kamu memintaku pergi maka aku akan pergi, aku sudah siap meninggalkan kota dengan sejuta ceritanya. kemudian kembali tapi bukan lagi sebagai Lawitta, aku pastikan kamu tidak akan mengenalku.
_________________________________________
cekritt! ciittt
aku menoleh datar saat seseorang masuk, ia menghampiri setelah menutup kembali pintu. wajahnya tersenyum lebar bersama toples berisi ciki.
"aduduh rajinnyaaaaa" ia meledek.
"keluar."
dia menepuk pelan kepalaku dua kali dan berkata, "cup cup semangaatttt" dan beralih duduk di tempat tidurku sambil memakan ciki.
"jadi kapan pindahnya?"
"pindah kemana?" dahiku berkerut sembari memutar kursi ke arahnya.
"ya kemana aja, yang tau kemana itu ya cuman kamu. aku mah apa, cuma remahan Rengginang" balasnya diakhiri dengan ekspresi SSSI (Sok Sedih Sok Imut).
"Arvan!"
"yes"
"please."
Arvan tersenyum bodo amat. kini cikinya sudah tinggal setengah toples, sebegitu enak kah ciki itu hingga Arvan tak bisa berhenti mengunyahnya. aku kembali melanjutkan tugasku.
"tapi Law, emang kamu mau di sini aja selamanya? bersama orang-orang yang memiliki kondisi sama seperti kamu. kamu harus selalu tau satu hal Law kalo kamu berbeda dengan kami, kamu masih ada kesempatan untuk sembuh dan hidup normal tapi kami udah gabisa, kami akan hidup seperti ini selamanya."
"diam kamu Arvan." Arvan langsung diam berusaha tak acuh.
" gue gak butuh nasihat lo jadi tolong diam. ngerti!?" tekanku.
"aku gak lagi ngasih nasihat tapi ngasih tau" Arvan mencari pembelaan.
"apapun itu. terserah"
Arvan berdiri dan keluar dengan membanting pintu. aku hanya bisa menghembuskan napas berkali-kali memenormalkan volume emosi. "kok dia yang marah, harusnya kan gue. aneh" gumamku.
rasanya benar-benar tidak nyaman jika sudah di ginikan. aku bahkan tidak bisa konsen kembali. Pada akhirnya ku gebrak meja dan pergi keluar untuk menyusul Arvan.
"Hai Law" sapa Ayu melewati pintu kamarku tapi aku tak sempat membalas sapaan itu.
saat di tangga Arista pula yang ku temui. arghh!
"eh Law ..., mau kemana?" tanya Arista karena melihatku terburu-buru.
"keluar bentar" jawabku terburu-buru.
"eeh gak gak gak, masuk kamar hayukk. gue mau nunjukin sesuatuuuu" tarik Aristta mencegat.
"ntar aja deh ..." aku berontak.
"No" Aristta semakin mengeratkan pegangannya.
"apasih anjing. gak usah ngelunjak" tepisku kasar dan langsung bergegas menuruni tangga secepat mungkin.
Aristta terdiam di tempatnya, beberapa detik kemudian ia tersadar dan masuk ke kamar. aku sudah berdiri di belakang Arvan, pria itu tengah membereskan tumpukan kardus untuk di loakan.
"Arvaannn"
Arvan menoleh tanpa bicara semakin membuat ku merasa bersalah.
"naon?" sahutnya karena aku tak kunjung bicara.
"lo ada rencana apa untuk gue emangnya?" tanyaku karena paham dengan maksud pembicaraannya di kamar tadi.
Arvan menumpuk kardus yang sudah di lepas lem nya dan menumpuknya menjadi satu.
"kamu harus kembali ke habitatmu"
Arvan diam sejenak tampak berpikir sedangkan aku sudah bersin-bersin untuk kesekian kalinya. perlu kalian ketahui di sini banyak debu.
"Ok, kamu gak usah kembali tapi kamu harus kembali hidup dilingkunganmu sebelumnya, tapi kamu tetap tinggal di sini kok. kamu masih punya hidup yang bisa kamu perjuangkan" ralat Arvan, terdengar dari suaranya sedikit parau, aku asumsikan sepertinya dia tengah menahan sesuatu di benaknya.
aku masih mendengarkan ucapannya dengan khidmat. jika boleh jujur aku tak suka suasana ini, rasanya waktu berjalan begitu lambat, aku sudah menghitung detik di kepalaku tapi kenapa lonceng jam belum juga berdenting untuk menggugurkan suasana ini.
"ada banyak orang yang mencintaimu, termasuk dia. aku tau kamu juga merasakan hal yang sama padanya, cinta kalian tidak bertepuk sebelah tangan melainkan kondisi dan situasi yang membuatnya bertepuk masing-masing" Arvan menarik salah satu kursi dan duduk.
jika tadi otakku menghitung detik jam kino otakku mencerna baik-baik perkata yang dikeluarkan Arvan.
"bahasamu berat, aku gak ngerti." elakku dan bergegas pergi dari sana.
aku sudah paham apa yang dimaksud Arvan tetapi aku tidak mau menyadarinya, inilah pilihannku. menolak kenyataan bahwa sebenarnya aku memang telah jauh merasa percikan itu tapi aku tidak mau, aku justru menyesal karena sudah jatuh cinta pada Dia. aku tidak suka, aku sudah lama tidak bisa masuk ke dalam peristiwa tidur Gupta. karena itu pula aku jadi tidak bisa melihat keadaan di sana. Aaaa aku benci hal ini. udah paling benar tidak ada cinta di kehidupan ini.
aku sampai di kamar, Arrista tidur membelakangi ranjang tidurku dan berkelumun ketika pintu kamar kubuka. melihat hal itu aku hanya bisa menghela napas panjang.
"Ariss, i'm sorry. Are you okey?" tanyaku berusaha membujuk. Arrista hanya membalas dengan isyarat tangan. lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas panjang. Baiklah.
Dengan langkah pelan aku menuju ranjang, niat hati agar Arrista tidak terganggu dengan derap langkahku yang cukup kuat. aku mengambil freshcare aromaterapi, kepalaku benar-benar pusing, dan aromatik adalah obat. Ketika mencium aromaterapi aku merasa lega, segar, tenang, intinya benar-benar memberikan efek hipnotis untukku. seketika semua masalah di kepalaku luntur terbawa angin.
'Sudah keputuskan aku tidak akan kembali. aku bahagia di sini, bersama orang-orang yang satu kondisi denganku, mereka memahamiku lebih dari diriku sendiri!'
_______________________________________
Hm ... baiklah Law jika itu yang kamu inginkan author cuman bisa pasrah menerima 😌
VOTE ⭐ and Coment
See You Next Page 👋
'Lumut Hijau'
KAMU SEDANG MEMBACA
Sleep And Law
FantasyCerita ke-tujuh "Orang-orang menyebutku Mata psikopat karena aku memiliki tatapan yang tajam bak psikopat!" Aku menatap tajam penuh penentangan pada mata orang di depanku yang kini sudah berpaling menghindari tatapanku. Jadi ini adalah sebuah cerita...