Malamnya, Jeno sudah sadarkan diri. Dan kini tengah menndapat pemeriksaan dari dokter. "Renjun." Jeno terus menyebut nama kekasihnya, meminta seseorang menjelaskan kondisi Renjun padanya.
Sejak bangun, yang ada di pikiran Jeno adalah Renjun, pertengkaran mereka, kecelakaan. Dan perlombaan Renjun. Semuanya mampu membuat tubuh Jeno yang lemas, makin hilang kekuatan.
"Kondisinya membaik, tapi belum sadar." Dokter yang menangani Jeno akhirnya memberitaukan setelah dari tadi tak juga menjawab.
"Aku harus melihatnya." Ujar Jeno.
"Jeno, mama mengkhawatirkanmu." Nyonya Lee menahan bahu Jeno saat melihat putranya hendak turun dari ranjang.
Menatap sang mama dengan wajah pucat dan juga beberapa bekas luka akibat pecahan kaca di beberapa bagian wajahnya, Jeno tak terlihat hendak menuruti ucapan dokter ataupun sang mama. "Aku janji akan sembuh cepat, agar mama tak khawatir lagi."
"Asal dibolehkan melihat Renjun." Lanjut Jeno, ia berusaha keras agar bisa melihat kondisi kekasihnya itu. Demi Tuhan, bayangan terakhir Renjun yang berlumuran darah membuatnya ketakutan. Takut ditinggalkan.
Nyonya Lee menatap Jeno lama, anaknya ini begitu kukuh. "Kau bahkan sulit makan dan minum obat, bagaimana cara agar kau cepat sembuh."
Jeno menggelengkan kepalanga. "Aku tak akan seperti itu." Maksudnya, tak akan sulit makan dan meminum obat sesuai perintah.
"Tapi bertemu Renjun dulu." Jeno kini berakhir memohon pada dokter yang masih ada di ruangannya.
Dan setelah semua usaha Jeno agar diizinkan bertemu Renjun, akhirnya sekarang ia trngah dibantu sang kakak yang mendorong kursi rodanya menuju ruangan tempat Renjun dirawat. Kaki Jeno sebenarnya baik-baik saja, tapi tadi dokter menyarankan memakai kursi roda.
Begitu memasuki ruangan Renjun, Jeno meneteskan air matanya begitu saja. Rasa sedih dan penyesalan menggerogotinya. Semua kejadian ini terjadi karenanya. Ia begitu ceroboh sampai-sampai tak memperhatikan jalanan dengan baik saat menyetir. Walau memang saat itu ia sedang dalam emosi yang menguasai, harusnya ia menepikan dulu mobil terlebih dahulu. Ah, mengingat sebelum kejadian ini, mereka malah bertengkar hebat membuat Jeno semakin merasa sedih.
Juga, kenyataan kalau besok adalah hari dimana perlombaan Renjun akan diadakan membuat Jeno merasa bersalah karena menjadikan Renjun berakhir celaka. Dan tak ada kemungkinan Renjun ikut perlombaan saat kesadaran anak itu saja belum ada tanda-tanda menjemputnya.
Padahal Renjun begitu bersemangat untuk perlombaan kali ini, sampai meminta sendiri Jeno datang kesana. Dan sekarang disaat Jeno sudah berjanji akan datang, Renjun justru tak akan ikut lomba itu.
Renjun membuka matanya, melirik tangannya yang dililit perban, lalu merasakan sekujur tubuhnya yang sakit.
"Ma, hari apa ini?" Ia sadar kalau ia baru saja mengalami kecelakaan dan tidur lama. Sekarang ia ingin tau berapa lama ia tertidur, dan waktu yang sekarang ia pijak.
Nyonya Huang yang sempat terkejut mwndengar suara putranya yang baru sadar, kini menjawab pertanyaan pertama yang ditanyakan sang anak. "Selasa malam, sayang."
"Besok aku ada lomba." Ucap Renjun pelan.
Wanita itu mendekat ke wajah Renjun, mengusap lembut kepala anaknya. "Tidak dulu, ya? Kau sedang seperti ini." Suaranya bergetar menyadari tatapan Renjun penuh kesedihan.
"Aku bisa saja didiskualifikasi kalau tak datang." Mata Renjun berkaca-kaca.
"Dan bagaimana caranya kau menunggangi Regy dengan keadaan seperti ini?" Nyonya Huang tau pasti anaknya sedih saat sadar kalau ia akan melewatkan salahsatu perlombaan yang ingin ia ikuti itu.
Renjun terisak mendengarnya, ia menangis mendapati tubuhnya memang tak dalam kondisi baik untuk berkuda. Tapi, ia menginginkan perlombaan itu. Apalagi Jeno sudah janji akan datang. Renjun baru saja hendak merasakan sebuah bahagia saat kekasihnya sendiri menonton penampilannya, tapi ternyata kejadian ini mengubur telak bahagianyanyang baru muncul setitik itu.
Sekarang ia memejamkan matanya, menolak percaya hari yang ia tunggu tak akan datang. Air matanya mengalir deras.