HAPPY READING 📖
------------------------------------------------
Lion mengembalikan dompet kulit cokelat itu pada lelaki muda yang menurutnya seumuran dengan Winter. Sebetulnya ia hanya menerka karena perawakan lelaki itu lebih muda.
Senyum lebar bertengger di wajah, memberikan aura kebahagiaan seolah mengajak siapa pun yang melihat senyum ini akan terkena dampaknya. Setelah beramah-tamah, Lion menyadari jika posisinya sudah jauh dari kafe. Di dekat perusahaan besar itu, ada toko roti dan makanan ringan lain yang bisa disantap. Karena perutnya mendadak kelaparan sehabis berlari cukup jauh, maka ia mengganti arah dengan secangkir kopi yang sempat ia bawa tadi.
Dengan langkah gontai, menikmati perjalanannya yang tidak pernah ia lalui, ia memberikan senyum kecil kepada siapa pun yang lewat kemudian memujinya.
"You're beautiful!" serunya pada perempuan lansia dengan rambut memutih yang sedang berjalan bersama satu teman seusianya.
Perasaan lega karena berada di luar rumah membuat hati yang terasa sesak, menjadi lega, selega-leganya. Ia mengambil ponsel Winter dari saku celana, kemudian mengarahkan ponsel itu ke atas dengan layar yang sudah sepenuhnya terisi wajah tampan yang ditumbuhi janggut agak panjang.
Setelah melihat fotonya dengan benar dan merasa sudah tampan dan keren, ia mengirimkan foto itu ke pesan WhatsApp Winter, memamerkan kebahagiaannya dengan secangkir kopi yang terangkat di samping wajah. Sekarang, hanya menunggu balasan dari Winter saja mengenai fotonya. Entahlah, ia tidak mengharapkan Winter memuji setelah melihat foto itu. Tapi setelah dilihat-lihat, ia tidak terlalu tampan dengan penampilannya yang begini karena hampir menyerupai tunawisma tak terawat. Ingatkan ia untuk memangkas rambut dan mencukur jenggot serta kumis. Ingatkan juga ia harus membayar Winter setelah ingatannya kembali. Sudah dari beberapa waktu lalu Winter memintanya untuk mencukur jenggot, sayangnya alat cukurnya tidak ada dan ia juga ragu untuk meminta beli.
Tapi, kata Winter, setelah pulang bekerja nanti mereka akan pergi ke pusat pembelanjaan untuk belanja bulanan karena perempuan itu sudah gajian.
Mendengar ada pesan masuk dari ponselnya, ia tak sabar untuk melihat pesan balasan dari Winter. Namun, bukan pesan balasan, melainkan hanya operator SMS membagongkan yang menghentak seluruh ekspetasinya. Bak sudah enak-enak mimpi, tapi dibangunkan. Menyebalkan.
"Brengsek!" Lion memasukkan kembali ponsel itu ke celana dengan bibir mencebik dan umpatan rendah yang dilantunkan lancar. Baru saja ia merasa senang, kini malah dijungkirbalikkan tanpa perasaan.
***
Winter meneguk air mineral yang telah ia bawa di botol kecil hitam. Alasannya hanya satu. Menghemat. Bukan hanya dirinya yang perlu ditanggung sekarang, tapi ada orang lain yang membutuhkan uang juga. Masih banyak pengeluaran yang menjadi tanggungan dan tidak ada uang lebih untuk berleha-leha.
Kalau saja ia kaya, mungkin tubuhnya pun tidak akan sekurus ini. Ponselnya menyala, ada pop up dari ponsel lainnya yang diganti nama menjadi Lion. Ia mengabaikan pesan itu sebentar karena ia tahu isi kepalanya sekarang tidak lagi fokus pada hal lain. Ia harus menyelesaikan artikelnya hari ini karena banyak yang akan ia lakukan setelah pulang kerja. Ia menyadari, kehadiran Lion di rumahnya membuat ia jadi malas untuk bekerja karena Lion pasti lebih banyak mengajaknya bicara. Ia jadi tak bisa berkonsentrasi dengan benar. Tidak hanya diajak bicara, setiap lelaki itu lewat di depannya saja konsentrasinya sudah buyar.
"Sialan!" Ia mengutuk karena ternyata tidak semudah itu mengabaikan Lion. Ia mengambil ponselnya, melihat pesan apa yang dikirimkan Lion.
Saat ia menekan gambar yang terunduh itu, senyum tertahan langsung tampak. Tidak, bukan lagi senyum tertahan, melainkan sudah tersenyum begitu lebar sembari menatap ponselnya yang menampilkan wajah Lion.
"Ada-ada saja anak ini," gumamnya geli. Foto itu dikirim tanpa kata-kata, hanya foto saja, seolah lelaki itu memang berminat untuk pamer.
Ia tak membalas. Jemarinya bisa tremor ketika mengetik dan itu menggelikan. Ia sudah seperti remaja jatuh cinta yang dikirimi pacar sebuah foto dan merasa gugup karenanya.
Tolonglah, ia tidak mungkin merasakan perasaan seperti itu. Lima tahun lagi ia sudah menginjak kepala tiga, memangnya pantas ia merona, gugup, hanya karena foto? Oh, tidak. Ia adalah perempuan dewasa.
"Apa-apaan pipimu ini, Winter." Ia menepuk kedua pipinya dengan senyum dan pejaman mata karena bayangan foto Lion tak ingin hilang dari kepala. Ia jadi merasa malu sendiri, padahal tidak ada yang melihatnya. Apa ini? Tak kasat mata, Lion membuatnya kepanasan seperti perempuan idiot di kursi ini.
"Huh!" Winter membuang napas dari mulut. "Alright, kau harus tenang. Jangan karena foto kau sudah seperti remaja kasmaran. Ingat, kau adalah perempuan dewasa. Jangan bertindak memalukan." Suara dari gumamannya bahkan terdengar bergetar, meskipun pelan.
Tubuhnya tersentak kaget ketika ada yang menyentuh bahu. Kepalanya langsung mendongak dengan mata terbelalak terkejut seperti setan. Ia bahkan mematung sejenak karena takut kelakuannya tadi ketahuan oleh Jake. Ya, itu Jake.
Jika Jake melihatnya tadi pun dan mereka memang kenal dekat, ia tetap saja akan malu karena bertingkah selayaknya orang tidak waras.
"Kenapa kau kaget begitu? Ada masalah?"
Tanpa sadar pula, Winter mengembuskan napas lega karena ternyata Jake tidak melihat aksinya tadi. Seandainya lelaki itu melihat, sampai tidur pun ia akan bisa terpejam.
"Tidak ada. Hanya ada masalah mental sedikit." Mungkin itu alasan yang paling tepat untuk mendeskripsikan jiwanya sekarang. Ya, terserang masalah mental mendadak.
"Kenapa lagi? Orang tuamu memaksa untuk pulang?" Jake yang tiba-tiba mengambil kursi di dekatnya dan langsung duduk di sampingnya, meneror dengan masalah yang sebetulnya tidak ada.
"Tidak. Tidak. Aku hanya merasa kurang liburan ... mungkin." Winter mengedikkan bahu. Ia merasa tak memiliki niat untuk bicara banyak dengan Jake kali ini. Ia hanya butuh sendiri dan menikmati euforia yang masih tersulut.
"Ck, padahal kau sudah mengambil cuti cukup lama." Jake berdecak lalu melihat hasil kerja Winter di layar komputer. "Kau sudah selesai menulisnya?"
"Sudah."
"Jadi nanti kau mau makan bersama? Aku ada rekomendasi tempat makan yang enak dan murah."
"Oh, ya? Di mana?" Mendengar kata murah, Winter langsung bersemangat. Seperti biasa, Jake selalu mendapatkan tempat makan yang enak dan murah, sehingga perutnya tidak tersiksa.
"Agak jauh dari sini," jawab Jake. Ia mendekat, membisikkan sesuatu di telinga Winter, "Kau masih meninggalkan pria aneh itu di rumahmu?"
Winter menggeleng, "Tidak. Aku mengajaknya ke sini agar dia tidak bosan di rumah. Nanti kita akan makan bersama. Tapi jangan bertengkar. Kalian seperti kucing dan tikus. Entah apa yang diperdebatkan." Bola matanya berputar malas. Dua lelaki yang dipertemukan itu membuatnya langsung menjadi ibu yang mengurus kenakalan dua anak karena perdebatan konyol mereka. Ada saja yang diperdebatkan, padahal tidak penting.
"Kalau dia tidak mencari masalah duluan, aku tidak akan mendebatnya." Jake membela diri.
Winter pula memutar bola mata. "Aih, dasar anak-anak."
.
.
.
TO BE CONTINUED
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembalap Miliarder ✅
Roman d'amourPertama kali publish : 18 Februari 2023 Adam Green, pembalap miliarder penyuka tantangan mengalami kecelakaan setelah menerima tantangan balapan dengan musuhnya. Tatkala membuka mata, ia kehilangan semua ingatan, semua kenangan, jati diri, tak lagi...