Chapter - 8. Berteman

144 11 0
                                    

HAPPY READING 📖

--------------------------------------------------

Keduanya tersenyum cerah sembari keluar dari rumah sakit. Winter mendorong kursi roda lelaki itu dan membantunya untuk masuk ke taksi yang telah dipesan agar mereka segera pulang. Beberapa hari di rumah sakit, pria itu ternyata tak tahan berlama-lama di sana. Ia saja agak terkejut saat lelaki itu asyik mengeluh dan menggerutu. Tapi memang, sih. Di rumah sakit memang tidak ada yang bisa dilihat selain dinding dan peralatan medis lainnya. Jika ia di posisi itu pun, ia pasti akan melakukan hal yang sama, bahkan bisa lebih parah.

Rawat jalan yang sebelumnya diperkirakan di waktu yang menjelang tiga minggu, ternyata bisa lebih cepat karena kondisi lelaki itu sudah memungkinkan untuk dirawat di luar kontrol medis.

"Kita ke rumahmu?" tanya Adam sembari menoleh.

"Ya. Tidak  mungkin aku meninggalkanmu di tempat lain. Kau belum pulih betul. Bisa berbahaya kalau kau ditinggal."

"Apa aku benar-benar tidak mengganggumu? Kau masih harus mengeluarkan biaya dan merawatku. Kalau aku jadi kau, aku mungkin akan meninggalkan orang itu daripada membantu." Lelaki yang masih menggunakan penyangga leher itu mengernyitkan dahi, tak mengerti mengapa ada orang yang mau direpotkan sesulit ini. Jika ia di posisinya, mungkin ia tidak mau berbaik hati.

"Kalau aku membiarkanmu dan kau mati, seumur hidup aku akan dihantui rasa bersalah dan itu lebih buruk dibandingkan aku harus mengeluarkan uang dan tenaga." Winter menoleh sembari memberi senyum menenangkan karena sejak kemarin, lelaki itu terus berkata hal yang sama. Padahal berulang kali pertanyaan itu ditanyakan, ia akan tetap menjawab sama. "Sudahlah, jangan dipikirkan lagi. Tidak penting. Kau lebih penting sekarang. Jaga kesehatan dan cepat sembuh, lalu bantu aku mencari keluargamu agar kau tidak terus-terus tersesat."

Lelaki itu mengangguk kecil dengan senyum yang dikulum. Ia tidak mengerti mengapa ada perasaan aneh yang mengaliri dada ketika melihat perempuan keriting itu membalas senyumnya. Ia tidak mengerti mengapa ia bisa merasa nyaman. Beberapa kali ia gundah, perempuan itu tetap bisa menenangkan, padahal ia tahu perempuan itu juga merasa direpotkan dan memiliki tambahan masalah.

"Terima kasih. Aku pasti akan selalu mengingat kebaikanmu. Tanpamu, aku pasti tidak mendapat kesempatan kedua untuk hidup. Terima kasih banyak."

Winter tidak berniat untuk berkata-kata lagi karena kalimat yang terlontar pasti akan sama. Jadi, ia membalas dengan elusan lembut di lengan lelaki itu sembari tersenyum.

Kondisi di dalam mobil hanya terdengar suara mesin, klakson, dan kendaraan bergerak. Tidak ada lagi kata yang keluar dari bibir karena tidak tahu harus mengatakan apa. Jadi, menunggu adalah hal yang pasti untuk sampai ke rumah. Tidak ada niatan juga untuk berbincang karena di dalam lubuk hati, masih terselip kecanggungan dan kewaspadaan.

"Kita sudah sampai," kata Winter memecah keheningan di antara mereka. Setelah mengabari hal kecil itu, ia langsung keluar untuk mengambil kursi roda di bagasi agar lelaki itu bisa keluar.

"Terima kasih," kata Adam setelah bokongnya mendarat nyaman di kursi roda dan perempuan penolongnya mendorong dari belakang.

Winter mengambil kunci dari dalam tas setelah mereka di depan pintu, kemudian memasukkannya ke lubang dan memutarnya sedikit hingga sedikit berbunyi tanda pintu tidak lagi terkunci. Ia kembali mendorong kursi roda hingga memasuki rumah.

"Aku lagi bingung bagaimana agar kau bisa memanggilku."

Winter menaikkan kedua alis karena agak bingung. Namun, dalam beberapa detik, akhirnya ia mengerti.

"Ah, kau tidak tahu namamu, ya? Kalau begitu, kupanggil Lion, tidak apa?"

Lelaki yang dulunya bernama Adam Green itu ternganga sedikit. Ia memiliki nama baru? Dan ... tak ia pungkiri nama itu terdengar nyaman di telinga. Baiklah, ini identitas barunya selama tiga  minggu dan nama itu akan ia ingat jika penyelamatnya panggil.

"Itu juga bagus." Lion mengangguk semangat.

"Okay, Lion! Sekarang, ini rumah kita. Akan kutunjukkan kamarmu."

Semula Winter berada di depan Lion, kini berbalik untuk mendorong kursi roda itu menuju kamar yang akan ditempati oleh penghuni baru. Rumahnya tidak bertingkat, jadi dalam beberapa langkah saja sudah sampai kamar dan tidak perlu mengeluarkan banyak keringat. Apalagi rumahnya tergolong kecil.

Pintu kamar Lion ia buka, menunjukkan kamar yang berbau apek itu pada Lion dengan sedikit rasa malu.

"Ini kamarmu. Nanti akan kubersihkan karena kamar ini tidak ada penghuninya. Kamarku ada di sebelah yang itu," tunjuk Winter pada pintu kayu cokelat itu yang tepat di samping kamar Lion. "Kalau kau butuh sesuatu nanti malam atau ada yang sakit, kau bisa langsung berteriak karena dindingnya tidak kedap suara. Kau bernapas saja, napasmu sudah terdengar di kamarku."

Lion menatap punggung penyelamatnya dengan tatapan kagum. Bibirnya terbuka, "Siapa namamu? Kau belum menyebut namamu."

Dari sekian banyak penjelasan Winter, hanya itu yang paling ingin ia tanyakan. Ia terlalu kagum karena ada makhluk sebaik ini yang mau mengurus semua hal untuk menyenangkan dan membuat orang lain nyaman. Ia tidak mengerti mengapa pandangannya pada perempuan di depannya ini bak malaikat yang memang diutus untuk menolongnya.

Winter berbalik sembari menggaruk tengkuk. "Ah, ya. Maaf. Aku Winter Dawn."

"Jadi?" Lion memberi senyum jenakanya karena sosok yang bernama Winter Dawn itu mulai gugup.

"Kau bisa panggil aku Winter atau Dawn. Sesukamu."

Katakanlah Winter amat tolol karena harus gugup. Tapi situasi ini memang agak membunuh, apalagi setelah dilihat jelas, Lion itu tampan sekali. Lelaki tertampan yang ia lihat selama usianya menjelang 26 tahun. Saat tersenyum, Lion bisa memberinya aliran listrik hingga ia agak tersengat. Senyum itu tidak terlihat seperti senyum menggoda, tapi senyum biasa yang berdampak luar biasa. Entah apa yang Lion gunakan pada senyum itu karena ia mengakui jika ia menyukai senyum manis yang tidak berubah meskipun dalam kondisi tidak biasa.

"Terima kasih, Winter. Terima kasih telah menolongku. Tanpamu, detik ini juga aku tidak bisa menghirup napas segar. Kalau ingatanku sudah kembali, berjanjilah kau akan tetap menjadi temanku." Lion menatap sungguh-sungguh penyelamat di depannya. Ini adalah harapan pertama pada Winter karena jika memorinya sudah kembali, maka ia akan memberi imbalan besar. Jika itu memakan hartanya, ia pasti tetap memberikan apa pun yang Winter minta. Harta tidak ada apa-apanya selain nyawa yang terselamatkan.

"Kita pasti akan menjadi teman." Winter terkejut dengan ajakan pertemanan itu. Selama ini, tidak ada yang mengajaknya menjadi teman, termasuk Jake. Mereka berteman pun karena cocok dan kata pertemanan itu tidak pernah terucap. Apa ia seistimewa itu sampai ada yang mengajak berteman? Bahkan bisa saja ekspetasi Lion jatuh karena tidak sesuai dengan realita. Ia tidak sempurna dan banyak kesalahan. Jika Lion berekspetasi lebih mengenai pertemanan mereka, ia sebaiknya mundur karena ia tahu tidak bisa mewujudkannya. Ia adalah gadis membosankan.

"Kau janji?"

Tak ada kata lain hari ini selain terkejut. Ia tidak mau berjanji, tapi Lion memaksa. Memangnya ia bisa apa? Haruskah ia berkata jika ia tidak ingin berjanji, sementara lelaki itu masih dalam kondisi sakit?

"Baiklah, aku janji."

Melihat senyum cerah Lion setelah mendengar jawabannya, ia harap memang ia bisa menepati itu karena pada akhirnya, ia tidak ingin menyakiti. Toh, apa susahnya berteman? Bukankah mereka hanya berteman, tidak lebih?

.

.

.

TO BE CONTINUED

Pembalap Miliarder ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang