23 ♢ BRAVERY

23 5 47
                                    

berteriaklah selagi kamu benar,
walaupun banyak yang berkomentar.
diamlah selagi kamu salah,
walaupun tak banyak yang peduli. ⋆
__________

"Fica." Itu kata pertama yang keluar dari bibir Malvin ketika menyadari Sheryl tak ada dan jus jeruknya tak bersisa.

Fica terkesiap, ia mengepalkan tangannya sambil menahan napas. Dengan takut-takut, ia melangkah ke depan Malvin. "Y-ya, kak?" Ia menunduk, tak berani menatap Malvin.

"Mona?" Malvin bertanya dengan nada menahan sesuatu. Fica dengan ragu-ragu mengangguk, namun anggukan itu cepat.

Malvin memejamkan mata dan menghembuskan napasnya kasar lalu melayangkan tinju di meja sampingnya dengan keras.

Brak!

Amarah Malvin memuncak saat Fica menganggukkan kepalanya. Lihat, sebagian siswa yang tersisa terkejut. Bahkan ada yang sudah memejamkan matanya.

Malvin menatap tajam Mona dengan tangan mengepal yang masih menempel pada meja.

"Apa?!" Mona berteriak. "Lo mau pukul gue? Pukul aja sini, pukul!" Ia menunjuk-nunjuk pipi kanannya.

Malvin masih bergeming, tak habis pikir. Kenapa ia memiliki adik seperti ini? Ah, tidak. Kenapa adiknya jadi seperti ini? Sejak kapan Mona menjadi seperti ini? Tiba-tiba saja memori di otak Malvin berputar mundur. Ia mengingat hari-hari dimana Mona tersenyum dan tertawa ceria dengan bebas. Itu... Sepuluh tahun lalu saat Mona masih berumur enam tahun dan duduk di bangku kelas satu sekolah dasar.

Saat itu adalah musim hujan. Mona kecil berlarian kesana kemari di taman depan rumahnya dengan tawa bebas menghiasi wajahnya di bawah guyuran hujan deras sambil membawa boneka beruang cokelat kesayangannya yang ia peluk erat.

Temannya mengejarnya, ia... Ya. Ia adalah Adrian. Dan Malvin menyaksikan itu di teras, menunggu mereka selesai bermain. Malvin mengawasi mereka. Meski mereka seumuran, ia merasa menjadi tanggungjawabnya menjaga adiknya yang hanya terpaut satu tahun itu.

Ia melihat wajah adiknya yang berseri-seri, sedangkan wajah Adrian yang datar sedang mengejarnya. Dari sudut pandang Malvin, Adrian sengaja memperlambat laju larinya. Malvin tahu karena ia pernah berlomba lari dengan Adrian saat jam pelajaran olahraga. Adrian memiliki fisik yang kuat sejak lahir, lebih dari Malvin. Ia kalah telak dengan Adrian.

Malvin berpikir, apa yang sedang ada dalam kepala Adrian saat ini? Apa alasan yang membuatnya mau bermain dengan adiknya meski ia tak suka? Itu terlihat jelas di wajahnya yang tak menampilkan ekspresi. Ah, itu akan terlihat seperti ekspresi kesal jika diperhatikan lebih lekat.

"Huaaa!!!"

Malvin mengerjapkan matanya, lamunannya buyar ketika mendengar suara rengekan tangis adiknya. Ia melihat Mona duduk dengan memegangi kakinya, lutut Mona terluka, terlihat darah segar mengalir dari sana.

Malvin langsung berlari menghampiri Mona lalu memeluknya. "Mona jatuh? Hm?" Malvin kecil mengelus-elus punggung Mona untuk menenangkannya. "Cup cup cup..." Malvin menyeka air mata Mona meski menyatu dengan air hujan.

Saat Malvin sedang menenangkan Mona, Adrian kecil hanya berdiri melihat ke bawah sambil mengepalkan tangannya.

"Huaaaa! Kak Adlian jahaatt!!" Tunjuk Mona pada Adrian.

Bagian PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang