Chapter - 2. Keputusan Bulat

263 15 0
                                    

HAPPY READING 📖

--------------------------------------

Shivan menahan pundak Adam dengan keraguan yang meledak. Jika bisa, ia tidak mau setenang ini. Ia ingin memaki Adam dan menyuruhnya berhenti untuk berlagak hebat.

"Ada apa lagi?" Adam membalas dengan wajah tak sedap. Ia merasa seperti pecundang di depan Bright Lean jika Shivan terus menahannya untuk bicara.

"Saranku masih sama. Pikirkan baik-baik."

"Hanya karena sampah itu sampai kau mengusikku?" geram Adam sembari melayangkan tatapan sinisnya dan hampir melayangkan tinju jika saja tidak ada mereka di depannya sekarang.

Shivan mengatupkan bibir dengan wajah tak senang. Bukan hanya Adam yang kesal, ia juga kesal karena sarannya dianggap tak berguna. Sayang sekali ia memang tak bisa berbuat banyak. Adam telah berada di keputusannya dan ia tidak bisa mengganggu keputusan itu dengan cara apa pun lagi. Sisi optimis yang semula berkata masih bisa mengubah pikiran Adam, kini menjadi sebuah angan-angan. Ia hanya bisa berharap yang terbaik untuk Adam dan keputusannya.

Adam kembali menatap Bright yang berdiri dengan bibir terselip rokok. Lelaki itu tampak angkuh dengan para kacungnya di belakang yang hampir memiliki gaya sama. Gaya Bright terkesan sampah dan ia cukup jijik karena suka memamerkan memiliki segalanya dan merendahkan orang hanya melalui penampilan.

Berbeda dengan gayanya yang terkesan mewah. Tato hanya di bagian leher dan itupun hanya satu. Karena ada masalah dengan penglihatannya, ia hanya menggunakan softlens. Lucu sekali jika ia harus menggunakan kacamata. Terkesan seperti pria kutu buku.

Jika dilihat oleh orang yang tak mengenalnya, ia seperti anak baik-baik yang lugu, tapi keren. Kalau Bright, bahkan anak kecil pun akan menganggap jika pria itu tidak boleh didekati dan harus dijauhi karena seperti preman.

Jika Bright rela merusak diri dengan narkoba, minum, dan memesan pelacur, Adam keterbalikannya. Itulah mengapa Adam selalu menganggap dirinya mahal karena di lingkungannya yang serba kotor dan gelap, ia sama sekali tidak menyentuh benda-benda itu. Kecuali rokok dan minum. Itupun tidak sering jika memang tidak ingin.

"Kacung sejati sedang menasehati tuannya, huh?" ejek Bright sembari menyelipkan rokok ke dua jari. Ia terkekeh kemudian menoleh pada teman-temannya untuk membuat mereka mengiyakan. Mobil-mobil balap berjejer di belakang, sementara mereka di depan. Tujuannya memang hanya untuk mendengar Adam menerima tantangan.

Melihat tawa-tawa itu, Adam menaikkan kedua alis. "Dan kacung sejatimu juga mengikuti apa yang anjingnya suruh."

Senyum Bright luntur, bersamaan dengan tawa yang tadi terdengar.

"Alright. Aku tahu kau tidak akan mau berbasa-basi. Let's talk business, Green." Bright maju beberapa langkah sembari melanjutkan, "Harus kuakui kau memiliki aset yang menggila. Seharusnya kau duduk di kantor dan berdiam diri di sana sambil melihat laporan. Kau tidak cocok untuk menjadi pembalap keren di sini. Wajahmu sama sekali tak mendukung."

"Ternyata  Bright Lean mengakui ada pembalap keren sepertiku." Adam tertawa kecil dan memberikan seringainya. Jangan lupakan tatapan mengejek itu seolah menyerang Bright.

Bright tertawa, jelas tidak menyenangkan. "Ya, anggap saja itu pujian untukmu." Lengan yang semula menggantung, akhirnya terlipat di dada. "Jadi bagaimana, Green? Kau bisa menyanggupi tantanganku? Oh, jangan katakan tidak karena itu sangat menyinggung. Tapi kurasa kau akan menerimanya. Tebakanku benar?"

"Tentu. Memangnya aku pernah menolak?"

Senyum meremehkan keluar bersamaan kata-kata Bright selanjutnya, "Semoga bisa mengalahkanku."

"Oh, tapi hanya sekadar tanding? Tidak ada hadiah? Tidak mungkin seorang Bright Lean hanya ingin menantang," balas Adam dengan senyum yang sama. Ia seperti melihat sesuatu yang licik pada tantangan Bright kali ini, tapi ia masih belum mendapat celah untuk tahu. Siapa yang tidak tahu kalau Bright akan menghalalkan segala cara untuk menang. Ia pernah hampir kecelakaan dua kali karena masuk ke rencana licik itu. Namun, Tuhan sepertinya ingin menunjukkan kekuasaan baginya jika ia akan bisa terus berkilau, meskipun dihalau cara apa pun.

"Kehidupan yang menyenangkan. Aku bersumpah ini adalah terakhir kali aku menantangmu. Kalau kau menang di balapan ini, aku tidak akan mengganggu dan kau bebas melakukan apa saja di sini. Apa saja." Bright mundur dan kembali ke posisi di mana teman-temannya berada. Di dekat Adam membuat ia muak dan hendak melayangkan setidaknya satu pukulan di wajah itu. Ia paling benci menerima jika Adam lebih di atasnya. Lelaki itu seharusnya tidak pernah berada di sini. Lawan yang paling sulit ia taklukkan hanya Adam. Ia benci mengakui itu dan berharap Adam lenyap dari pandangan.

"Sounds good. Baiklah. Aku juga tidak mau meminta. Meminta bukanlah gayaku."

Dan ucapan pamer itu kembali memercikan kebencian Bright.

"Jadi ini sudah berakhir? Aku bisa pulang dengan tenang?" lanjut Adam dengan bibir yang mengeluarkan asap rokok.

"Silakan, Mr. Green. Kau bebas pergi." Berbicara sopan bukanlah gayanya. Tapi untuk kali ini, ia menahan gejolak untuk menyerang. Ia tidak boleh kalah elegan dari Adam. Bright Lean tidak boleh terlihat murahan karena itu memalukan.

Tanpa berkata-kata, Adam meninggalkan area, diikuti Shivan di belakangnya dan Cara.

Bright menatap punggung ketiga manusia itu dengan sirat kebencian membesar. Ralat, tidak ada kata benci untuk Cara. Entah dengan cara apa perempuan itu memikat Adam, untuk satu ini baru bisa ia puji sangat tulus karena memudahkan seluruh rencana yang sudah disusun matang.

***

"Aku tidak memaksamu untuk mengikuti kata-kataku, tapi coba pikirkan baik-baik, Adam. Dia sudah punya rencana besar untuk menang dan—"

"Harus berapa kali kau mengingatkanku hanya untuk menghibur? Kau terlihat seperti tak percaya padaku." Adam terang-terangan memberikan tatapan tak senangnya. Jika sudah begini, ia merasa Shivan tidak di pihaknya dengan tidak mendukung apa pun keputusan yang sudah ia buat. Bukan hanya itu, Shivan menganggap ia sama sekali tidak bisa berpikir. Ia benci diremehkan.

"Aku hanya—"

"Menasehatiku? Aku tidak butuh nasehatmu dan aku tahu apa yang harus kulakukan. Kau selalu berkata begitu seolah aku tidak bisa membuat keputusan yang benar. Kau sudah menyinggungku berkali-kali."

Shivan mengambil oksigen karena percakapan mereka kembali berakhir dengan perdebatan. Ia meredakan emosi agar tak ikut terpancing.

"Kau salah mengerti maksudku. Aku hanya ingin kau melihat jelas rencana besar itu sudah sangat matang sampai dia berniat untuk membebaskanmu. Kebebasan adalah hal yang mustahil Bright lakukan. Kau percaya begitu saja dengan tawarannya? Kau yakin?" kata Shivan selembut dan sejelas mungkin agar tidak kembali disalahpahami.

"Aku tahu apa yang akan kulakukan, Shivan. Kau tidak perlu secemas itu. Aku tahu menjaga diri kalau itu yang kau takutkan."

Tanpa diberitahu pun, Shivan akan 100 persen tahu Adam bisa menjaga diri dan ia percaya Adam tidak akan terluka. Tapi yang ia tidak percaya adalah Bright. Bright bisa melakukan apa pun yang dirasa menguntungkan dan itulah masalahnya. Ia tidak tahu apakah Bright akan menyakiti Adam kali ini atau memang balapan mereka benar-benar murni untuk meraih kemenangan tanpa cara licik.

"I'm done." Shivan menyerah. Ia tahu memang ini kesalahannya karena mengganggu keputusan Adam. Baiklah, mungkin setidaknya ia harus mengesampingkan kekhawatiran tak masuk akal seperti yang Adam katakan. Semoga saja memang tidak ada maksud lain dari tantangan ini.

Shivan melirik Cara yang sedari tadi mendengarkan mereka. Perempuan itu. Keberadaannya selalu membuat ia merasa tak nyaman. Ia mempertanyakan kembali mengapa Adam bisa memutuskan untuk menikah dengan Cara. Apa yang Adam lihat dari wanita serampangan seperti ini? Tapi untuk masalah itu ia sama sekali tidak mengusik. Itu keputusan Adam dan ia tidak mau mengganggu apa-apa. Ia tidak mau mengacau karena itu bukan ranah besar yang mengharuskannya campur tangan.

.

.

.

TO BE CONTINUED


Pembalap Miliarder ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang