"Kenyang, mah." ucap Rehan sembari melenguh kecil. "Aku mau rebahan."
Nayla menghela nafas. Semenjak siuman, Rehan hanya banyak minum dan sangat sedikit makan. Alasannya nggak enak, nggak nafsu, nggak selera. Intinya, Rehan tuh seperti ada yang dipikirkan.
Menyerah membujuk sang putra, Nayla memutuskan untuk keluar meninggalkan Rehan yang asik dengan pikirannya.
Usai sang ibu pergi, Rehan mendesah panjang. Menatap ujung ruangan yang terdapat sebuah bunga kiriman dari seseorang.
Dinding rumah sakit yang terasa akrab, harum obat-obatan yang juga familiar membuat Rehan tersenyum tipis. Sebagai seorang Dokter, Rehan tahu sekali rumah sakit adalah salah satu tempat paling tulus. Dimana doa-doa tercurah, harapan, air mata dan kehangatan yang tak ada habisnya dapat ia temui.
"Masa gue harus ninggalin ini semua?" gumamnya, geleng-geleng.
Asik memikirkan masa-masa kritisnya, Rehan mengerutkan kening kala pintu ruangan diketuk beberapa kali.
"Permisi, dok. Aku Kevara, boleh aku masuk?"
Senyum Rehan mengembang cepat, ia menjawab setengah teriak agar Kevara bisa mendengar. "Masuk, pasien!"
Raut pias Kevara menyambut Rehan, ia kaget dan sedikit tak menyangka jika Kevara melihatnya dengan tatapan getar yang seolah melahap Rehan dalam kasih sayang.
"Dokter Rehan." Kevara mendekat gugup, sembari mengobservasi kondisi Rehan lebih seksama. "Astaga, dokter nyetirnya gimana sih?"
Kekehan kecil Rehan menguar usai mendengarkan nada bicara Kevara. Atensinya teralih pada bunga yang tengah di dekap gadis yang rambutnya terbuka tersebut.
"Nggak baik lho memarahi orang sakit, pasien." balas Rehan tersenyum manis.
Kevara mendekat seraya mendengus geli. "Hari ini dokter yang menjadi pasien." katanya, membuat Rehan tertawa kecil.
"Sekarang aku mengerti kenapa para pasienku menolak melahap makanan rumah sakit." ujar Rehan.
Gantian, tawa Kevara yang menguar malu-malu. "Rasanya hambar." lalu Kevara sedikit menunduk. "Aku selalu merasakannya setiap hari, hingga sekarang."
Rehan melirik Kevara yang wajahnya mendadak mendung. Ia bangkit sedikit, menyender di kepala ranjang yang sudah dinaikkan oleh sang Mama. Lalu, menyodorkan tangannya. "Harus kuat, ya? Sakit itu nggak enak. Kamu harus pantang supaya sehat." telapak tangan Rehan jatuh persis di tangan Kevara yang mengepal di paha sang gadis.
"Ah, aku tertampar lagi olehmu, Kevara. Baru beberapa hari aku berbaring di ranjang rumah sakit, keluhanku sudah menggunung."
"Itu wajar. Dokter lebih sering memarahi pasien kan? Sekarang rasakan sendiri!" balas Kevara, akhirnya terhibur kembali.
"Kamu kok jahat banget sih?"
Kevara memiringkan kepalanya, senyum lebarnya membuat sakit yang Rehan rasakan agak lenyap. Tawa, canda dan rona malunya terlihat menggemaskan.
"Buket bunganya cantik. Itu buatku atau kamu beli untuk dirimu sendiri, seperti yang sudah-sudah?"
"Untuk dokter." ucap Kevara, meletakkan buket bunga putih yang harum.
Rehan menerimanya. Alisnya naik satu, lalu bertanya dengan tawa canggung. "Aku nggak ngerti banyak soal tanaman, Kevara. Bunga apa ini?"
"Bunga anyelir. Bunga ini dipercaya memberikan ketenangan."
"Aku suka sekali, Kevara. Terimakasih untuk bunganya. Tetapi, jika boleh jujur, aku sangat menyukai lukisanmu yang jauh lebih menenangkanku. Akan bagus sekali jika bunga ini kamu lukis."

KAMU SEDANG MEMBACA
Gentle Soldier
SpiritualSOLDIER SERIES 2 "Saat patah hati, membawamu pada ilahi."--J. S Row ________________________________________ Ravika Bilqis Adityaswara, Chef yang mempunyai pacar tampan seorang Dokter bernama Rehan. Hubungan keduanya tidak berjalan mulus, ketika Vik...