Chapter - 17. Gundah

118 9 0
                                    

HAPPY READING

----------------------------------------

Bukannya ia merasa dikasihani, tapi ia tetap akan merasakan dipedulikan. Ia tahu ini terdengar seperti haus akan kasih sayang, tapi jika mereka bisa memberikannya, ia akan siap menerima.

"Lion, dengarkan aku. Dia tidak jahat, kok. Dia temanku. Teman baikku. Tadi dia hanya mau aku menjelaskan mengenai kenapa kau ada di sini. Padahal sebelumnya aku tidak pernah membawa siapa saja ke rumah, itulah sebabnya dia terkejut. Kau tenang saja, dia tidak akan berani menekanku apalagi menyakitiku," jelas Winter sepanjang yang ia bisa agar Lion mengerti. Melihat dari wajah Lion, ia tahu lelaki itu bisa menerima jelas penjelasannya dan tidak berani lagi membuka mulut. Menggemaskan sekali Lion-nya.

"Dengar?! Jangan asal menuduh saja!" geram Jake sembari mengambil piring untuk ikut makan.

"Dan kau, Jake. Dia bukan pacarku. Dia adalah orang yang kutolong. Jadi sudah jelas, kan?"

"Orang yang ditolong? Maksudmu? Kau menolong orang sampai separah ini? Memberinya tumpangan tempat tinggal gratis dan memberinya makanan enak? Kenapa dia tidak dipulangkan?"

Lion menggeram kesal karena harus disindir lagi. Ia menatap terang-terangan ke arah Jake dengan wajah memusuhi. Sudah ia tandai wajah Jake untuk tidak terlalu banyak bicara dengannya karena ia tidak suka. Ia rasa, ia pun tidak akan bisa berteman baik dengan lelaki banyak mulut sepertinya. Apalagi mulutnya tergolong kasar.

Hampir saja ia ingin menjawab, tapi telah disela oleh Winter.


"Ceritanya panjang dan kau pasti akan bosan. Jadi daripada menceritakan hal tidak penting itu, lebih baik sekarang makan. Aku sudah lapar sejak tadi."

Mendengar keluhan Winter, mulut Lion terasa gatal dan inilah kesempatannya lagi untuk berdebat.

"Dengar! Kau membuat waktu kami jadi tidak berguna!"

"Kenapa kau marah? Kau ini memang menyukai Winter, ya? Biasanya aku mengganggunya, dia pun biasa saja. Kenapa kau yang marah?" Sindiran keras Jake membuat wajah Lion memerah. Bukan karena marah, melainkan malu. Jake seolah mengerti dan langsung menyentil keras tepat ke hati. Ia tidak tahu ia menyukai Winter atau tidak, tapi ia malu saja mendengar itu. Apalagi ada Winter di sini. Seharusnya, Jake tidak perlu to the point sekali.

Winter menoleh ke arah Lion setelah mendengar kata suka yang Jake lontarkan. Ia tidak mau berpikir lebih, hanya saja kata itu cukup menggelitik hingga ia ingin tahu lebih.

"Jangan asal bicara! Aku hanya membela."

"Terserahmulah, Tuan Pemarah." Jake mulai mengabaikan Lion karena suapan pertama hasil masakan Winter lebih memanjakan daripada berdebat. Mulutnya butuh istirahat karena lelah beradu kata tadi. Jadi butuh asupan yang lebih.

Tahu tidak ada tanggapan lagi dari Jake, Lion menghentikan perdebatan mereka dan mulai menyuapkan makanan ke mulut, mengabaikan tatapan Winter di sampingnya. Jantung yang sedang luntang-lantung ini ia abaikan. Ia tahu Winter pasti mendengar jelas sindiran Jake tadi. Ia malah jadi ketakutan jika Winter memang peka dan tahu jika ia memiliki sedikit rasa pada gadis itu. Seandainya Winter tahu, ia juga takut ditolak.

Winter pelan-pelan mengembuskan napas. Memangnya ia bisa berharap apa? Berharap Lion memang menyukainya? Hahaha, gila sekali. Mereka baru saja bertemu, baru saja saling mengenal, tidak mungkin rasa suka bisa begitu mudahnya muncul. Ia tidak gila untuk berpikir jauh mengenai cinta yang tidak ada kepastian. Toh, ia dan Lion tidak mungkin terikat dengan yang namanya hubungan khusus. Mereka hanya sebatas pada ikatan saling menolong, bukan saling mencintai.

Suasana ruang hanya terdengar dentingan alat makan, tanpa suara lainnya karena sibuk menikmati makanan. Jangan lupakan Lion yang sibuk dengan jantung yang tidak henti berdetak seperti. Ia malah berubah malu untuk berdekatan lebih dengan Winter karena sindiran Jake tadi. Dalam hati, ia mengumpat karena Jake tak tanggung-tanggung menyemprotnya dengan kalimat laknat itu. Kenapa pula ia bisa bertemu makhluk sepertinya di dunia ini.

Selesai menikmati makanan, Jake hanya duduk dengan perut yang terisi penuh, sedangkan Winter membantu Lion dengan meletakkan piring-piring kotor di wastafel agar bisa dicuci.

"Kau yang mencucinya, Lion?" tanya Jake dengan kekehan, apalagi ia baru menyadari Lion tidak melepas apron. Sudah ia duga, Lion pasti lupa melepasnya setelah selesai memasak.

"Kenapa? Kau mau menolong?" balas Lion dengan pertanyaan yang terdengar ketus. Ia tak akan sudi berbaik hati pada Jake. Ia tidak akan lupa bagaimana Jake menyindirnya tadi.

Jake tertawa sembari mengelus perut yang membesar karena porsi makannya yang berlebihan. Ia berkata, "Terima kasih, brother. Kau adalah pelayan yang baik. Tidak sia-sia Winter menolongmu."

"Kau--"

Seperti tadi, belum saja Lion membalas sampai kalimatnya selesai, sudah dihentikan Winter.

"Apa kalian sudah terlalu kenyang sampai mau bertengkar lagi?" Winter berkacak pinggang, memarahi kedua lelaki yang terlihat kekanakan itu yang malah saling memandang memusuhi, terutama tatapan Lion pada Jake seperti musuh bebuyutan.

"Kalau dia tidak menggangguku, aku pun tak sudi bertengkar dengannya," jawab Lion yang tak mau disalahkan. Memang ia tak salah. Ia sudah diam, mengapa Jake mengusiknya?

"Kalau dia tak menggangguku, aku pun tak sudi bertengkar dengannya." Jake menggoyangkan kepala, berbicara mengejek dengan mengulangi kata-kata Lion. "Dasar kekanakan."

"Kau juga kekanakan!" Lion tak terima jika hanya ia yang disebut kekanakan. Lelaki itu tak sadar siapa yang lebih kekanakan. Tidak mungkin ia yang tampan ini malah lebih memilih bertengkar. Ia adalah manusia yang cinta damai.

"Sudahlah, jangan bertengkar. Lion, cucilah piring itu dan abaikan dia. Kalau begini terus, cucian itu lama-lama akan dicuci olehku. Dan kau, Jake, pulanglah. Kehadiranmu sama sekali tidak kubutuhkan di sini. Kau bisa menerorku nanti di tempat kerja. Jangan di sini."

Jika Lion langsung mengerjakan apa yang Winter katakan tadi karena merasa bersalah, berbeda dengan Jake yang berdiri sembari ikut berkacak pinggang.

"Aku tagih perkataanmu!" Telunjuk pria itu teracung, menegaskan jika ia butuh banyak penjelasan atas pertanyaan yang tentu saja tidak cukup untuk membuatnya percaya. Setelah memastikan ia akan mendapat jawabannya, ia melenggang pergi. Dengan perut kenyang, ia rasa sudah sepatutnya pulang, apalagi makanannya gratis. "Anyway, terima kasih atas masakanmu! Kau memang terbaik dalam memasak."

Lion yang memang sejak tadi sibuk mencuci, tetap saja tidak akan sepenuhnya fokus. Kepalanya tetap terarah pada perbincangan Jake dengan Winter. Tatapannya langsung berubah menjadi sinis saat netranya bertabrakan dengan netra Jake.

"Kau memang dekat dengannya, ya?" tanya Lion setelah mendengar pintu tertutup. Ia harus menuntaskan rasa penasaran ini karena tidak baik jika ditahan. Ia pasti bisa overthinking. Entah mengapa ia memiliki tabiat buruk begini.

"Ya, begitulah. Dia teman baikku sejak aku mulai bekerja," jawab Winter tanpa mengamati Lion yang tiba-tiba jengkel.

"Kenapa kalian bisa dekat?" Memang Lion ingin tahu alasan mereka bisa dekat karena bisa saja itu menjadi salah satu triknya untuk mendekati Winter.

"Karena dia baik. Kalau dia tidak baik, aku pasti tidak sudi dekat dengannya."

Jawaban Winter sama sekali tidak memuaskan. Pasti ada hal lain yang membuat Winter bisa dekat dengan Jake. Tidak mungkin hanya sekadar baik? Ia ini bukan anak kecil yang bisa dibohongi. Entah mengapa, ia tahu kalau Winter tidak ingin membicarakan perihal itu lebih lanjut. Dan entah mengapa pula, ia malah tidak menyukai Winter jika tidak terbuka dengannya. Padahal ia harus tahu ia bukanlah siapa-siapa.

Menyadari identitasnya sekarang dan hubungan di antara mereka, mendadak suasana hati ini menjadi murung. Ia bukanlah siapa-siapa. Hal itu sudah pasti. Ia tidak berhak mencampuri urusan Winter lebih jauh, sedangkan Jake pasti diperbolehkan karena mereka teman baik.Oh, Tuhan. Kenapa ia gundah menyadari kenyataan itu?

Pembalap Miliarder ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang