Renjun berbaring telungkup di atas kasur dengan kepala yang menghadap layar televisi, Jeno di sampingnya dengan posisi serupa tangan yang menyangga dagu.
Lalu tiba-tiba, Jeno menghela napasnya. Kepalanya ia jatuhkan ke atas kasur, namun bergeser ke depan Renjun. Dan menggerakkan kepalanya, agar rambutnya menggelitik lengan submisifnya itu.
Mata Renjun masih fokus pada tontonannya, namun sebelah tangannya kini mulai mengelus kepala Jeno. "Rambutmu masih setengah basah." Komentar Renjun.
"Lalu kenapa? Leherku pegal kalau tetap dengan posisi seperti itu." Keluh Jeno.
"Gantinya kau ingin sakit kepala?"
Jeno ganti berbaring terlentang, wajahnya saling berhdapan dengan Renjun yang menunduk kecil. "Renjun, kadang aku harus bertanya lagi untuk memastikan kau ini sedang mengkhawatirkanku atau memang mengomel kesal karena rambutku yang masih basah harus kau usap?"
"Menurutmu bagaimana?"
"Okay, mengomel karena kesal." Jawab Jeno, namun senyumnya mengembang karena sikap Renjun tak menunjukkan jawaban yang Jeno pilih.
Kalau kesal, Renjun tak akan mau mengelus kepalanya lagi. Dan sekarang yang dilakukan Renjun malah melanjutkan kegiatannya mengelus kepalanya.
Jeno menoel dagu Renjun, disaat mata kekasihnya itu kembali fokus menonton. "Turun sedikit." Titah Jeno.
Dan Renjun menurutinya, sampai satu kecupan ia rasakan di bagian dagunya itu. "Lanjutkan saja menontonnya." Ujar Jeno saat melihat gelagat Renjun hendak menatapnya.
Beberapa saat hanya terdengar suara dari film yang tengah diputar, keduanya sibuk dengan masing-masing tontonan. Renjun dengan filmnya, Jeno dengan Renjunnya.
"Ia cocok dengan style seperti itu, terlihat lebih tampan dari pada sebelumnya." Renjun mengomentari salah satu tokoh.
Jeno melotot. "Heh!"
Renjun menunduk bingung, Jeno menggelengkan kepalanya dengan mata memperingatkan. "Tak boleh memuji oranglain."
"Dia memang tampan." Renjun menunjuk tokoh yang dimaksud.
Mendengarnya membuat Jeno merengut, tangannya ia lipat di depan dada. "Kau bahkan tak pernah mengatakan itu untukku."
Memang Renjun tak pernah memuji wajah Jeno secara langsung, ia hanya akan mengatakan beberapa kalimat yang menyiratkan hal itu.
"Kau masih memerlukan ucapan seperti itu dariku?" Tanya Renjun.
Jeno tak menjawab, ia hanya melirik Renjun sekilas.
Kemudian Renjun mengecup pipi Jeno, mencoba membuat Jeno berhenti merajuk. "Apa aku harus mengatakan kalau salah satu alasan aku mau denganmu yang semanja ini adalah karena wajahmu yang seperti ini?"
"Seperti ininya bagaimana?" Jeno kembali memancing Renjun.
"Jelek." Renjun tersenyum kemudian kembali mengecup pipi Jeno.
Melihat senyum Renjun, Jeno ikut tersenyum. "Ayo lagi." Jeno menyodorkan lagi pipinya pada Renjun.
Baru saja Renjun turun dari mobil begitu sampai di kediaman Jeno, ia melihat kekasihnya berjalan keluar dengan terburu-buru dari rumahnya.
"Kemana?" Tanya Renjun.
Jeno menoleh cepat, berhenti untuk meraih wajah Renjun dan mengecup dahinya. "Aku harus menemui seseorang, ia penting untuk proyekku selanjutnya."
"Kenapa buru-buru?" Seingat Renjun, Jeno jarang setergesa ini walau yang ditemuinya adalah orang penting sekalipun.
"Ia ada di luar kota, aku harus kesana agar–"
"Jeno, lusa perlombaanku." Renjun mencengkram lengan kemeja Jeno.
Sebuah anggukan Jeno berikan. "Iya, aku ingat. Dan alasan aku terburu-buru juga karena itu, aku harus sampai cepat agar semuanya juga cepat diselesaikan hingga aku bisa pulang lebih awal untul melihatmu besok."
Perjalanan ke luar kota akan memakan banyak waktu, Renjun khawatir kalau Jeno tak akan datang lagi ke perlombaannya. "Kau harus datang."
"Iya, Renjun. Jadi, sekarang aku harus bergegas pergi." Jawab Jeno.
Entah kenapa Renjun tak yakin akan perkataan Jeno itu, Renjun memiliki firasat buruk. "Kau sudah janji."
"Aku akan menepati janjiku, Renjun. Sungguh." Jeno berusaha meyakinkan Renjun yang menatapnya tak percaya.
"Pekerjaanmu tak mungkin selesai dalam satu dua jam." Apalagi perjalanannya juga akan memakan waktu yang cukup lama, Renjun benar-benar sangsi akan ucapan Jeno yang akan pulang tepat sebelum ia memulai perlombaan.
Entah kenapa sekarang Jeno kesal pada sikap Renjun. Ia memejamkan matanya, memijat pelipisnya menahan nada bicaranya agar tak sinis. Demi tuhan, ia dan Renjun baru berbaikan dalam waktu dekat. Tak mungkin sekarang mereka akan bertengkar juga karena hal ini.
Jeno menatap mata Renjun. "Aku pastikan semuanya selesai cepat, dan aku akan melihatmu. Aku janji akan menemuimu dan Regy sebelum kalian tampil."
Renjun balas menatap kekasihnya, ia menelan salivanya. "Tunda pertemuanmu, Jeno."
"Tidak bisa." Jeno nyaris mengatakannya dengan bentakan.
"Bahkan demi aku juga tidak bisa?" Tanya Renjun.
"Iya!" Tanpa sadar Jeno menyentak jawabannya, dengan cepat ia menampilkan lagi raut memohon pada Renjun. "Ya? Aku pergi. Lagi pula aku sudah janji akan datang."
Tak ada sahutan dari Renjun, ia menatap Jeno. Lalu..
"Aku ikut." Renjun putuskan ia akan ikut saja pada kekasihnya itu.
Jeno dibuat terperangah. "Renjun."
"Aku harus memastikan kau kembali untuk melihatku di pacuan kuda." Renjun tak peduli kalau sekarang ia begitu keras kepala, yang penting ia ingin membuat Jeno menepati janjinya.
"Kau tidak percaya janjiku?" Tanya Jeno.
Dan Renjun mengangguk tanpa bantahan. "Iya." Sekarang dirinya memang sedang tak memiliki kepercayaan pada Jeno, atas semua ucapan dan janjinya.
Menarik napasnya, Jeno mencoba menarik seluruh kesabarannya dalam menghadapi sikap Renjun yang seperti ini. "Renjun, nanti kau kelelahan."
"Aku lebih baik kelelahan, dari pada kecewa lagi saat tau kalau kau tak ada datang untuk melihatku lagi." Jawab Renjun, ia benar-benar berusaha keras agar membuat keinginannya terwujud. Melihat Jeno ada di barisan penonton.
Jeno mengeraskan rahangnya. "Baik, terserah!"