"Sengaja kemari?" Tanya Jeno, begitu turun menuju lobby kantor menemui Renjun yang tadi menghubunginya menawarkan makan siang bersama.
"Mana ada, aku bisa makan siang sendiri tanpa harus menawarimu makan bersama." Jawab Renjun, ia mendahului langkah Jeno menuju keluar.
Jeno segera meraih pinggang Renjun, kemudian mengecup pipi kekasihnya. "Tapi akhir-akhir ini kau memang senang makan bersama denganku. Biasanya jarang ikut sarapan denganku, tapi semakin kemari kau tak hanya menemani duduk saja kau ikut sarapan denganku."
"Kebetulan saja aku juga sedang lapar." Renjun berkelit dari tuduhan Jeno.
Senyum Jeno terulas lebar. "Iya, kebetulan aku juga melihat wajahmu memerah karena malu aku menyadari kau mulai terbiasa manja padaku."
Renjun dapat mendengar nada geli dalam ucapan Jeno. Menghindari wajahnya yang terasa semakin memanas, Renjun mempercepat langkahnya. Hal itu semakin membuat Jeno tak bisa menahan kekehannya.
"Sebentar, kita akan makan siang dimana?" Jeno mengeratkan pelukannya pada pinggang Renjun saat kekasihnya terus mencoba menghindar.
"Terserah Jeno." Jawab Renjun cepat, tanpa mau menoleh.
"Tidak boleh seperti itu, harus kau yang memilih tempatnya. Kan kau yang mengajakku makan siang bersama." Cengir Jeno, masih senang menggoda Renjun.
Renjun mengerang. "Tidak jadi! Tidak usah makan bersama. Aku akan pergi sendiri."
"Iya, iya. Aku yang memilih tempatnya." Jeno akhirnya mengalah, kasihan juga melihat Renjun yang terus membuang muka tak mau menampilkan wajah tersipunya.
Sampai di restoran, Jeno serta Renjun langsung memesan makanan dan menikmati makanannya diselingi obrolan ringan. Sesekali Jeno juga mengusili Renjun, yang langsung dihadiahi pelototan tajam.
"Pakaianmu tak cocok untuk cuaca yang cukup panas seperti ini." Komentar Jeno.
"Akhir-akhir ini sering turun hujan saat sore, jadi aku sengaja memakai pakaian yang lumayan hangat. Kalau nanti tiba-tiba turun hujan, aku tak akan masuk angin." Jawab Renjun.
Jeno menatap Renjun. "Kau hendak mengajakku kencan sampai sore?" Tanya Jeno dengan wajah takjub.
Renjun berdecih. "Aku akan ke rumah sakit untuk memeriksa lenganku, dan aku membuat janji dengan dokternya sore."
Wajah Jeno sempat menampilkan raut kecewa, sekejap kemudian berganti senyum tampan. "Hati-hati ya, cantik."
Dan dengan itu Renjun langsung mendelik sinis, dengan rona kemerahan di pipinya yang kali ini tak bisa ia sembunyikan. Sebab tempat duduknya dan Jeno saling berhadapan, mereka berdua bisa saling melihat dengan jelas wajah satu sama lain.
Jeno tersenyum melihatnya. "Maaf aku tak bisa mengantarmu."
"Iya, aku diantar mama." Renjun tak bisa menarik Jeno agar menemaninya, karena sudah sering Jeno pulang lebih awal hanya untuk memastikan Renjun tak menyentuh banyak hal.
"Nanti makan malam di apartemenmu." Tiba-tiba Renjun mengatakannya, teringat agenda makan bersama mereka lagi. Karena di waktu itulah mereka akan bertemu lagi setelah ini.
Jeno mengangguk. "Boleh! Aku yang memasaknya." Ujarnya antusias.
"Aku ingin memilih menunya boleh?" Renjun menatap Jeno ragu, ia lebih sering mengikuti mau Jeno.
"Sure, kau mau apa?" Tanya Jeno dengan nada lembut.
"Aku pikirkan dulu, nanti akan aku kabari."
"Okay."
"Besok ke rumah." Ujar mama Huang saat Renjun mengatakan hari ini ia akan ke apartemen Jeno selepas pulang pemeriksaan.
"Iya, kau ingin apa ma?" Tanya Renjun kemudian.
Keduanya tengah berada di depan etalase cafe untuk memilih beberapa jenis kue. Setelah Renjun menyebutkan pesanan miliknya dan sang mama, mereka menikmati makanan ringan itu dengan nyaman. Hingga saat mama Huang berpamitan pulang duluan, dan ia memilih beberapa dessert untuk nanti ia dan Jeno. Telinganya mendengar suara ragu yang menyebut namanya.
"Renjun kan?"
Kepalanya menoleh, untuk menemukan sosok gadis dengan postur tubuh tinggi dan wajah kecil yang cantik. Rambut panjangnya tergerai, dengan senyum yang membuat Renjun merasakan kakinya berat seketika. Senyum itu adalah yang pernah jadi alasan kekasihnya bahagia. Karina.
"Ya, aku Renjun."
"Apa kabar?" Karina bertanya ramah pada Renjun yang tengah merasakan dadanya bergemuruh mengingat lagi bagaimana hubungan yang dimiliki Jeno dan Karina dulu.
Sejak dulu pun Renjun tau perihal hubungan keduanya, bisa disebut ia banyak mengetahui soal mereka mengingat Jeno sering menceritakan begitu banyak hal padanya.
Hubungan Jeno dan Karina terjalin cukup lama, dan bukan berarti di hubungan mereka tak pernah ada pertikaian. Renjun tau kalau pasangan itu sering mengakhiri hubungan tiba-tiba, tapi tak lama kemudian keduanya selalu kembali bersama.
Dan hal itu, cukup membuktikan padanya kalau Jeno banyak terikat dengan Karina. Gadis itu memiliki hal yang bisa membuat Jeno terus kembali padanya.
Tak menutup kemungkinan kalau sekarangpun, Jeno bisa saja kembali pada Karina begitu gadis ini kembali dari luar negeri.
"Baik." Jawab Renjun dengan senyum kecil.
"Karina, sejak kapan kau kembali?" Bukan maksudnya menyinggung, tapi Renjun ingin tau apa Jeno sudah pernah bertemu dengan Karina sejak kedatangan gadis cantik itu kemari?
"Aku kembali dari new york kemarin malam. Bagaimana kabar Jeno sekarang? Aku sudah lama tak bertemu dengannya."
Rasa penasaran Renjun soal pertemuan Jeno dan Karina tadi memang sudah terjawab, bahwa keduanya pasti belum bertemu. Tapi penyebutan Karina pada nama kota yang menjadi tempat tinggalnya kemarin, membuat Renjun merasakan tenggorokannya tercekik karena takut. Karena beberapa bulan lalu, Jeno pergi ke kota itu.
New york, ini jelas kota yang luas. Tak mungkin juga Jeno dan Karina memiliki tempat tujuan yang sama, apalagi Jeno kesana untuk pekerjaan. Tapi, mengingat siapa sosok yang sekarang ada di hadapannya ini. Renjun tak bisa berpikiran sepositif itu, semua pikiran buruk yang didasari ketakutan akan kehilangan Jeno membuat Renjun berpikiran buruk.
📞 "Renjun, dimana? Ini sudah larut, mama bilang kau tak pulang ke rumah."
"Aku tidak akan pulang dulu."
📞 "Kenapa? Kau bilang ingin makan malam bersama. Katakan, kau dimana? Aku Jemput. Kau tak membawa mobil kan? Aku—"
"Karina disini Jeno."
📞 "..."