3. Feel less

4.3K 409 11
                                    

Renjun baru kembali dari istal setelah mengembalikan kuda yang tadi ia pakai berlatih. Ia melepas sarung tangan kulit yang membungkus tangannya, juga tengah duduk sambil memijat pelan lengannya sendiri.

"Renjun, kau selesai berlatih?" Seorang perempuan cantik menghampirinya.

Sosok di depannya ini adalah salah satu orang yang sering Renjun temui disini, jelas saling kenal juga karena sama-sama atlet berkuda "Iya, kak Irene baru datang?"

Irene duduk di samping Renjun. "Aku tadi harus mengantar adikku dulu ke bandara, jadi telat kemari."

"Ah, iya." Renjun mengangguk pelan.

"Tanganmu sakit?" Sepertinya Irene memperhatikan gerakan Renjun yang tengah menggerakkan pergelangan tangannya.

"Tadi terkilir saat jatuh." Jawab Renjun.

Dengan ramah perempuan itu bertanya apa boleh ia melihat lengan Renjun, dan Renjun pun tak keberatan atas hal itu.

"Kemari, aku bantu pijat ya."

Setelah beberapa saat, Irene menatap Renjun. "Renjun, lebih baik setelah ini kau ke dokter kalau masih terasa sakit."

"Tapi sepertinya baik-baik saja." Renjun tak merasa kalau sakitnya berlanjut, jadi ia pikir memang baik-baik saja.

Sebenarnya Renjun tak begitu pandai berkomunikasi dengan oranglain, ia bukan sosok yang bisa bersosialisasi dengan mudah. Maka saat berhadapan dengan orang yang bisa dibilang cukup asing, ia merasa canggung. Dan sepertinya Kak Irene pun bingung untuk berbicara dengannya, berakhir hanya duduk diam di sampingnya. Padahal, menurut Renjun harusnya tadi kak Irene tak usah menyapanya saja.

"Kak, terimakasih ya, aku akan pulang duluan." Renjun berpamitan lebih dulu, karena setelah beberapa saat mereka hanya terdiam satu sama lain.

"Oh iya, hati-hati."

Renjun beranjak dari tempat duduknya, hendak menuju kamar mandi sebentar untuk mencuci tangannya.

"Cantik." Seseorang memanggilnya dengan nada riang, Jeno berdiri tak jauh darinya dengan kedua tangan yang dimasukkan dalam saku celana.

Senyum Jeno terlihat tak terganggu bahkan oleh respon Renjun yang selalu terlihat datar, bahkan bukannya menyambut dengan sumringah Renjun justru bertanya serius.

"Kenapa kau ada disini?"

Jeno sudah mengenal Renjun cukup lama, dan ia tau betul kalau kekasihnya itu bukan orang yang romantis. Renjun itu submisif galak, dengan semua sifat judes miliknya. Dan Jeno juga tau kalau Renjun menyimpan banyak cinta untuknya diantara sifatnya yang seperti itu, Renjun ini hanya manusia dengan sejuta gengsi yang dimilikinya.

"Tadinya ingin melihatmu latihan, tapi ternyata kau sudah selesai." Jeno menjawab pertanyaan Renjun.

Renjun mendengus tak percaya, kemudian melanjutkan langkahnya dengan Jeno yang mengekor di belakangnya.

Langkah Jeno ia samakan dengan Renjun, lalu. "Renjun, barusan kau berbicara dengan siapa?" Tadi Jeno sempat melihat kalau kekasihnya itu berbicara dengan seseorang.

Tak sulit untuk mengingat siapa sosok yang Jeno maksud. "Itu, kak Irene. Dia seniorku, tau tidak ia sudah memenangkan banyak perlombaan." Renjun memberitau Jeno soal prestasi yang dimiliki Irene.

Jeno mengedikkan bahunya mendengar semua itu. "Kau juga atlet yang hebat, jadi kenapa dari caramu berbicara kau terdengar iri karena prestasi oranglain?"

Renjun tak langsung menjawab, ia kini sampai di kamar mandi dengan Jeno yang masih setia mengikutinya, ia kemudian membasuh tangannya. Jeno di sampingnya dengan cepat berlari menuju loker milik Renjun untuk mengambil tisu.

Lalu keduanya duduk di salah satu kursi yang ada di dekat loker, dengan Renjun yang masih mengeringkan tangannya. Sementara Jeno merapihkan rambut Renjun penuh perhatian.

"Aku masih belum sepandai kak Irene, prestasinya benar tak mudah dikejar." Walaupun iya Renjun pun sudah memenangkan beberapa perlombaan, ia tetap masih senang melihat oranglain dan membandingkan dengan dirinya.

Tangan Jeno menepuk pelan kepala Renjun, lalu menatap mata Renjun dalam. "Tetap saja, kau juga atlet yang pandai."

Renjun mengerutkan dahinya diantara perasaan membuncah yang hadir setelah mendengar kalimat baik dari Jeno. "Hih."

Jeno tersenyum saat menangkap senyum kecil Renjun disana.

Jeno membaringkan kepalanya di atas paha Renjun, sambil memeluk perut Renjun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jeno membaringkan kepalanya di atas paha Renjun, sambil memeluk perut Renjun. Tangannya menarik tangan Renjun agar mengusap kepalanya. Mereka kini berada di kamar Renjun, di kediaman keluarga submisif itu.

"Aku sedang ingin ke cafe roti." Ujar Jeno tiba-tiba.

Renjun tau betul maksud dari ucapan Jeno. "Aku sering pergi sendiri kesana."

"Dan aku tidak mau pergi sendiri." Jeno jelas akan mengajak Renjun pergi dengannya.

"Kau mau membiarkanku duduk sendirian? Kalau kursinya penuh, nanti boleh aku duduk dengan oranglain?" Jeno kini beranjak dari posisinya untuk menatap dari dekat wajah Renjun.

"Ck, iya iya. Kita pergi." Tangan Renjun mencoba menahan wajah Jeno yang terus mendekat padanya.

Mendengar hal itu, Jeno tersenyum senang kemudian mengusak hidungnya pada peher Renjun dengan manja. "Harusnya dari tadi menyetujui ajakanku."

"Jeno.." Erang Renjun karena Jeno tak berhenti menggesekkan hidungnya pada area lehernya.

Dengan iseng Jeno malah menjilat kulit leher Renjun. Mengundang jerit tak terima dari Renjun.

"Kenapa dijilat?!"

Tawa Jeno terdengar, kemudian ia menghentikan keusilannya. "Mama bilang kau beberapa hari ini ingin pergi kesana, tapi belum ada waktu ya?" Tanya Jeno.

"Kau berlatih terlalu keras." Tangannya kini mengelus rahang Renjun lembut.

"Jeno, pertandinganku dua hari lagi dimulai. Mana bisa aku melewatkan satu saja kesempatan berlatih." Ujar Renjun.

Jeno menghela napasnya. "Tapi kalau kau terlalu memaksakan diri tanpa melihat jam istirahatmu, kau hanya akan berakhir kelelahan di hari pentingmu."

"Tidak akan, aku juga tau waktu." Jawab Renjun.

Halis Jeno terangkat sebelah. "Tau waktu? Kalau begitu aku lihat besok kau benar tau waktu atau tidak."

Renjun mengalihkan pandangan. "Ih, kau bilang ingin ke cafe roti. Lalu kenapa malah terus melingkari pinggangku? Aku harus mengganti pakaianku dulu." Renjun mencoba melepas pelukan Jeno pada pinggangnya.

"Aku ingin mendapat sebuah ciuman dulu." Jeno memanfaatkan hal itu, dengan mengeratkan pelukannya sambil menatap bibir Renjun.

"Dari tadi kau mendapat banyak hal itu dariku, kenapa masih juga menagih ciuman." Walau sambil mengomel, Renjun tetap mengecup bibir Jeno.

To My First ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang