Chapter - 29. Tidak Fokus

79 6 0
                                    

HAPPY READING 📖

---------------------------------------------

"Ssst! A-aku ...." Lion gelagapan, merasa tak memiliki bermacam kata untuk diutarakan. Ia kesal kenapa Winter harus mengatakan hal memalukan itu, kenapa kalau tahu tidak disimpan diam-diam saja? Meskipun berbisik, tetap saja ia takut akan ada yang mendengar. Debaran gila di dada ini pun tidak mau berhenti.

"Jangan tutup-tutupi lagi, aku tahu kau tidak pakai celana dalam." Winter mengedipkan matanya pelan, menggoda Lion untuk mengaku.

"Baiklah. Aku memang tidak pakai dalaman karena tidak ada celana dalam lagi. Ada yang belum kering dan belum dicuci." Lion mengaku tanpa berniat untuk membalas tatapan Winter. Selain itu, ia pun hendak fokus pada langkah karena pikirannya kini terbagi dua. Bukan terbagi dua, malah menjadi cabang pohon yang ditumbuhi daun-daun dengan ranting-ranting kecil, alias setiap satu pikiran, akan memiliki anak pikiran lain. Huh, rumit.

Sembari berjalan, Winter tertawa kecil lalu berkata, "Tidak masalah. Toh, bokongmu juga seksi. Jadi aman."

Lion membuka sedikit mulutnya karena tak menduga jawaban godaan itu bisa meluncur dari sosok Winter. Ia malah menduga Winter bukanlah gadis genit dan hanya maunya bicara sopan. Itu yang membuat ia agak ternganga. Apalagi menyinggung bokongnya yang seksi. Tapi itu benar. Saat ia melihat di kaca tadi, ia langsung berpikiran untuk menjadi model pakaian dalam agar banyak orang tahu kalau ada manusia yang memiliki bokong sepertinya.

"Ternyata kau penggoda, ya. Aku tidak menyangka seorang jurnalis sepertimu bisa bicara kotor."

"Jadi selama ini kau belum mengenalku, ya? Padahal seharusnya kau sudah tahu kalau mulutku blak-blakkan."

Bukan. Bukan Lion tidak tahu, melainkan ia menutup mata. Setelah beberapa kali berbicara dengan Winter dan Winter bertipe orang yang selalu mengatakan maksud tanpa harus ditutupi, ia hanya ingin berpikir baik kalau Winter tidak begitu.

"Kau mau mendengarku berbicara lebih kotor?"

Lion langsung menggeleng cepat. Ia bisa terkontaminasi oleh kata-kata Winter dan akhirnya ikut-ikutan. Ia ingin jadi manusia yang baik dan tidak ingin banyak mendapat masalah dalam hidup. Bahkan bencana yang menimpanya saja ia mengira itu adalah hukuman dari semesta karena sebelumnya mungkin pernah menyia-nyiakan kehidupan.

"Tidak perlu. Aku lebih suka kau yang begini."

"Oh, ya? Kau yakin? Kau pasti lebih suka aku yang lebih liar." Winter tersenyum miring sembari bersedekap.

Lion akui ia memang menyukai Winter karena perempuan ini energik. Ia suka karena itu membuatnya ikut bersemangat. Bukankah hal-hal begitu bisa menular?

"Aku suka apa pun yang kau miliki, Winter," kata Lion dengan suara pelan, nyaris tak terdengar.

"Hah? Kau bicara apa? Suaramu kecil sekali. Aku tidak bisa mendengar."

Memang itu yang Lion inginkan. Ia tidak mau Winter mendengar karena bisa saja Winter langsung menganggapnya aneh. Nyalinya masih sekecil semut untuk mengaku.

"Aku tadi hanya tes bernyanyi."

Winter memandang dengan setengah tak percaya. Ia yakin ada yang Lion katakan tadi, hanya saja tidak jelas terdengar.

"Oooo," balas Winter tak ingin memperpanjang. Telunjuknya terarah pada tempat minuman kopi dengan nuansa hitam abu dan aroma yang begitu kuat.

"Kita ke sana!" serunya sembari menarik pergelangan tangan Lion, menuntunnya.

Meskipun berbagai cara untuk mengalihkan otak, tetap saja Lion tidak akan lupa jika satu pekerjaannya—menjaga bagian pangkal paha—tetap aman. Ia tidak akan lengah hingga orang-orang menyadari ia tidak pakai celana dalam.

"Kau mau yang mana?" tanya Winter sembari membaca menu yang berada di dekat meja kasir.

"Aku mau cokelat dingin dan buble." Lion menunjuk satu menu yang menarik. Ia sengaja tidak mau minum kopi karena pagi tadi ia sudah minum kopi. Bisa-bisa malam ini ia tidak bisa tidur.

"Aku moccachino latte dengan toping cincau." Winter memberitahukan pesanan mereka di meja kasir, lalu menunggu tagihan untuk pembayaran dan selebihnya juga menunggu minuman mereka selesai dibuat.

***

Winter mengambil cemilan-cemilan yang menggoda mata untuk dibeli, meskipun ia tidak tahu kapan akan memakannya. Lion pula mendorong troli sembari menyeruput minumannya tadi. Ia hanya memperhatikan saja apa yang Winter lakukan dan itu pun ia tak berani untuk mengambil tanpa izin. Ia hanya akan melakukan jika Winter bertanya atau mengajak. Jika tidak, ia tidak selancang itu untuk merepotkan kembali.

"Okay, sekarang belanjaan sudah banyak. Kau mau apa? Kau sejak tadi tidak beli?"

Lion menggeleng lucu dengan bibir yang masih menyedot minuman.

"Kenapa tidak mau beli? Kalau ada yang mau kau beli, ambil saja."

"Aku lebih butuh celana dalam dan pakaian dibandingkan ini."

"Kalau begitu, selesai membayar ini kita akan membeli celana dalammu."

Lion hampir menyemburkan isi mulut karena tidak menyangka semudah itu Winter menjawab. "Kau serius?"

"Jadi kau kira aku bercanda?" Kali ini bukan Lion yang keheranan, melainkan Winter. Ia tidak mengerti mengapa Lion sehisteris itu karena ia mengiyakan.

Lion menggeleng tanpa menjawab apa-apa. Ia tahu Winter akan memberikannya apa pun yang ia mau, tapi ia masih tidak punya bantahan kenapa Winter harus mengiyakan dengan mudah. Kenapa mereka tidak berdebat dulu?

"Aneh sekali," gumam Winter sembari menatap Lion tak putus.

Lion membatin, Kau yang aneh.

Setelah semua rutinitas itu berakhir, keduanya memasuki tempat pemotongan rambut. Karena Winter berpikir jika ia ingin memotong rambut juga, maka ia ke salon, sementara Lion ke barbershop.

Tidak terlalu lama sesi potong rambutnya karena memang ia tidak peduli dengan gaya, melainkan kenyamanan. Jika rambutnya sudah pendek dan tidak mengganggu, itu artinya ia menyukai gaya rambutnya ini. Apalagi kalau masih bisa diikat.

Ia mengambil ponselnya, mengirimkan pesan pada Lion apakah lelaki itu sudah selesai atau belum. Jika sudah, mereka bisa bertemu di depan salon dan kalau belum, ia akan menunggu di dalam.

Ia sudah mendapatkan jawaban dari Lion jika lelaki itu pun sudah selesai. Ia keluar dan mencari keberadaan Lion dengan memanjangkan leher. Baru saja ia hendak melambai, tubuh pria yang mirip dengan Lion menghadang pemandangannya, seolah hendak masuk ke salon. Terpaksa, ia bergeser untuk melihat Lion yang ternyata sedang mencari-carinya juga dengan tolehan kepala. Ia hampir melambaikan tangan dan berlari, sayangnya lelaki yang memiliki proporsi tubuh mirip Lion itu menabraknya.

"Hei, kau ini kenapa! Ada jalan lebar begitu, kenapa menabrakku?" Winter menyemburkan amarah yang memang sudah sepatutnya karena lelaki itu memang aneh sekali. Di kiri dan kanannya masih tersedia jalan untuk dilewati, tapi dia malah ingin jalan yang sedang ia pijaki ini. Memangnya tidak ada lagi jalan lain?

"Maaf-maaf. Aku tidak fokus. Kupikir kau berada di kiriku. Maaf, aku benar-benar tidak fokus."

"Lain kali lihat baik-baik pakai mata! Kau bisa menyelakai orang lain kalau keseringan tidak fokus!" Winter yang tidak mau mendebat lagi, berlalu dengan jengkel untuk menemui Lion yang berdiri di toko pakaian.

Lelaki dengan kacamata di atas kepala itu menarik napas panjang. Shivan Malik memasuki salon tempat Cara berada dan memastikan sekali lagi jika kesadarannya kini pulih. Ada alasan mengapa ia begitu tidak fokus. Ancaman Bright mengenai keberadaan Adam.

.

.

.

TO BE CONTINUED

Pembalap Miliarder ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang