Paginya Renjun bangun dengan perasaan yang masih diselimuti kecewa, tidur tak membuat ia melupakan keinginannya yang sejak lama ia miliki yaitu Jeno melihat tampilannya saat berkuda.Matanya kemudian melihat ponsel yang bukan miliknya, tapi ia kenal betul. Itu ponsel Jeno. Apa ada Jeno? Menginapkah?
Renjun beranjak dari kasurnya untuk memastikan apakah Jeno benar ada di rumahnya atau tidak, tapi saat ia keluar dari kamar ia hanya di sambut sang ibu. "Ma, Jeno menginap?"
Nyonya Huang mengerutkan dahinya. "Tidak, semalam juga ia langsung pulang."
Setelah itu Renjun memutuskan untuk kembali ke kamar, mengambil ponsel Jeno yang tergeletal di atas meja kecil di pinggir kasur Renjun. Kemudian ia menyalakan itu, dan menemukan tampilan layar utama Jeno adalah sebuah tulisan kata maaf.
Halis Renjun pun terangkat saat menyadari ada sticky notes yang tertempel di bagian belakang ponsel Jeno, ah ia kenal betul sticky notes nya. Itu miliknya.
Kau pasti malas menghubungi dan menjawab panggilanku ya, kalau begitu aku juga menitip ponselku disini.
Renjun baru ingat, dulu Jeno pernah seperti ini juga. Saat Renjun marah karena Jeno yang tak ada memberitaunya kalau dominan itu jatuh sakit, bahkan sampai harus dirawat. Membuat Renjun merasa kecewa karena tak dihubungi untuk sekadar diberi kabar, berakhir Renjun yang malas menghubungi Jeno lagi. Kemudian Jeno memilih meninggalkan ponselnya di rumah Renjun, dengan alasan tak ada hal penting yang mengharuskannya memegang ponsel disaat Renjun tak menghubunginya.
Menghela napasnya, Renjun kembali membaringkan tubuhnya. Berpikir sekarang ia harus seperti apa terhadap Jeno. Tangannya membuka ponsel Jeno, menghubungi nomor kantor Jeno dengan itu.
Saat panggilan terhubung, Renjun bisa langsung mendengar suara Jeno yang bertanya soal siapa sosok yang menghubunginya itu. Tapi Renjun tak langsung menjawab, ia rasanya malu untuk memberitau Jeno kalau sekarang ia ingin bertemu dominan itu untuk berbicara.
📞 "Aku akan sambungkan pada sekretarisku, karena aku masih—
"Ini aku." Renjun dengan cepat memberitau hal itu, takut Jeno keburu mengalihkan panggilannya.
📞 "Renjun! Ya tuhan, aku benar-benar merindukanmu." Suara Jeno penuh akan rasa lega saat mendengar suara kekasihnya.
"Hanya sehari tidak bertemu, kenapa berlebihan sekali." Ketus Renjun.
📞 "Tidak berlebihan, itu wajar!"
Renjun mendengus. "Kau di new york berminggu-minggu dan tak saling bertemu, kau tetap baik-baik saja."
📞 "Beda!" Jeno berujar kukuh.
"Mama memasak banyak makanan pagi ini, mau aku bawa untuk makan siangmu tidak?" Setelah berpikir, akhirnya Renjun menemukan itu untuk cara agar ia bisa mengajak Jeno bertemu hari ini.
Padahal ia belum tau mamanya memasak banyak atau tidak, bahkan ia juga belum sarapan sama sekali.
📞 "Boleh, cepat kemari ya." Jeno terdengar antusias.
Renjun memasuki ruangan Jeno, melihat kekasihnya itu fokus dengan laptopnya.
"Itu berkas yang baru? Simpan dulu, jangan sekarang. Hari ini kekasihku akan kemari, aku tak bisa memeriksanya hari ini." Ujar Jeno tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.
"Jadi, sekarang aku harus bagaimana?"
Suara Renjun membuat Jeno mendongak langsung, rautnya nampak penuh haru melihat kedatangan Renjun. "Aku benar-benar merindukanmu."
Lebih dari itu, Jeno juga memiliki rasa bersalah pada Renjun. Jadi saat melihat kedatangannya, ia langsung merasakan hatinya mencelos.
Tangan Renjun menyimpan bekal makan siang yang ia bawakan untuk Jeno, bertepatan dengan Jeno yang memeluknya sambil mendusal manja.
"Kalau rindu kenapa tak menemuiku kemarin?" Tanya Renjun diantara rasa gelinya saat Jeno mengendus lehernya.
"Maaf." Ujar Jeno. "Aku lupa kalau pekerjaanku tak bisa ditinggal lama."
Renjun mendengus pelan. "Kau juga lupa kalau pernah mengucapkan akan datang melihatku kemarin?"
Jeno menghentikan acara bermanja-manjanya pada Renjun, matanya menatap Renjun yang juga tak menampilkan raut bergurau. Bahkan tatapan Renjun begitu dalam menyelaminya.
"Makan dulu, nanti kita bicara." Renjun menarik Jeno agar duduk di atas sofa di pinggir ruangan, kemudian membuka bekal yang ia bawa untuk Jeno.
"Kau sengaja memasaknya untukku?" Jeno mencoba menghilangkan suasana tak menyenangkan yang tiba-tiba berada di sekitar mereka.
"Mana ada, ini makanan sisa. Aku tak mau repot-repot membuatkanmu makan siang, disaat kau bisa memesan makanan dari restoran sesukamu." Nyatanya Renjun memang sengaja memasak menu ini untuk Jeno.
Mendengar ucapan Renjun, Jeno merengut kemudian mulai menikmati makanannya sambil ditemani Renjun.
"Kau ikut makan." Pinta Jeno pada Renjun.
"Tidak mau." Tolak Renjun.
Diam-diam Jeno menghela napasnya, Renjun masih marah padanya. "Jadi apa yang ingin kau katakan?"
"Selesaikan dulu makananmu."
"Tidak apa-apa, aku dengarkan sambil makan." Jeno ingin ketegangan diantara keduanya segera menghilang, karena ia tak nyaman akan suasana yang ada saat ini.
Jadi ia ingin apa yang Renjun hendak sampaikan segera ia dengar, agar ia tau keinginan kekasihnya itu.
"Aku tak pernah memintamu sengaja menonton perlombaan yang aku ikuti, tapi kemarin kau yang mengatakan sendiri akan datang." Renjun mulai berbicara.
"Nyatanya kau tak hadir, lagi."
Renjun menggali ingatannya lagi. "Dan aku menyadari kalau kau memang tak pernah sekalipun datang di setiap perlombaan yang aku ikuti, aku tak tau alasan kau seperti itu memang karena kesibukanmu atau kau tak mau melihatku."
Submisif itu sadar betul kalau sekarang ia seolah tengah menuduh Jeno, karena kenyataannya ia memang mulai merasakan kejanggalan dalam ketidak hadiran Jeno yang konsisten itu.
"Kalau kau memang sengaja mencari sibuk itu, aku tak mengerti kenapa kau tak mau melihatku dan memberiku dukungan sebelum aku memulai semuanya." Tapi diantara kejanggalan yang Renjun rasakan, ia juga bingung dan belum menemukan alasan Jeno bersikap demikian.
"Padahal semenjak sekolah juga kau yang tau bagaimana aku suka berkuda, kau juga yang mendorongku untuk percaya pada kemampuanku. Tapi setelah aku di titik ini, kau justru seolah tak mendukungku." Nada suara Renjun memelan di akhir, ia sedih membayangkan orang yang ia butuhkan justru sudah tak mendukungnya.
Jeno menelan salivanya, dadanya nyeri merasakan sendiri kekecewaan Renjun lewat ucapannya itu. "Maaf." Perasaan bersalahnya pada Renjun semakin besar.
Mata keduanya saling menatap. "Aku tak pernah memintamu hadir, bukan berarti aku tak mau kau ada diantara orang-orang yang menontonku. Aku tak pernah mengeluh saat kau mengatakan tak bisa hadir karena kesibukanku, bukan berarti aku tak sedih."
"Dan sekarang, untuk kali pertama aku mengeluh atas hal ini padamu. Dan untuk pertama kalinya juga, aku memintamu datang di perlombaan yang aku ikuti bulan depan."
"Aku sangat ingin kau hadir nanti, tolong kabulkan permintaanku satu ini. Aku harap kau tak mencari sibukmu di hari yang sama aku turun ke pacuan kuda."
"Kalau kau masih tak bisa hadir atas permintaan kekasihmu sendiri. Aku mengundangmu sebagai atlet berkuda, agar kau datang nanti."