lee.

"Ia sibuk berlatih ma, seminggu lagi ia ada pertandingan. Kalaupun ada waktu luang ia pasti gunakan untuk istirahat." Jawab Jeno.

Lalu terdengar suara langkah cepat menuruni tangga, perempuan dengan tubuh tinggi dan tampilan sedikit terbuka menampilkan kulit tan nya yang eksotis. "Dimana Renjun?" Tanya kakak dari Lee Jeno tersebut.

"Ke istal." Jawab Jeno.

"Hh, sudah kakak sarankan juga anak cantik macam Renjun harusnya jadi model saja. Proporsi tubuhnya juga bagus. Dari pada terus-terusan mengurusi kuda." Gerutunya, ia kerap mengisengi Renjun karena wajah indahnya itu untuk menjadi model saja. Tapi Jeno selalu tak suka akan hal itu, Jeno terlalu serius menganggap semuanya.

Jeno menghela napas, kakaknya ini memang seorang model dan sering membujuk Renjun untuk mengikutinya saja. "Kak, berhenti memaksa Renjun berhenti berkuda untuk obsesimu mengajaknya melakukan pemotretan denganmu. Dari dulu ia suka berkuda, dan ia menyukai pekerjaannya sekarang."

"Lalu kenapa kau tak mendukungnya?" Tanya Hee jung, kakak Jeno.

"Huh?"

"Kau bilang jadi atlet berkuda itu impian Renjun sejak lama, harusnya kau sebagai kekasihnya mendukung impiannya itu." Ujar sang kakak.

Jeno mengerutkan dahinya. "Aku mendukungnya, itulah kenapa aku melarang kau terus mengecohnya dengan dunia modelmu."

"Dengan tak datang ke setiap pertandingannya?" Tanya Hee jung, ia tau betul bagaimana adiknya yang selalu sibuk dan tak pernah datang ke pertandingan yang Renjun ikuti. Gantinya ia yang selalu datang untuk Renjun.

"Yang nanti aku pasti datang." Jawab Jeno pasti. Ia memiliki perasaan bersalah saat kesulitan mengingat kapan terakhir ia melihat Renjun di pacuan kuda.

Yang jadi saudara dari Jeno itu, kini menatap remeh sang adik. "Kesibukanmu itu akan bagaimana?"

"Kak, lagi pula Renjun tak pernah mempermasalahkan ketidak hadiranku." Kata Jeno.

Hee jung mengedikkan bahunya. "Kau ini hanya tidak tau."

To My First ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang