Chapter - 10. Kesal

140 10 0
                                    

HAPPY READING 📖

----------------------------------------------

Winter mengecek ke dalam kamar Lion untuk memastikan lelaki itu bisa tidur dengan benar dan nyaman. Tadi Lion mengeluh kepalanya terasa nyeri. Itu membuatnya sedikit takut dan hendak membawa Lion kembali ke rumah sakit. Tapi Lion menolak dan mengatakan jika sakitnya akan segera hilang jika sudah minum obat. Ia tak menyangka jika Lion bisa keras kepala juga. Ia kira Lion akan menurut. Baiklah, tidak masalah. Setidaknya apa yang Lion katakan memang bisa dipegang omongannya. Tepat setelah minum obat, hampir 30 menit Lion berkata sudah tidak sakit dan hendak tidur. Ia tidak tahu apakah itu betul atau tidak, tapi setidaknya ia lega karena sekarang Lion benar-benar tidur.

Selimut yang tidak menyelimuti tubuh besar Lion dengan benar, ia perbaiki dengan menaikkannya sampai ke dada hingga terbungkus sempurna.

"Semoga lekas sembuh," gumamnya pelan. Ia memutuskan untuk segera keluar karena khawatir Lion akan terbangun dan menemukannya di kamar ini. Selain malu, ia pasti mengganggu.

Pintu tertutup sempurna. Detik itu juga Lion membuka mata dan melihat lekat ke arah pintu. Tadi memang ia sudah terbangun. Tapi karena mendengar suara pintu terbuka, kesadarannya langsung kembali cepat. Netra hazelnya langsung mengarah pada selimut yang tadi diperbaiki oleh Winter. Segumpal kehangatan kembali  menghinggap dada dan ia tidak bisa menyembunyikan senyuman. Perhatian itu kembali membuatnya merasa nyaman, seolah tidak pernah merasakan.

"Terima kasih," gumamnya pelan sembari memegang selimut yang beraroma vanila yang bercampur dengan aroma dari lemari.

Dengan sisa-sisa kantuk tadi, akhirnya ia memejamkan mata, menempuh perjalanan mimpi yang sempat terputus tadi.

***

"Selamat pagi." Winter menyapa sembari mendorong kursi roda Lion ke dapur yang sudah tersedia sarapan pagi mereka di atas meja. Tidak ada ruang makan di rumahnya karena ruang makan dan dapur dijadikan satu. Lagi pula, itu terlalu mewah untuk rumah sewaan yang ia ambil murah.

"Selamat pagi. Kau menyiapkan sarapan untukku?" Kekagumannya semakin meningkat pada Winter. Apa memang Winter tidak keberatan melayaninya seintens ini? Ia bahkan merasa semakin tak enak.

"Ralat. Ini untuk kita. Aku juga harus sarapan karena dari semalam tidak makan."

"Maaf. Pasti karena mengurusku."

Melihat wajah Lion yang lesu, Winter menggeleng cepat.

"Saat mengurusmu pun aku makan, kok. Perutku memang tidak bisa jika tidak makan malam dan semalam aku melewatkan itu. Maklum, perut karet." Winter tersenyum jenaka untuk meredakan ketidakenakan pada Lion. Ia malah merasa tidak direpotkan dan senang sekarang di ruamhnya ia tidak sendiri. Ada hiburan lain yang bisa ia lakukan dan tidak monoton lagi.

Lion ikut tersenyum, meskipun masih merasa tak enak. Apalagi untuk makan saja ia masih butuh bantuan.

"Kau tidak bekerja?" tanya Lion sembari menoleh ke samping  karena Winter duduk tepat di sebelahnya untuk menyuapi makan. Ia masih tidak bisa makan sendiri karena tangannya kaku dan kepalanya pun masih tersangga oleh penyangga leher. Makan pun masih belum bisa yang keras. Bubur yang dibuat oleh Winter menjadi makanan pokok selama sakit dan bubur itu adalah bubur terenak yang pernah ia makan.

"Aku mengambil cuti."

"Hanya untuk merawatku?"

Winter bergumam untuk fokus menyuapkan bubur. Ia memasukkan sendok kecil yang terbuat dari plastik itu ke mulut Lion yang terbuka seadanya.

"Pelan-pelan dan hati-hati," kata Winter. Ia hanya takut kalau Lion tiba-tiba menelan cepat, meskipun itu tidak akan terjadi.

Selama beberapa menit, tidak ada suara yang keluar selain makan. Winter memang menyuapi Lion terlebih dulu dan setelah Lion selesai, gilirannya yang makan. Setelah suapan terakhir, Winter meletakkan mangkuk dan sendok itu ke meja dan meraih gelas yang sudah tersedia sedotan agar Lion bisa minum.

Aktivitas itu selesai, sekarang gilirannya mengisi perut.

"Ngomong-ngomong, dari mana kau bisa memberiku nama Lion?" tanya Lion sembari mengamati Winter begitu lahap memakan sarapannya. Sepertinya otak ini tidak bodoh. Dalam beberapa kali melihat, ia sudah bisa mengambil kesimpulan. Seperti kebiasaan makan Winter, tanpa diberitahu, ia yakin jika Winter menyukai sarapan dengan makanan berat di pagi hari.

"Hanya itu yang terlintas di pikiran. Mungkin karena sebelum itu aku sempat menonton Lion King."

"Jadi namaku terinspirasi dari Lion King?"

"Bisa dibilang begitu." Winter menyuapkan telur rebus setengah matang bersama bacon yang menggungah selera Lion untuk mencoba. Lion menjilat bibir karena mau juga, sayangnya ia tahu kalau ia masih tidak bisa memakan makanan seperti itu. Ia pun juga takut kalau ia tidak bisa menelan nantinya.

Tak mendengar balasan Lion, Winter mendongak dan melihat Lion yang asyik menatap ke arah makanannya.

"Kau mau?"

Lion terkesiap dan langsung menggeleng.

Winter terkekeh kecil. "Aku tahu kau mau. Tapi maaf, kau masih tidak boleh makan ini. Setelah kau sembuh, aku janji akan membuatkannya untukmu."

"Aku pegang janjimu. Awas kalau kau coba ingkar."

"Ohhhh." Winter berteriak histeris, tapi tidak terlalu keras. "Kau mengancamku?"

"Tentu saja. Kau akan menyakiti hatiku kalau ingkar janji. Aku juga mau tahu apa kau hanya bisa memasak bubur yang enak atau yang lain juga bisa enak."

Dengan makanan yang masih berada di dalam mulut, Winter tertawa mendengar celotehan Lion. Ia tak menduga selain keras kepala, Lion ternyata menuntut. Sifat gemas itu mulai keluar dan ia tidak tahu kejutan apalagi yang akan ia dapat selama tinggal bersama lelaki itu.

"Akan kutunjukkan aku hebat dan kau tidak akan bisa move on dengan makananku. Kujamin dalam tidurmu, kau akan dihantui rasa makananku. Itu janji terkuatku."

Lion ikut tertawa, walaupun aneh karena terhalang penyangga ini. Ia kini risih dengan penyangga kepala dan perban yang masih belum bisa ia lepas dari tubuhnya. Jika mengikuti emosi, sudah ia buang benda-benda ini sejak sadar.

Winter berdiri untuk mencuci peralatan makan mereka, sedangkan Lion terus mengamati apa pun yang Winter lakukan karena memang tidak ada yang bisa ia lakukan selain duduk dan melihat.

"Nanti aku akan memesan pakaian untukmu. Tidak  mungkin kau memakai itu terus, kan?"

Lion mengerutkan dahi tak suka. "Tidak masalah. Aku tidak mau merepotkanmu lebih banyak. Kau sudah membantuku untuk tetap tinggal, mengurusku sampai aku sembuh, itu sudah cukup. Jangan keluarkan uangmu lebih banyak untukku. Aku semakin tidak enak."

Winter mengelap tangan dengan kain yang tergantung di dekat wastafel. Setelah itu, ia berbalik dan berkcak pinggang.

"Penolakanmu semakin membuatku susah. Jadi, aku tidak mau penolakan. Kau hanya boleh menerima. Toh, kau akan menggantinya saat kau sembuh, kan? Sudahlah. Untuk apa kau tak enak begitu. Aku malah biasa saja."

Lion mengembuskan napas karena kalah debat lagi. Rasanya percuma menolak. Menolak berkali-kali, tetap saja Winter tidak mau mendengar dan memang itu pilihan yang harus dilakukan.

"Sekarang, ayo. Kau harus minum obat dan istirahat."

Dalam dorongan Winter di kursi rodanya menuju kamar, Lion bergumam jengkel. "Astaga, kenapa aku tidak cepat sembuh, sih?"

.

.

.

TO BE CONTINUED

Yuhuu, empat chapter menemani kamu hari ini 😁

Pembalap Miliarder ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang