HAPPY READING 📖
-------------------------------------------------
Bukan hanya Winter yang terkejut, Lion yang duduk tenang di kursinya sembari mengambil makanan langsung menoleh dan tak bergerak. Kedua bola mata berbeda itu saling melirik-lirik.
"Apa yang kau bicarakan, Jake? Pacar dari mana?"
"Dia. Kau menemukannya di mana?"
Nyali Winter yang tadinya biasa saja, langsung menurun drastis hanya karena mendengar beberapa kata itu. Ia merasa mentalnya jatuh tak tanggung-tanggung. Masa harus sekarang ia mengutarakannya? Apa tidak bisa di lain waktu? Ia bahkan belum menyiapkan kata-kata apa untuk menjelaskan.
"Eee, itu ...." Akhirnya, hanya kegaguan yang bisa Winter berikan karena kepala yang biasanya sering berisi kata-kata langsung kosong melompong.
"Itu apa?" Kedua alis Jake terangkat dengan seringai menantang seolah mengatakan, beritahu aku sekarang atau kukejar?
Winter melangkah ke tempat duduknya, kemudian mendaratkan bokong dengan setengah hati. Makanan yang sudah begitu semangat ingin dimakan, malah seakan tidak bisa memasuki perut karena ditolak oleh mulut. Ia tidak mau memberitahunya sekarang, tapi dipaksa. Ia benci keadaan ini. Kenapa hal ini tidak ia perkirakan sebelumnya? Kenapa Jake harus datang sekarang, sih?
"Untuk apa kau datang ke sini? Kau mengganggu acara makanku, tahu tidak!" kesal Winter sembari menjauhkan piring. Namun, Lion yang melihat, mendekatkan piring itu dan mengambilkan makanan apa saja yang tersedia.
"Oh? Mengganggu acara makan bersama pacar? Wah, ada bau yang disembunyikan, tapi sudah kucium." Jake mengambil posisi duduk di depan lelaki yang kini menatapnya dengan sebelah alis terangkat. "Apa?" Ia membalas tatapan itu dengan suara. Namun, satu suara pun tak bisa ia dengar dari lelaki yang menggunakan kacamata bulat seperti anak kecil tak punya ibu.
"Kau makan saja, Winter." Lion menyadari suasana hati Winter yang semula cerah, mendadak mendung seperti berada di awan kegelapan. Tanpa diberitahu pun, ia tahu ada sesuatu di antara mereka. Entah sesuatu yang baik atau tidak, tapi ia menebak itu sesuatu yang tidak menyenangkan.
"Really? Aku harus menyaksikan perempuan yang dulunya single sekarang bermesraan di depanku? Woah, kau harus menjelaskan banyak padaku, Miss Dawn. Maybe right now?" Kedua lengan itu terlipat dan tergeletak di meja dengan tubuh mencondong. Lirikan mata yang semula terarah pada perempuan keriting itu, bak laser langsung terarah jelas pada sosok di sebelah Winter.
Lion tidak tahu reaksi apa yang harus ia berikan karena Winter masih belum memberikan reaksi yang berlebihan. Ia tidak akan membuka suara jika Winter tidak mempersilakan. Ia tidak akan mau ikut campur jika Winter tidak berada dalam ancaman. Ia hanya menunggu, meskipun setengah jengkel. Tatapannya itu seperti merendahkan.
"Kalau aku tidak mau?" Winter ikut melipat lengan di atas meja, mencondongkan tubuh dan mengarahkan bola matanya tepat ke bola mata Jake dengan seringai.
"Mulai menyembunyikan sesuatu pada temanmu?"
Lion yang telah mengunyah, tiba-tiba tersedak, memuncratkan sedikit isi makanan tepat ke depan Jake.
"Sial! Kau jorok, bodoh!" Jake memejam, merasakan ada percikan ludah mengenai wajahnya. Baru saja pertemuan pertama, tapi pria ini memberikan kesan yang tidak baik detik ini juga. Entah itu sengaja atau tidak, ia mulai menumbuhkan ketidaksukaan pada pria sok tampan yang kini membersihkan mulutnya menggunakan tisu.
"Siapa suruh duduk di depanku?" Itu hanya alibi Lion, karena ia lebih terkejut jika pria itu ternyata teman Winter. Padahal ia mengira dia adalah musuh Winter yang kebetulan sok baik. Tapi, anggap saja semburan tadi adalah p-erkenalan non verbal.
"Kau!"
"Stop. Kenapa malah kalian yang jadi bertengkar?"
"Kau tidak lihat dia menyemburku tadi? Tidak sopan sekali!" Mengingat itu, Jake langsung mendelik jijik pada lengan tangan yang tadinya juga terkena semburan ludah.
Jika Jake mendelik jijik, Lion pula mendelik sinis.
"Siapa itu?" tanya Lion pada Winter yang kini menggelengkan kepala akibat pusing dengan dua lelaki yang asalnya dari antah berantah.
"Teman," jawab Winter seadanya.
"Ooooo." Lion mengangguk-angguk tanpa suara dengan bibir maju sesenti. "Tapi dia agak kasar," bisiknya tepat di telinga Winter sembari melirik sebentar pria yang disebut teman itu.
Winter terkekeh kecil sembari memejam dan menggelengkan kepala. Mendengar kalimat lucu itu, pusingnya langsung menghilang dan urusan mengenai penjelasan pada Jake ikut terlupakan.
"Hei, kau pikir aku tuli?" Jake menegur dengan pandangan tak sedap. Bisa-bisanya ia digosipin di depan langsung.
"Kalau kau tidak tuli, apalagi bodoh, seharusnya kau tahu apa yang harus kau lakukan di meja makan. Kami mau makan, dan kau malah memancing keributan. Tunggu kami selesai makan, kan, bisa. Heran sekali." Inilah unek-unek yang ingin Lion keluarkan sejak tadi. Ia kesal saja harus terus menahan suapan ke mulut karena mendengar pria itu berceloteh. Dan ini kesempatan untuk mendebat dan menolong Winter. Melihat Winter begitu pusing menghadapi pria ini, ia takut ada masalah besar yang menghadapi Winter. Mungkin akan ia tanyakan masalah apa agar Winter bisa sedikit rileks.
"Hei, siapa namamu?"
"Lion," jawab Lion. "Kau?"
"Jake."
"Alright, Jake. Kau harus diam dan biarkan kami makan sebentar. Kehadiranmu sangat mengganggu, tahu tidak. Tolong diam." Ultimatum Lion bukan dianggap serius, malah semakin dianggap sebagai sampah lewat yang berbau busuk.
"Siapa kau yang berani mengaturku? Memangnya apa hakmu? Winter temanku, jadi aku punya hak untuk berkata banyak dengannya. Kau siapa? Pacarnya? Kalau iya pun, kau baru menjadi pacar saja sudah sok berlagak mengerti dia. Aku sudah cukup lama daripada kau, tahu!" Jake memundurkan tubuh, bersandar di punggung kursi sembari bersedekap dada. "Ngomong-ngomong, sejak kapan kalian berpacaran?"
"Kepo sekali. Itu urusan kami, kenapa kau yang mau ikut campur?"
"Aku temannya. Jadi sudah sepantasnya tahu."
"Tapi tidak harus sampai ke bagian privasi juga. Itu urusan kami. Kau hanya temannya, bukan berarti dekat." Lama-lama Lion jengkel juga dengan Jake ini. Sudah dibilang berhenti sebentar, malah masih merocos. Kapan ia bisa makan kalau begini? Kalau tidak ada Winter, sudah ia pastikan piring ini mendarat manis di wajah jelek yang sok tampan itu.
"Itu menjadi urusanku karena Winter adalah teman baikku. Kalau bukan menjadi urusanku, tidak mungkin aku datang ke sini. Tidak mungkin juga aku akan menolongnya kalau dia dalam masalah. Aku adalah pria yang paling baik karena selalu di sampingnya. Kalau kau? Kau hanya orang baru."
"Kau—"
"Sudah-sudah! Kenapa jadi bertengkar?" Winter menyela, menengahi keduanya yang akan semakin panas bila tidak dihentikan. Lion ternyata mudah emosi, dan ia tahu Jake sedari tadi hanya memancing emosi Lion karena pria itu tak tahu apa-apa.
"Dia yang mulai duluan. Kau seharusnya mengusir dia dari sini. Dia benar-benar penganggu makan kita. Aku kasihan sekali kau ditekan pria seperti ini."
Mendengar kata-kata kasihan itu, Winter tersenyum. Ternyata beginilah rasanya dipedulikan. Ia merasa ada yang khawatir dan peduli dengan masalah sepelenya. Dari Jake maupun Lion, ia tak bisa membohongi diri jika ia merasa senang dan berharap akan terus seperti ini.
.
.
.
TO BE CONTINUED
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembalap Miliarder ✅
Любовные романыPertama kali publish : 18 Februari 2023 Adam Green, pembalap miliarder penyuka tantangan mengalami kecelakaan setelah menerima tantangan balapan dengan musuhnya. Tatkala membuka mata, ia kehilangan semua ingatan, semua kenangan, jati diri, tak lagi...