Sepanjang perjalanan mereka tak ada yang berbicara, Jeno dengan rasa kesalnya karena Renjun begitu tak mempercayainya. Dan Renjun pun tak memiliki keinginan membuka suara, disaat semua sorot jenaka milik Jeno hilang sejak mereka berdebat di depan rumah Jeno.
"Aku memesan satu kamar untukmu menungguku, kalau tidak mau juga kau tinggal menunggu di mobil." Ujar Jeno setelah ia menghubungi seseorang begitu keluar dari mobil.
Renjun yang mengikuti langkahnya turun dari mobil langsung bertanya. "Pertemuanmu dimana?"
Karena sejak tadi emosinya belum juga hilang, jadilah saat mendengar pertanyaan itu Jeno mengeluarkan nada kesal. "Kau juga ingin ikut pertemuannya?"
"Aku hanya bertanya, kalau tiba-tiba terjadi sesuatu aku mudah menemukanmu." Jawab Renjun, ia terlihat lebih santai.
"Tentu saja di meeting room." Jawab Jeno sinis.
Setelah itu Jeno bergegas menuju meeting room yang ada di hotel itu, tanpa memperhatikan lagi Renjun yang kini mendengus begitu melihat sikap sinis Jeno.
"Kenapa jadi marah-marah." Gerutu Renjun dalam perjalanan menuju kamar yang tadi sudah Jeno beritaukan.
Selama menunggu Jeno, Renjun berbaring di kasur sambil menonton beberapa tayangan di ponselnya. Lalu saat lapar ia segera memesan makanan agar diantar ke kamarnya. Saat mulai bosan, Renjun jatuh tertidur sampai sore menjelang malam. Dan saat membuka mata, ia belum menemukan tanda-tanda kehadiran Jeno.
Turun dari kasur, Renjun menuju kamar mandi untuk mencuci mukanya. Dan bertepatan dengan Jeno yang memasuki kamar dengan raut lelah.
"Semuanya selesai?" Tanya Renjun dengan nada lembut.
Jeno benar-benar malas menjawab pertanyaan Renjun, akhirnya ia hanya melengos dari Renjun dan bergegas menuju kasur, membaringkan tubuhnya.
"Aku harap kau sudah makan, mandinya besok saja. Sekarang kau memang lebih baik tidur yang nyenyak." Renjun berujar demikian sambil mendekati Jeno yang sudah memejamkan matanya.
Walau matanya terpejam, tapi Jeno masih setengah sadar. Ia merasakan jemari Renjun yang membuka dasinya, melepas dua kancing teratas kemejanya. Jeno juga merasakan lengannya diangkat, untuk membuka jas yang ia kenakan. Ikat pinggangnya Renjun buka juga, membuat seluruh tubuhnya terlepas dari semua lilitan menyesakkan.
Mungkin kalau Jeno sepenuhnya sadar dan melihat semua ketelatenan Renjun mengurusnya, rasa kesalnya bisa sedikit berkurang. Tapi setengah kegiatan Renjun tak Jeno ketahui karena ia jatuh tertidur setelah merasakan sesak dari pakaiannya lepas.
Keesokan harinya, Jeno terbangun dengan suara Renjun yang tengah sarapan. "Kita pulang pagi ini kan?" Tanya Renjun begitu menyadari Jeno yang sudah bangun dan tengah mengecek ponselnya.
Rasanya Jeno ingin mendengus kasar di hadapan Renjun saat ini juga, ia tau kekhawatiran Renjun soal lombanya. Tapi bisakah anak itu tak bertanya dulu? Jeno bahkan mengusahakan agar mereka bisa pulang cepat. Dengan mendengar pertanyaan Renjun, justru membuat rasa lelah Jeno bertambah.
"Langsung bersiap, setelah selesai nanti aku hubungi kau agar segera turun." Jeno memang belum menyelesaikan pembicaraan dengan salah satu kliennya, semoga saja pagi ini selesai cepat.
Jeno memasuki mobil sambil menghela napasnya. Untungnya pertemuan barusan memakan waktu lebih sedikit dari kemarin, ia jadi bisa membawa Renjun pulang sebelum sore. Tapi meski begitu, semua rasa lelah Jeno rasakan."Kau lihat? Aku pasti menepati janjiku untuk datang besok. Pertemuannya selesai dengan cepat." Ujar Jeno sambil melirik Renjun sesaat setelah ia melajukan mobilnya menuju pulang.
Renjun menoleh. "Bisa saja kalau aku tak ikut semuanya tak secepat ini, lalu kau berakhir tak datang lagi ke acaraku dan malah melanggar janjimu."
Kepala Jeno rasanya belum beristirahat dengan benar, emosi yang dibawanya sejak kemarin tidak terbuang hanya karena ia membicarakan masalah pekerjaan dengan oranglain. Malahan itu membawa dampak melelahkan yang jauh lebih banyak. Dan sekarang, telinganya mendengar Renjun seolah menyepelekan usahanya. Serta tak mempercayai janjinya, padahal seingat Jeno dirinya ini tak sebrengsek itu.
"Kau benar benar tak percaya janjiku?" Dada Jeno sudah bergerak naik turun lebih cepat, padahal terasa lebih berat karena emosi yang bercokol.
"Bagaimana aku percaya disaat kau memang tak pernah datang." Ujar Renjun, karena memang ia tak mungkin setidak percaya ini pada Jeno kalau sebelum-sebelumya Jeno kerap hadir untuknya.
Tapi tak pernah! Jeno selalu memiliki alasan untuk tak datang. Inilah yang membuat Renjun sekarang begitu keras kepala ingin Jeno hadir, ia ingin Jeno melihatnya tampil di perlombaan sekali saja. Ia ingin tau rasanya disaat kekasihnya sendiri datang mendukungnya.
Melihat gelagat santai dan nada tanpa rasa bersalah dari Renjun membuat Jeno semakin kesal. "Kau jadi semenyebalkan ini hanya karena masalah aku yang harus menonton perlombaanmu."
Mata Renjun membesar tak percaya. "Itu bukan sekedar kata hanya!" Sentak Renjun.
Benatakan Renjun seolah membuka jalan untuk emosi Jeno yang ingin ia keluarkan. "Kau bahkan tak tau alasan aku tak pernah datang itu apa!" Balas Jeno dengan suara keras.
Tangannya memegang setir dengan erat, matanya yang berkilat penuh rasa kesal sesekali melirik Renjun.
"Alasanmu tak datang lebih besar dari pada alasanmu datang yang adalah aku?!" Tanya Renjun.
Jeno menganga tak percaya mendengar ucapan Renjun, ia jadi penasaran reaksi Renjun kalau ia beritau alasan miliknya.
Belum sempat Jeno menjawab, sebuah hantaman keras mengenai mobilnya. Ia terlalu fokus berseteru dengan Renjun hingga tak menyadari lampu lalu lintas yang menyala merah. Sekarang mobilnya tertabrak dari arah Renjun, membuatnya terkena benturan juga beberapa pecahan kaca. Meski begitu kesadarannya masih utuh, bahkan saat mobilnya terjungkal dan berhenti dengan keadaan mengerikan.
Kepalanya menoleh panik ke sisinya, mengingat ia bersama Renjun sejak tadi. Jeno melihat kondisi Renjun yang tak sadarkan diri dengan darah yang mengucur di wajahnya entah darimana keluarnya.
"No!" Jeno menjerit panik sambil berusaha meraih kekasihnya itu, air matanya menetes. Ketakutan menghantui dirinya, Renjun tak boleh kenapa-kenapa.
Tapi karena kecerobohannya, orang yang harusnya ia jaga sekarang justru terluka. Jeno takut Renjun meninggalkannya.
"Renjun!" Panggilannya tak bisa dianggap pelan, tapi Renjun tak juga membuka matanya. Air mata Jeno mulai menghalangi pandangannya, rasa sesak memenuhi dadanya diikuti pening yang melanda sampai ia pun jatuh tak sadarkan diri.
________
Ini kalo aku masukkin tag fluffy boleh ya? 😁