25. Penyerangan

373 35 7
                                        

Vika merasa tak enak hati karena membuat Hamidah kerepotan karena ulahnya. Umi dari Ibram itu sangat panik mendapatinya terpincang di depan teras. Ibram dengan sangat terpaksa menurunkan Vika di depan gerbang. Lelaki itu asli takut jika Hamidah memergoki mereka. Lucu sekali mendengar Ibram panik kala Vika enggan turun juga tadi.

"Ibrahim nggak jagain kamu, ya?"

Hamidah mengurut bagian kaki Vika dengan hati-hati. Kebetulan ia juga pandai urusan urut-mengurut.

Vika meringis malu. Jelas-jelas ia jatuh sendiri karena tak mau mendengarkan peringatan Ibram.

Untunglah Ibram tampak pasrah disalahkan oleh Hamidah. Lelaki itu tak protes sedikitpun, malah terus bertanya kondisi Vika.

"Ibrahim, Umi lagi masak nasi, nak. Coba kamu lihat, kayaknya udah matang."

Ibram langsung meluncur ke arah dapur di pojok kanan. Dari tempatnya duduk selonjoran dengan Hamidah, Vika dapat melihat punggung Ibram yang tengah mengaduk-aduk nasi. Kepul nasi matang mengelilingi tubuh Ibram, lelaki itu tampak tak asing dengan alat-alat dapur.

Memang, antara ruang keluarga dan dapur itu menjadi satu. Tak ada sekat ruangan.

"Nggak apa-apa ini," Hamidah sedikit tersenyum, tangannya masih apik bekerja. "Paling nyeri tiga harian."

"Aduh, maafin Vika ya, Umi. Jadi ngerepotin." wajah Vika memerah.

Hamidah malah tertawa. Vika adalah gadis kedua yang Ibram bawa ke rumah. Dan sikap gadis ini amat berbeda dengan Kevara— sahabat Ibram yang juga seringkali berkunjung.

"Umi ambilin makan, ya. Nanti kita makan bareng-bareng di sini aja."

Ih, Vika nyesel deh banyak tingkah!

Dia benar-benar diperlakukan begitu baik oleh Hamidah. Seperti putrinya sendiri yang telah lama hilang. Bahkan Hamidah sesekali menyuapi Vika dengan lauk-pauknya.

"Anak Umi sering jahil sama kamu nggak, nak?"

Vika tertawa. Melirik Ibram yang tengah asik makan tanpa mau ikut menyambar percakapan, lelaki itu sudah kadung pasrah akan jadi bahan pembicaraan.

"Kayaknya Ibram yang sering Vika jahilin, Umi. Untung Ibram nggak pernah ngebales."

"Bakal dipukuli Papanya dia kalau berani kasar sama perempuan." ujar Hamidah. "Papanya Ibram nih tegas banget lho kalau didik anak laki-lakinya." cerita Hamidah, berseri-seri. "Tapi bisa lembut banget sama anak perempuan."

Tanpa sadar, kaset-kaset di kepala Ibram memutar. Segala tentang ayahnya terlampir kembali di ingatannya. Caranya berbicara, berdiri, duduk, bahkan berdehem.

"Vika yakin, almarhum pasti bangga sekali melihat anak laki-lakinya begitu menjunjung nilai-nilai ajarannya." Vika tersenyum tulus, memuji Ibram yang asik tertunduk dalam.

Hamidah mengangguk, mengusap kepala putranya. "Jangan dilupakan lho, Ibrahim."

"Mana mungkin, Umi. Wejangan Papa itu warisan paling berharga untuk Ibram." Ibram mengambil tangan Hamidah, lantas menciuminya bolak-balik. "Ibram akan selalu ingat kata-kata Papa. Anak laki-laki pantang membuat perempuan menangis, kan? Bukan laki-laki sejati namanya jika ia mempermainkan perempuan."

***

Sejujurnya Ibram ingin sekali menginap, namun dia tak bisa. Tugas adalah tugas, hari ini Ibram berhasil mencuri waktu untuk menjenguk Umi nya. Lagipula, ada Vika yang harus cepat-cepat kembali pulang.

"Bram, umi sama siapa kalau lo tinggal?" tanya Vika, saat mereka melenggang di tol. "Sendirian?" lanjut gadis itu, tersirat nada prihatin sekaligus cemas.

Gentle SoldierTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang