Chapter - 22. Hampir Bertemu

80 5 0
                                    

HAPPY READING 📖

----------------------------------------------

Hari ini Winter sengaja mengajak Lion ke kantornya dengan catatan lelaki itu berdiam diri di kafetaria karena tentu saja tidak bisa masuk ke ruang kerjanya. Daripada Lion di rumah sendirian dan tidak ada yang harus dikerjakan, lebih baik ia mengajaknya ke luar. Lagi pula, ia tidak bisa meninggalkan Lion sendirian terus-menerus. Bagaimana bila terjadi sesuatu? Lelaki itu pun belum sembuh total. Banyak konsekuensi yang sudah ia pikirkan. Namun, masalahnya juga ia pasti tidak bisa membawa Lion setiap hari. Mungkin ia akan mencarikan lelaki itu pekerjaan yang ringan saja di sekitar kantor. Apalagi Lion juga bisa bersih-bersih.

"Kau tunggulah di sini. Jam 10 nanti adalah jam istirahatku. Kau bisa melakukan apa saja sembari menungguku. Oh, ini ponselmu. Bermain game atau buka sosial media apa pun yang kau mau. Kau bebas mengaksesnya." Winter menyerahkan ponsel yang dilapisi casing hitam itu pada Lion. Itu adalah ponsel kedua miliknya yang sengaja ia berikan untuk mengakses komunikasi mereka semakin lancar. Ia tidak bisa membiarkan Lion tanpa ponsel di zaman sekarang ini karena itu akan menyulitkan berbagai hal. Apalagi ia tidak tahu lelaki itu akan ke mana nanti karena bisa jadi Lion tidak menetap di sini sangat lama.

"Sudah ada nomor ponselmu, kan?" Lion menerima ponsel itu kemudian menelitinya. Ia pikir Winter akan memberinya uang saku karena itulah yang lebih ia butuhkan. Namun, ia tidak mungkin memintanya karena bisa jelas sekali ia manusia tak tahu diri. Selain itu, ia segan juga harus meminta.

"Sudah. Dan ini uang saku untukmu. Kau bebas beli apa saja di sini. Buat dirimu nyaman." Winter menyerahkan selembar $50 untuk Lion.

Lion tercengang dalam hati. Apa Winter memiliki kemampuan untuk membaca pikiran hingga ia tahu isi pikirannya? Ia bahkan hampir menganga karena tak mengira ia mendapatkan apa yang dibutuhkan.

"Terima kasih, Winter. Aku janji kalau aku sudah ingat, akan kuberikan apa pun yang kau mau. Aku janji dan kau bisa pegang janjiku." Lion menatap sosok di depannya dengan kesungguhan hati. Ia menjadi tidak sabar untuk mengingat kembali semua memori dan memberikan apa yang bisa ia beri pada Winter. Ia tak sabar mengajak Winter untuk bersama-sama menempuh kehidupannya yang lama yang bisa saja bergelimang harta. Tapi kalau ia miskin, ia akan berusaha menjadi kaya untuk Winter. Ya, hanya untuk Winter.

"Jangan terlalu sungkan. Yang penting kau bisa bersenang-senang di sini karena aku harus meninggalkanmu agak lama." Winter tersenyum miring sembari menyentuhkan jemarinya pada bahu Lion. Meski merasa tak rela untuk meninggalkannya, tapi ia tetap tidak bisa tinggal karena harus mengerjakan tanggung jawab yang lebih penting. Ia tidak bisa mengabaikan pekerjannya begitu saja karena sudah terlalu banyak libur.

Lion mengangguk patuh. Saat Winter hendak melangkah pergi, ada sesuatu yang menghalang. Ia tahu sebutir ketidakrelaan hampir mendominasi, tapi ia menahan itu agar tidak menimbulkan ketidakrelaan lain. Melihat punggung Winter yang menjauh saja ia sudah tak tahan ingin menariknya ke dekapan, tidak membiarkan Winter untuk meninggalkannya lebih jauh dan lama.

Ia memahami sekarang ini dilanda yang namanya kerinduan. Jika ia belum pernah merasakan kerinduan, inilah yang ia rasakan sekarang. Meskipun mereka dekat, tetap saja ia merasa jauh. Ia belum puas untuk melihat gadis itu lebih lama karena ia merasa ingin melakukan banyak hal baru lagi bersama.

Ada sedikit penyesalan saat Winter pergi ia tidak mengucapkan apa-apa. Seharusnya ia menyampaikan kata-kata penyemangat. Tapi, kenapa ia hanya diam?

Oh, ia teringat sesuatu. Langsung saja ia mencari nama Winter di kontak itu. Setelah menemukan nama Winter 2 di kontak, ia segera mengirimkan pesan yang tak sempat ia utarakan tadi.

"Selamat bekerja, Winter. Semoga pekerjaanmu dilancarkan! Semangat!" Disertai emoticon otot kanan berwarna kuning.

***

Shivan mengacak rambutnya yang mulai memanjang hingga bagian atasnya hampir menyentuh mata. Sudah berapa lama ini ia tidak menemukan tanda-tanda menemukan keberadaan Adam. Entah cara apa Bright menyembunyikan Adam, ia akui ia hampir menyerah. Bukan menyerah untuk mencari, melainkan menyerah untuk terus keras pada Bright. Apa dengan cara menyembahnya baru ia bisa menemukan Adam? Apa ia harus meruntuhkan harga diri baru ia bisa melihat batang hidung Adam? Ia sama sekali tidak mendapatkan petunjuk apa-apa. Ancaman yang ia berikan untuk Cara dan Bright sama sekali tidak berguna dan kesia-siaan belaka.

"Damn it!" Shivan mengumpat sembari keluar dari mobil menuju kafetaria terdekat untuk melegakan tenggorokan dengan meminum secangkir kopi dingin. Bukan maksudnya berleha-leha, tapi ia memang membutuhkan minuman itu sebagai penjernih pikiran yang terbelit seperti benang kusut.

Kaki panjangnya yang terbalut jins biru gelap, melangkah panjang memasuki kafetaria di daerah yang bahkan ia tidak tahu namanya. Di arah utara, ada perusahaan besar yang bergerak di bidang media dengan papan nama besar di depannya bertuliskan Britanny Media.

Pintu kafetaria yang terbuka, membunyikan bel, menandakan ada yang masuk. Shivan langsung mengarah ke tempat pemesanan dan memesan segelas capucino dingin dengan permintaan untuk minum di tempat. Ia merasa tak berselera ke mana-mana. Pencariannya tidak membuahkan hasil dan itu melelahkan. Ia terlalu banyak membuang waktu. Tapi, ia tidak bisa mengabaikan pencarian Adam. Ia tidak setega itu untuk menutup mata dan beranggapan semua tidak pernah terjadi.

Ia mendudukan bokong di kursi dekat jendela dan ke arah luar untuk melihat pemandangan.

Kafetaria ini cukup ramai. Memang tempatnya tidak terlalu besar, tapi ia akui, tempat ini begitu strategis karena terletak tak jauh dari perusahaan media yang sudah pasti banyak sekali orang akan datang. Lalu, tempat yang cukup menenangkan dan memanjakan mata. Hanya itulah yang bisa ia nilai sebagai orang awam. Hidupnya lebih banyak dihabiskan dalam dunia otomotif. Contohnya saja, kerusakan pada Perington yang cukup parah, harus ia perbaiki perlahan, walaupun ia tahu kinerja Perington tidak akan seperti semula. Tapi Adam menyayangi Perington seperti sahabat. Ia tidak bisa membiarkan Perington teronggok bak sampah. Jika ia melakukannya dan Adam tahu, lelaki itu pasti tak segan-segan untuk meninjunya sampai biru.

Tak berselang berapa lama, pesanannya datang. Pelayan itu meletakkannya ke meja dan bersamaan pula ia menangkap siluet sosok yang ia begitu kenal dengan kaos putih berlari keluar dari kafetaria.

"Adam?" Bibirnya bergumam tak percaya. Secepat kilat, ia melaju pergi, membiarkan minuman itu tergeletak begitu saja di atas meja. Ia tak menduga ia akan menemukan Adam di tempat ini. Apalagi ia melihat jelas lelaki itu berlari dengan kacamata bulat yang bertengger di batang hidung. Mungkin ia bisa saja salah, tapi ia tetap harus memastikan.

Jangan sampai pencariannya gagal lagi. Kali ini ia harus melihat jelas rupa lelaki itu. Ia harus bertatapan langsung untuk memastikan.

.

.

.

TO BE CONTINUED

Pembalap Miliarder ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang