Empat hari Renjun dirawat di rumah sakit, dan selama itu juga ia tak bertemu Jeno. Tak mendengar sedikitpun tentang Jeno, dan tak pernah bertanya satu kalipun soal kekasihnya itu. Baik buruknya kondisi Jeno, Renjun ingin tau tapi ia juga masih memiliki perasaan tak jelas soal kejadian kemarin. Itulah yang menahannya agar tak mencari Jeno."Kondisimu semakin baik, dalam beberapa hari kau bisa pulang." Ujar dokter yang menangani Renjun.
"Untungnya kekasihmu juga sekarang dalam keadaan yang lebih baik dari pada dua hari yang lalu."
Renjun mendongak cepat. "Jeno kenapa?" Pertahanannya selama empat hari kemarin runtuh begitu mendekat sekelibat soal keadaan Jeno. Kekhawatirannya tak bisa lagi ditahan, apalagi begitu mendengar jawaban dokter.
"Ia nekat keluar dan membuat tubuhnya kelelahan disaat bahkan semua luka dalamnya belum pulih. Aku mengizinkannya, berpikir kalau ia hanya keluar untuk hal sepele. Ternyata ia pergi berkuda." Sang dokter menghela napasnya di akhir kalimat, masih tak habis pikir akan tingkah pasiennya itu.
Renjun mengerutkan dahinya, menoleh pada sang mama meminta penjelasan. "Berkuda?"
Nyonya Huang meringis, selama ini ia menahan diri agar tak mengatakan banyak hal pada Renjun seauai permintaan Jeno. Tapi sekarang, Renjun pun terlanjur mengetahuinya. "Iya, Jeno berkuda menggantikanmu hari itu. Agar namamu tak didiskualifikasi dari daftar."
Suara pintu terbuka lalu menampilkan Jeno yang memasuki ruangannya dengan wajah yang bisa Renjun pastikan lebih pucat darinya. Hanya saja tak ada perban yang melilit anggota tubuhnya, seperti Renjun.
Jeno tersenyum tipis saat matanya bersitatap dengan Renjun, suasananya begitu membuatnya canggung. Apalagi saat dokter dan mama Huang meninggalkan ruangan.
"Bagaimana perasaanmu sekarang?" Tanya Jeno sambil berjalan pelan mendekat pada Renjun.
Sementara Renjun hanya mengangguk sebagai jawaban, ia masih terkejut juga mendengar kalau Jeno pergi ke pacuan kuda untuk menggantikannya. Mata Renjun juga sekalian menelisik tampilan Jeno, selain wajah pucat itu Renjun ingin memastikan kalau Jeno tak memiliki luka parah sepertinya.
"Maaf ya? Karena aku, kau seperti ini." Ujar Jeno saat Renjun tak juga bersuara.
Dengan hati-hati, Jeno meraih jemari Renjun. Menatap lengan Renjun yang diperban. "Ini pasti sangat sakit."
Renjun menata sosok Jeno, suara dominan itu terdengar penuh akan rasa bersalah.
"Mengenai perlombaanmu—
Ucapan Jeno terpotong akan gerakan yang dibuat Renjun, anak itu menubrukkan tubuhnya pada tubuh Jeno kemudian memeluknya. Jeno dapat merasakan bajunya sedikit basah, diikuti satu isakan kecil milik Renjun.
"Maaf." Kata Jeno penuh penyesalan. Renjun pasti sakit hati saat diingatkan perlombaannya yang terpaksa harus dilewatkan karena kecelakaan yang dialami mereka.
Sakit hatinya Renjun mungkin tak bisa Jeno rasakan persis, tapi dari taunya ia seberapa besar Renjun menyukai berkuda dengan semua perlombaan yang banyak diikuti Renjun. Kekasihnya itu pasti begitu sedih, sekarang yang Jeno lakukan hanya mengelus punggung Renjun lembut.
Tiba-tiba Jeno merasakan punggungnya nyeri karena Renjun mencengkramnya kencang diantara pelukan mereka.
"Kau membuat tubuhmu kesakitan karena perlombaanku?! Apa namaku lebih penting dari kesehatanmu!" Bentak Renjun setelah menghapus sisa air matanya.
Melihat mata Renjun yang melotot, Jeno reflek mencebik sebal. "Masih sakit pun tetap galak."
"Lagi pula aku sudah baik-baik saja." Ujar Jeno, sambil duduk di sisi ranjang Renjun yang masih juga menatap sinis Jeno.
"Tanganmu harus terapi dulu ya? Berarti kau masih tak boleh berkuda dalam waktu dekat." Jeno kembali meraih lengan Renjun untuk ia usap pelan pada bagian yang dililit perban.
Berbeda dengan Renjun yang tak pernah menanyakan soal kondisi Jeno, Jeno justru sebaliknya. Setiap harinya ia meminta laporan dari dokter soal perkembangan kondisi Renjun. Jadi, ia juga tau perihal lengan Renjun yang harus diterapi.
"Mama bilang, hitung-hitung aku istirahat dari kegiatanku." Renjun sadar betul mamanya mengucapkan itu untuk membuat perasaannya membaik.
Dan ia juga jadi sering mengulang ucapan sang mama pada diri sendiri, mencoba meminimalisir kesedihan dan rasa kecewanya karena tak bisa ikut perlombaan kemarin.
"Nah, iya. Agar kau punya waktu berlibur." Jeno memberikan senyuman untuk Renjun.
Melihat senyuman Jeno, Renjun menghembuskan napasnya. Sadar kalau disini tak hanya ia yang bersedih. Jeno pun sama-sama korban dari kecelakaan kemarin, kekasihnya juga pasti memiliki kekesalan padanya karena bagaimanapun Renjun lah yang memicu perdebatan mereka di mobil kala itu. Membuat Jeno terpancing emosi. Walau menurut Renjun, akar dari pertengkaran mereka itu dari diri Jeno. Tetap saja sekarang ada rasa bersalah yang mendiami diri Renjun untuk Jeno.
Apalagi mengingat hal yang sudah Jeno lakukan demi dirinya, sampai rela keluar rumah sakit disaat kondisinya sedang tak baik-baik saja.
Renjun kembali memeluk tubuh Jeno, berharap permintaan maafnya bisa Jeno ketahui dari sebuah pelukan.