Chapter - 40. Bertemu di Situasi Berbeda

109 10 5
                                    

HAPPY READING 📖

------------------------------------------------------

Winter berkacak pinggang sembari terus mengoceh. Tangannya terangkat untuk menarik cuping telinga Jake hingga suara rintihan keras terdengar.

"Sakit-sakit! Winter, lepas!" Kepala Jake agak menurun karena menyesuaikan tarikan Winter. Jika tidak, rasa sakitnya akan semakin besar jika ia tetap berdiri tegak. 

"Sudah kubilang jangan bergerak tanpa arahanku, tapi kau nakal sekali, hm? Mau kupukul?" 

"Jangan-jangan. Astaga, sakit!" Saat tarikan di telinganya terlepas, Jake berdiri dengan baik dan langsung memandang Winter dengan cemberut sekaligus marah. "Kau tidak perlu menarik telingaku! Aku tadi berbohong." 

Winter bersedekap senang. Ia sudah tahu Jake tidak mungkin bergerak sesuka hati tanpa ia arahkan dan tadi hanya menjahili cowok besar bernyali kecil ini. Ia kesal saja karena Jake berkata telah mengunggah artikel gelap mereka ke website perusahaan. Bagaimana tidak panik, mereka akan mudah mengetahui siapa penulisnya dan akhirnya malah mengetahui identitas pemilik. Memangnya perusahaan sebesar ini tidak ada pekerja bagian peretasan? Sangat mustahil jika situs mereka tetap aman kalau sudah sampai diretas. 

Saat Jake sibuk mengusap telinga yang terasa perih sembari mendengar Winter mengoceh lagi, tatapannya terarah ke belakang Winter dengan netra membola. "Win, Winter! Lihat ke belakangmu!" seru Jake heboh. 

Dengan wajah ketus karena ucapannya terpotong, Winter berbalik setengah hati. Netra malasnya bertemu dengan netra hazel itu lagi setelah beberapa minggu tak berjumpa. Netra hazel yang selalu menjadi pusat utama ketika ia menatapnya. Netra hazel yang mampu melumpuhkan seluruh aliran darah hanya sekali tatap. Tidak ada yang memiliki netra hazel seindah Lion. 

"Hai." Suara Lion untuk pertama kali setelah sekian lama, menyapa telinga dan hanya suara Lion-lah satu-satunya yang kini terdengar. Lututnya melemas dan rasanya ia butuh penyangga untuk menahan bobot tubuh ini. 

"Pacarmu datang, Winter!" bisik Jake di telinga Winter dengan suara cukup keras hingga Adam pun bisa mendengar. 

"Hush! Kau ini bicara apa!" tegur Winter tak senang. Ia terlalu kurang ajar jika masih mengaku Lion sebagai pacarnya. Bagaimana tanggapan Lion setelah ingatan itu kembali? Pasti agak menggelikan ada perempuan yang tak setara dengannya mengaku sebagai pacar. Ia mendadak malu. Apalagi mereka tidak pernah mendeklarasikan hubungan pacaran itu, meskipun sudah tahu perasaan masing-masing. Ia takut lelaki yang tampak berbeda ini bisa menganggapnya buruk. Ia lebih baik tidak pernah berjumpa dengan Lion lagi daripada ia harus bersusah payah menjelaskan banyak hal dan ternyata Lion tidak percaya. 

"Kau pikir aku mau dibodohi kalian, huh?" ketus Jake, lagi-lagi berbisik dengan suara keras. Lalu suaranya berubah, bukan lagi berbisik, tapi mengatakannya terang-terangan. "Apalagi dia merona tidak jelas. Kalaupun belum berpacaran, setidaknya kalian sudah terlihat seperti orang berpacaran. Sok-sok jual mahal." 

Winter malu hingga rasanya ingin mati. Ia ingin mencongkel mulut Jake agar tak bicara sembarangan. Entah apa yang merasuki mulut pria itu dan malah bisa secerewet ini. Benar kata Lion, mulut Jake seperti ember bocor. 

"Hai, Lion. Kau tahu, akhir-akhir ini Winter agak tak bersemangat dan galau. Kalian putus?" Pertanyaan Jake langsung dihadiahi jeweran lagi. Winter menahan malu. Bagaimana bisa Jake dengan mudah mengadukan apa yang terjadi padanya belakangan ini dan menyebut nama palsu pemberiannya? Lelaki ini memang bermulut perempuan dan kurang ajar. Ia bisa terlihat begitu bodoh di depan Lion. Jake tidak tahu saja jika Lion sudah memiliki pasangan sejak ia bertemu Lion. Bagaimana bisa ia merebut Lion dari tunangannya? Untuk mengetahui itu pun tidak sulit. Ia mendengar dari dokter kalau tunangan pasien yang ia bawa dan ternyata bernama Adam, telah melunasi semua biaya rumah sakit. Dan sekarang, apa ia bisa begitu lancang karena mengambil apa yang bukan miliknya?

 "Mulutmu terlalu senang bergosip, huh!" Rintihan sakit Jake direspons tawa lembut Lion. Keduanya langsung menatap Lion yang tampak hangat. Hal itu terlihat biasa untuk Jake, berbeda untuk Winter yang agak kaget. Di dalam bayangannya, seharusnya Adam marah dan menuntut sesuatu karena menjauhkannya dari keluarga. Seharusnya Lion memaki karena ia adalah wanita tak berguna yang sok menolong. Banyak sekali yang seharusnya Lion atau Adam ini lakukan padanya.

"Akhir-akhir ini aku sibuk. Mungkin—"

"Sibuk sampai melupakan pacarmu?" sembur Jake tak senang.

Mulut Winter terbuka hendak kembali berceramah, tapi Adam langsung menyela, "Itu sebabnya aku ke sini."

Seluruh atensi Winter hanya pada Lion, melupakan jika ada Jake di sampingnya. Ia merasa tulangnya melemas tak terkendali. Apa ia benar-benar masih memiliki muka untuk berhadapan dengan Lion setelah banyak hal yang terjadi di antara mereka?

"Boleh kita bicara, Winter?" Tatapan itu tidak berubah dan Winter merasa hendak tenggelam. Meskipun ingatan itu telah kembali, tetap saja cara Lion memandangnya seperti penuh pemujaan hingga ia takut terlalu berpikir dan berharap banyak.

"Boleh." Winter mengangguk kaku. Ia langsung berjalan tanpa bicara melewati Lion untuk duduk di mejanya yang sudah ia pesan. Tempat ini adalah tempat Lion bekerja selama tiga hari. Jika ada kesempatan, mungkin ia akan bertanya kenapa Lion bisa menemukannya di sini.

Adam menatap punggung mungil itu yang berjalan tanpa menoleh. Ia mengikuti ke mana Winter membawanya, sama seperti saat ia lupa dengan dunianya sendiri, Winter yang menuntunnya harus apa.

Keduanya duduk di dekat jendela persis seperti terakhir kali insiden memilukan itu terjadi dengan posisi berhadapan, lalu memesan dua cangkir kopi.

Winter melayangkan senyum meskipun ia tahu Lion dapat melihat senyum canggungnya. Rasanya aneh ketika ia harus berlagak seperti dulu saat Lion sudah mengingat semua jati diri. Ia tidak mungkin bisa sedekat dulu karena itu menggelikan.

"Sudah lama tak bertemu." Adam membuka topik yang langsung dijawab cepat.

"Ya."

"Aku Adam Green."

Tanpa disebut pun, Winter sudah tahu nama asli Lion. Jadi ia hanya tersenyum simpul sebagai balasan.

Namun, Adam tidak berhenti. Ia melanjutkan, "Tapi aku tetap selalu menyukai jika dipanggil Lion. Aku merasa dekat dengan nama itu."

Jangan sekarang! peringat Winter pada pipinya yang malah bisa dengan lancang untuk merona. Ia tidak mungkin merona di depan calon tunangan orang. Anggap sajalah yang pernah berlalu adalah pemanis hidup. Ia tidak boleh terbawa perasaan lagi. Cukup dulu saja.

"Baguslah kalau kau suka." Sekarang ini Winter seolah tak tahu harus berkata apa. Lagi-lagi ia dibuat canggung. Apa bisa Adam pergi saja dan tidak bertemu dengannya lagi?

Adam merutuk dalam hati. Kenapa mereka malah menjadi orang asing? Kenapa malah tidak menyenangkan begini? Apa Winter tidak tahu jika ia menyukai setiap wanita itu bicara? Apa Winter tidak tahu kalau ia merindukannya? Apa Winter menjaga jarak?

Apa Winter memang tidak mau peduli lagi dengannya?

Tapi, ia sama sekali tidak yakin.

Keyakinannya tetap sama. Winter pasti masih mencintainya.

.

.

.

TO BE CONTINUED

Pembalap Miliarder ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang