END

231 8 2
                                    

HAPPY READING 📖

-----------------------------------------

Winter bersumpah, ia merasa ingin mati karena sakit yang tertolong ini. Rasanya ingin menghilang dari bumi. Ini gila sekali. Saking gilanya ia merasa ingin dibius saja. Ia sudah dapat memperkirakan rasa sakitnya, tapi tidak tahu bahwa sakitnya sangat tidak bisa ditoleransi.

Semua tulang hendak patah, bahkan napasnya pun hampir tercabut oleh malaikat.

"Huh!" Ia mengembuskan napas terakhir dan terbaring lunglai. Tenaganya sudah habis tersedot. Ia memejam, menetralkan kelelahan yang menggila. Suara tangisan bayi mengundangnya untuk menangis juga. Pertama kalinya menjadi ibu membuat ia takut dan tak berani melangkah lebih jauh. Tapi Adam selalu mengingatkannya bahwa ia akan menjadi ibu yang berhasil.

Air matanya menetes semakin deras, apalagi ia mendengar jelas suara kelegaan dari Adam. Ia bahagia. Saking bahagianya ia tidak bisa lagi untuk tersenyum.

***

Tiga bulan kemudian, lelaki yang hampir menginjak tiga puluh tahun itu melangkah pasti ke halaman belakang, tempat yang selalu menjadi tempat indah untuknya dan Winter. Rumah Winter yang pernah ia tinggali adalah rumah yang ia beli sekarang. Sampai anaknya hadir, rumah inilah yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka yang tiada duanya. Ia yang menyarankan untuk menggunakan rumah ini dan mendekorasi ulang apa yang ingin didekor. Buat apa membeli rumah kalau rumah di mana mereka bertemu bisa dibeli. Ia bahkan mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk menjadikan rumah ini milik mereka.

Lengan yang digulang sampai ke siku dengan dua kancing kemeja yang terbuka di atas, menambah sisi maskulin dari seorang Adam Green. Sepulang dari kantor dengan tubuh yang sudah terlalu lelah, rumah ini menjadi tempat ia mengumpulkan tenaga.

"Sedang apa, Sayang?" tanyanya pada Winter yang duduk sendirian di halaman belakang sembari memejam dengan tangan yang bertumpu di belakang dan kaki yang terentang. Winter menoleh lalu sampai meneguk ludah memandang lelaki yang masih tidak ia percaya akan terlibat hubungan lebih jauh. Status Adam sebagai pewaris, sudah dipastikan siapa pun yang bersanding dengannya harus berada di kasta yang tinggi. Seorang Winter Dawn, jurnalis yang biasanya hidup sederhana, selalu merasa minder. Ia merasa tak bisa mengikuti arus hubungan yang pastinya semakin lama akan semakin serius. Di sisi lain, ia pun semakin melekatkan diri pada Adam karena perasaan yang semakin memupuk dalam. Namun, itu dulu.

Sekarang ini ia begitu beruntung dan merasa sangat pantas bersanding dengan Adam, memperkenalkan diri sebagai istri Adam, juga memperkenalkan siapa pun bahwa ia yang menjadi ibu dari anak-anak Adam.

"Kau seksi sekali." Itu kejujuran Winter untuk selamanya. Usia mereka memang masih muda, tapi rasanya setelah punya anak, mereka beranggapan jika sudah tua. Kata orang, setelah mereka punya anak, mereka terlihat semakin bugar dan segar. Orang-orang menyebut Winter malah semakin muda jika tidak tahu kalau Winter ternyata telah memiliki satu anak.

Pelukan hangat ia rasakan ketika kedua lengan kekar itu mendekap lembut tubuh belakangnya.

"Tentu saja. Aku akan selalu seksi untukmu."

Winter tidak mengatakan apa-apa dan hanya membelakangi Adam yang mencuri kecupan di bahu.

"Harimu menyenangkan?"

"Ya, Sparkle sangat lasak sekali dan aku kelelahan. Dia selalu bermain dan lupa untuk tidur. Aku rasanya semakin tidak sabar untuk menjewernya."

Adam hanya tertawa mendengar gerutuan Winter mengenai anak perempuan mereka. Meskipun masih berusia tiga bulan, Sparkle White Green sudah menunjukkan sifat aslinya yang begitu lasak seperti pria. Belum lagi kalau di malam hari, Sparkle sulit untuk tidur. Waktu tidur Sparkle pun bisa dikatakan beberapa jam saja. Anak bayi itu lebih senang mengganggu orang tuanya ternyata.

"Aku jadi merindukan pekerjaanku." Winter menyandarkan kepala di dada bidang Adam, menikmati aroma kayu cendana yang menjadi parfum kesukaan Adam.

"Kau bisa masuk kerja besok, jadi aku yang akan menjaga Sparkle. Toh, aku juga lelah sekali hari ini sampai malas untuk bekerja besok."

Winter mendongak dengan binar bahagia di wajah. "Kau serius?"

"Ya, kenapa kau harus melarangmu. Lagi pula, aku mendengar pengaduan dari divisimu itu. Tulisan yang mereka buat beberapa kali harus di-take down karena bahasanya tidak sesuai. Mungkin kalau kau yang turun tangan, mereka semua tidak bertingkah."

Mendengar itu, Winter melotot geram. "Lihat saja besok! Mereka memang melunjak, ya! Pasti ini kerjaan Jake! Dia kalau sudah bertingkah, pasti yang lain juga ikut bertingkah!"

"Kau pun tahu itu," balas Adam dengan sama kesalnya. Sudah beberapa kali ia memarahi pria itu, tapi tidak ditanggapi sama sekali, seolah ucapannya tidak berguna.

"Terus apalagi?"

"Besok saja kau lihat. Aku capek menjelaskan tentangnya. Rasanya capekku langsung datang kalau sudah mendengar namanya itu."

Winter pasti akan menjewer telinga itu karena membuat keributan di kantor. Jake memang diberi kebebasan, tapi kebebasan yang diberikan itu tidak tahu tempat. Ia kesal saja Jake semakin lama semakin melunjak.

"Sudahlah, tidak usah bahas kantor. Aku ingin menghabiskan waktu bersamamu, kenapa malah jadi membahas mereka. Pusing sekali, tahu tidak."

"Aku masih ingat kau tidak pakai dalaman waktu itu," kata Winter langsung sembari tertawa renyah, mengejek Adam yang berubah malu.

"Kenapa dari sekian banyak kenangan, hanya itu yang kau ingat? Padahal masih banyak yang indah daripada itu. Kau ini benar-benar menyebalkan juga, Sayang."

"Aku tidak tahu. Kepalaku tiba-tiba memikirkan itu. Aku saja tidak menyangka kalau kau juga masih ingat. Kupikir kau sudah lupa."

"Kan sudah kubilang, semua tentangmu tidak akan bisa kulupakan. Apalagi kalau sudah menyakut dirimu. Sialnya, kenapa harus itu yang kau bahas. Mau membuatku kesal, ya, Sayang?" Adam mencubit pipi Winter yang dulunya kurus, sekarang telah berisi. Tapi ia tetap menyukai Winter yang ini. Tubuh Winter begitu seksi dengan segala isinya.

"Aku tidak akan bisa lupa itu. Rasanya aku ingin membiarkan Sparkle tahu betapa konyol ayahnya waktu itu." Winter tak henti-henti tertawa. Mengingat bagaimana Adam menutupi bagian selangkangan, dan malu-malu kucing, membuatnya ingin tertawa lagi dan akhirnya perbincangan akhir dengan tawa, sementara Adam merenggut kesal.

Bisa-bisa Adam tidak ingin tidur di kamar hanya karena kesal. Jika tidak tidur di kamar, Adam akan tidur di kamar Sparkle, dan itu membuatnya jelas dilanda cemburu. Adam memilih anaknya dibandingkan dirinya. Bukan cemburu berlebihan, tapi kalau sudah begitu, Adam pasti akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan Sparkle, dan ia akan dilupakan.

"Baiklah, baiklah. Aku akan mencoba melupakan itu." Winter mengulum senyum, menahan tawa yang hendak meledak lagi tatkala melihat wajah Adam yang mengembang karena geram."Kau tahu, aku beruntung memilikimu. Karena setiap aku marah, aku pasti akan mengingat kau tidak pakai celana dalam. Aku beruntung sekali. HAHAHA!"

"Winter!" Adam merenggut tak senang dan mendelik. "Aku akan tidur di kamar Sparkle. Titik."

Seketika tawa Winter terhenti dan matanya langsung melotot. 

Oh, tidak. Adam sudah merajuk.

.

.

.

ENDING 🎉

Pembalap Miliarder ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang