HAPPY READING 📖
----------------------------------------------
"Kalau misalnya kau sudah ingat, pasti kau akan menjalani kehidupanmu entah itu apa. Kita pasti tidak punya waktu untuk saling berinteraksi seperti ini lagi."
Winter dan Lion duduk sembari berselonjor dan menikmati angin malam di halaman belakang, ditemani cemilan yang hanya tinggal plastik kosong.
"Sebisanya aku akan meluangkan waktu untukmu." Lion menoleh sembari memberi senyum, menyimpan setiap waktu yang mereka lewati ke dalam memori. Ia tidak tahu apa setelah ingatannya pulih, mereka akan saling bertemu atau tidak, tapi satu hal yang pasti, ia akan melamar Winter untuk menjadi kekasih hati yang menemani di setiap langkah.
"Itu di angan-anganmu. Bisa saja realita memaksa kau tidak bertemu denganku, begitupun aku yang seolah tidak punya waktu untuk berjumpa denganmu."
"Kalau begitu, kita buat perjanjian setiap hari tertentu harus bertemu."
Winter terkekeh. "Kekanakan sekali."
"Kalau tidak begitu, kita tidak akan menghabiskan waktu dan—"
"Dan malah menjadi orang asing. Ya, begitulah kehidupan. Akan ada yang datang dan pergi," potong Winter dengan wajah agak murung. Ia paling tidak pernah suka dengan konsep hidup satu ini. Rasanya ia ingin tamak untuk mempertahankan setiap orang yang ia sayangi agar tetap di sisinya. Ia tidak ingin semua yang ia cintai pergi hanya karena waktu. Ia tidak ingin ditinggalkan karena ia sendiri tidak seberani itu untuk hidup sendiri. Hanya keinginan kuatlah yang bisa membuatnya bertahan. Kalau tidak, sampai kapan pun ia rasa ia akan berlindung di balik kata menyerah.
Lion tidak menanggapi apa-apa. Melihat kemurungan di air muka Winter, ia jadi ikutan sedih dan takut jika memang mereka tidak akan bisa bertemu lagi. Ia takut jika realitanya ia malah memang tidak bisa bersatu dengan Winter. Padahal ia berharap sekali, setiap ia berada di mana pun, Winter akan selalu ada. Bersama Winter, ia merasa lengkap. Bersama Winter, ia merasa setiap langkahnya berarti. Bersama Winter, ia merasa tidak akan takut untuk menghadapi banyak hal.
"Aku berjanji pada diriku sendiri kalau kita akan terus berjumpa," karena aku ingin menikahimu, lanjut Lion dalam hati. Hanya itu satu-satunya cara untuk mengikat mereka. Semoga saja Winter memiliki rasa yang sama. Sedikit-banyak, ia tahu Winter juga memiliki ketertarikan yang sama dengannya, hanya saja tidak berani mengungkapkan.
"Semoga saja." Winter tidak berharap apa-apa. Ia tidak berharap mereka akan sering berjumpa, sering berbicara lagi. Jika Lion telah mengingat segalanya, pasti semua itu akan berbeda. Lion akan mengikuti kehidupan lamanya, karena kehidupannya sekarang hanya sementara.
Katakanlah ia egois dan tidak punya akal, karena beberapa kali ia berharap Lion tidak ingat apa pun dan tetap menjadi Lion seperti ini.
***
Hari ini adalah hari pertama Lion bekerja di toko roti sebagai pelayan setelah melewati sesi wawancara. Karena tampangnya yang lumayan, maka posisi itu sengaja diberikan agar banyak perempuan yang akan singgah hanya untuk melihat Lion. Itu dapat dibuktikan tepat karena sejak tadi, banyak perempuan yang datang dan menggoda Lion dengan cara meminta nomor ponsel atau berfoto. Rata-rata anak muda yang haus dengan pria tampan, bahkan terang-terangan meminta Lion untuk menjadi pacar.
Semua pekerjaan sudah selesai, bersamaan toko pun sepi. Lion sejak tadi menunggu Winter yang katanya akan datang, tapi sudah sampai jam tiga sore pun, Winter belum menunjukkan batang hidung.
Bertepatan saat ia hendak masuk ke toilet untuk membuang sesuatu yang mendesak dikeluarkan, bel pintu berbunyi, namun ia abai karena tahu itu pasti orang lain. Setelah pekerjaan kecilnya selesai, wajah cerahnya terbit seperti mentari karena di dekat jendela, sosok berkaos hitam dengan rambut keriting yang amat ia kenali itu sudah ada di depan mata, walaupun hanya bagian punggung saja. Dari laptop yang berada di depan Winter, sudah dipastikan jika Winter membawa pekerjaannya ke sini hanya untuk menemaninya yang kesepian.
Lion mengambil dua gelas kopi dingin yang sudah ia siapkan untuk mereka berdua dan itu spesial ia racik sendiri dengan bantuan barista.
Lion meletakkan dua gelas kopi itu di meja dan menyodorkan segelas untuk Winter dengan meluruhkan bahu di depan Winter, mencari perhatian. "Aku lelah."
"Sini duduk. Aku akan mengerjakan ini. Kau sudah makan?" tanya Winter tanpa mengalihkan tatapan dari layar laptop.
Lion menggeleng manja dan mengambil tempat di sebelah Winter, kemudian menumpukan kepala ke pundak Winter sembari ikut melihat apa yang Winter kerjakan.
"Aku berkeringat," kata Lion dengan lirikan mata ke Winter yang amat fokus. Melihat Winter yang serius mengetik, tak akan pernah bosan di mata. Ia suka apa pun yang Winter kerjakan, apalagi demi dirinya. Sefokus-fokusnya Winter, dia tetap perhatian. Itu yang Lion suka. Ia menerima uluran tisu dari Winter kemudian membersihkan keringat yang mengalir—sengaja tidak ia bersihkan sebelumnya agar mendapat perhatian kecil Winter yang berdampak hebat.
Beberapa menit menunggu Winter selesai, ia memperhatikan begitu lamat wajah Winter dari samping dengan lekat, seolah terhipnotis dan kebisingan dari sekeliling yang ada, mendadak hilang. Dari banyak perempuan yang ia lihat, tidak ada yang secantik Winter. Wajahnya begitu manis hingga ia ikut salah tingkah saat Winter menoleh.
"Kau cantik, Winter," katanya jujur sembari menatap melalui kacamata bulatnya.
Winter menjedutkan dahi mereka kemudian berkata, "Aku tahu. Dan kau juga sering sekali berkata begitu. Sekarang, ambil bekalmu di paper bag itu. Kau sudah seperti tikus yang mencicit minta makan."
"Aku tidak begitu." Lion memajukan bibirnya seinci dengan mata yang melengkung cemberut.
Winter tertawa. Tingkah Lion yang menggemaskan benar-benar tidak ada satu pun yang bisa mengalahkan. Tubuh kekarnya tak ada apa-apa dibandingkan tingkah absurd Lion yang selalu muncul setiap menit. Ia bahagia karena itu hanya untuknya. Sikap itu ditujukan olehnya seorang dan sisi rakusnya kembali meminta jika ia menginginkan milik Lion menjadi miliknya.
Lion mengambil bekal yang dibuat Winter pagi ini dengan mata berbinar seperti mendapatkan bongkahan emas. Makanan di kotak bekalnya adalah permintaannya semalam untuk dimasakkan, walaupun pagi-pagi mereka harus repot menyiapkan makanan. Jamur enoki goreng, kentang tumbuk, dan stik saus lada hitam, serta sayur-sayuran campur menjadi menu makan siang. Memang terkesan tidak enak lagi, tapi siapa yang peduli. Intinya makanan itu bisa masuk ke mulut.
"Kau masih belum mau makan?" Lion hampir saja memasukkan makanan itu ke mulut, tapi tiba-tiba tersadar kalau Winter sama sekali belum menyentuh bekalnya dan asyik berkutat dengan laptop.
"Belum. Kau makan duluanlah."
"Tidak. Aku tidak mau makan kalau kau belum mau makan. Aku akan memakannya bersamamu." Lion meletakkan kembali alat makan, kemudian menutup bekalnya.
Ketikan Winter di keyboard terhenti.
"Baiklah. Ayo, makan. Padahal kau bisa makan duluan. Kenapa malah mau menungguku," kata Winter dengan tangan yang bergerak mengambil kotak bekalnya di dalam paper bag.
"Aku mau melakukan apa saja bersamamu. Jadi, aku tidak mau setiap apa yang kulakukan dan kau lakukan, kita tidak bersama." Karena aku takut mengabaikan setiap kenangan bersamamu. Aku takut aku tidak bisa menikmati momen indah ini bersamamu lagi, sambungnya dengan mata yang tak berani menatap Winter, meskipun ia tahu kini Winter menatapnya.
.
.
.
TO BE CONTINUED
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembalap Miliarder ✅
RomancePertama kali publish : 18 Februari 2023 Adam Green, pembalap miliarder penyuka tantangan mengalami kecelakaan setelah menerima tantangan balapan dengan musuhnya. Tatkala membuka mata, ia kehilangan semua ingatan, semua kenangan, jati diri, tak lagi...