HAPPY READING 📖
-------------------------------------------
Keterkejutan menghinggap, menghentikan dunia Winter Dawn dalam upaya untuk mencerna benar kalimat itu. Benarkah ia sedang dilamar? Apa ini di dunia mimpi? Kenapa ... indah sekali?
Namun, bukan Winter namanya jika ia tidak memprotes.
"Kenapa harus mendadak begini. Jujur saja, kepalaku sudah pusing sekali. Masalah seolah tidak pernah selesai." Winter menarik tangannya yang digenggam, menggantinya dengan meletakkan tangan itu di pelipis, memijit perlahan. Ya, lamaran adalah masalah untuknya. Bagaimana ia menghadapi keluarganya nanti? Dan bagaimana tanggapan Adam mengenai keluarganya? Ia takut sekali jika hubungan sampai seserius itu. Banyak hal yang ia takutkan.
Adam mengeluarkan senyum jahil. Ia mengeluarkan kacamata yang ia bawa tadi. Mati-matian ia harus menghadapi kerabunan yang semakin parah ini tadi hanya untuk membawanya saja tanpa dipakai. Sekarang ia memakainya lalu tersenyum lebar dan meletakkan kedua tangan di atas meja.
"Winter sedang galau, ya? Galau ditinggal Lion?" Winter mengulum bibir. Di depannya ini adalah Lion yang sangat-sangat ia rindukan. Bukan berarti ia meminta Adam untuk menjadi dua orang yang berbeda, tapi ia lebih menyukai Lion yang berbicara dengannya. Ia merasa tidak diintimidasi. Ia merasa ialah yang memegang kendali.
Adam semakin melebarkan senyum, berhasil membuat Winter meleleh. Ia tahu setiap senyum yang Winter berikan menandangkan banyak hal. Ia tahu Winter ingin menerimanya, tapi masih berpikir panjang.
"Aku ingin kita selalu seperti ini. Aku ingin menghabiskan banyak waktu bersamamu, bercerita banyak hal, dan melakukan banyak hal bersama. Kau mau menikah denganku? Sesuai isi lamaranku di kertas jelek itu? Aku bahkan malu setelah tahu kau sudah membacanya. Tulisanku buruk, ya?"
"Tulisanmu sangat buruk, Lion! Aku bahkan mengomentari setiap tulisan itu. Kau tidak bisa menjadi penulis, apalagi jurnalis. Membedakan dua itu saja kau masih tidak bisa." Tanpa sadar Winter mengomel, menyebutkan nama yang seharusnya ditenggelamkan. "Maaf."
"It's okay. Aku senang kau sudah berbicara banyak denganku. Terserahmu ingin memanggilku Adam atau Lion. Semua kuserahkan padamu. Dan lebih baik jangan kepikiran tentang masalah sepele itu. Kau membuatku kesal!" rutuk Adam, melampiaskan kekesalan sejak tadi. Winter terlalu berpikir rumit. Ia tahu Winter memang suka sekali berpikir, tapi kenapa tentangnya pun harus dipikirkan. Apa Winter tidak percaya dengannya? Harus dengan apa ia membuat Winter percaya? Haruskah ia memaksa Winter untuk menikah dengannya?
Tanpa dipaksa, Winter menertawai kebodohan yang entah kenapa langsung datang seperti angin. Ia tidak menduga jika berhadapan dengan Adam bisa membuatnya tak berkutik seperti ini. "Terserahmulah," balasnya mengalah.
"Jadi?"
"Jadi apa?"
Adam mengerang, mendongakkan kepala karena balasan tak menyenangkan itu. Apa sekarang ini Winter berpura-pura bodoh?
"Bagaimana dengan lamaranku? Kau menolaknya?"
"Memangnya aku harus bilang apa? Kalau kau mau melamar perempuan, setidaknya kau harus membuat suasana romantis. Bukan tawar-menawar begini. Memangnya aku barang."
"Oke." Adam menjawab singkat, tapi seperkian detik, ia berdiri, hingga kursi yang terdorong ke belakang berbunyi keras.
"Aku butuh perhatian kalian semua!" Adam berkata lantang, mengambil semua atensi orang-orang untuk melihat ke arahnya, termasuk Winter yang kini melotot.
"Hei, apa-apaan kau ini! Duduk!" tegur Winter, kemudian tersenyum tak enak dengan orang-orang yang bersitatap dengannya. Tak ada tanggapan dari Adam, memunculkan keringat dingin karena sepertinya ada sesuatu yang akan Adam lakukan. Dan sesuatu itu bisa membuatnya langsung terkena serangan jantung.
"Di depan kalian semua, aku ingin meresmikan pada dunia bahwa ada gadis yang dikirimkan malaikat untukku. Untuk menjadi perisaiku. Untuk menjadi malaikat pelindungku." Ucapannya terkesan menggelikan karena menggunakan kata-kata sok puitis. Tapi Adam tidak berbohong jika ia ingin melakukannya. Sebelum mengenal Winter, ia paling anti untuk beromantis ria. Bersama Winter, ia ingin mencoba hal-hal baru, dari menjijikan, menggelikan, sampai menuju kemenangan.
"Dia Winter Dawn, hanya jurnalis biasa yang hidup seadanya. Hanya orang yang masih sibuk memikirkan ingin makan apa besok. Tapi dibalik kata orang biasa, dia adalah makhluk paling luar biasa yang pernah kutemui. Dia tidak membiarkan orang lain merasa kekurangan. Dia tidak membiarkan orang lain merasa tidak nyaman, meskipun dia tidak nyaman. Dia tidak membiarkan siapa pun merasa tersakiti hingga dia rela disakiti."
Adam menoleh, memberikan senyum manisnya dengan kacamata yang bertengger di batang hidung. Kacamata ini ia ambil, kemudian menunjukkannya pada orang-orang. "Ini memang kacamata terkonyol yang pernah kupunya. Tapi karena dia, aku malah ingin membeli semua pabrik kacamata boboho ini agar dia terus tertawa."
Bersamaan selesainya kata-kata, suara tawa menggelegar dari para pendengar.
Winter pula malu setengah mati. Entah apa yang ada di pikiran Adam sampai bisa selebay ini. Ia malah jadi malu. Untung saja ia menyukainya. Kalau tidak, sudah pasti ia akan menjerit dan berlari sembari berteriak ada orang tidak waras.
"Orang bilang, cinta tidak selamanya indah. Tapi kalau sudah bersamamu, aku yakin keindahan cinta akan tercipta selamanya." Dengan kotak merah yang terbuka dan berisi cicin perak berlian, Winter mengatupkan bibir dengan mata yang masih terbuka lebar-lebar.
Gila! Jadi ini betulan?
Jadi Adam memang melamarnya?
Belum lagi lelaki itu menumpukan satu kakinya, berjongkok ala-ala. Jika bisa pingsan sekarang, itulah yang ingin ia lakukan. Beginikah rasanya dilamar? Sebelumnya lamaran di kertas itu terasa biasa, meskipun jantungnya bekerja. Sayangnya, hari ini jantungnya dipaksa kerja ekstra keras.
"Jadi Winter Dawn, kau mau menjadi istriku? Menjadi istri Adam Green atau ... Lion?" Winter memahami tatapan penuh harap itu, sayangnya tidak berlangsung lama karena Adam kini menoleh ke orang-orang.
"Kalian tahu, selama aku sakit. Dia menamaiku Lion. Entah apa yang ada di pikirannya waktu itu. Sialnya, aku malah menyukai nama itu dibandingkan nama asliku. Kejam sekali, kan?" Adam kembali menghadapkan wajah ke depan Winter, kemudian mengedipkan sebelah mata.
Winter tentu saja malu-malu tak jelas. Ia ingin bilang iya, tapi diri ini mengingatkan agar tidak semudah ini. Jiwa perempuan yang ingin diperjuangkan sedang menyala-nyala. Ia ingin diperjuangkan lebih lagi.
"Ah, aku tahu kau tidak mau menerima lamaranku. Mungkin aku gagal." Adam menunduk sedih, memunculkan sorakan kesal dari orang-orang, juga simpati. Perempuan mana yang akan menolak jika ada orang sepercaya diri Adam melamar terang-terangan. Pasti sangat tidak tahu bersyukur.
"Hei, perempuan! Terima cintanya! Kau akan menyesal kalau tidak menerimanya, tahu! Dia sudah berjuang untukmu."
"Ya! Kau harus menerimanya!"
Sorakan dukungan untuk Adam meramaikan toko roti itu. Beberapa pegawai yang mengenal Adam, mengerutkan dahi sejak tadi, tapi tidak memprotes apa-apa. Masih ada kebingungan kenapa Adam resign tanpa alasan yang diwakili oleh Winter, sekarang malah melamar Winter di sini. Sangat tidak etis. Tapi itu hanya bisa diprotes di dalam hati.
"Terima! Terima! Terima!" Sorakan itu tetap berlanjut sebelum Winter mengatakan YA. Suara itu semakin keras, menggelegar seperti petir, dan memberikan petasan tanpa api.
Winter menyerah. Ia memejam sejenak, memantapkan hati untuk menjawab. Menerima segala risiko yang ia ambil. Menerima segala hal di pikiran yang ia takutkan. Karena ia tahu, setelah jawaban ini terlontar, mereka akan terus bersama di kala susah maupun senang. Tidak ada lagi kata sendirian. Yang ada berdua. Apa-apa akan selalu berdua.
Setelahnya, ia berkata, "Ya. Aku mau."
.
.
.
TO BE CONTINUED
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembalap Miliarder ✅
RomancePertama kali publish : 18 Februari 2023 Adam Green, pembalap miliarder penyuka tantangan mengalami kecelakaan setelah menerima tantangan balapan dengan musuhnya. Tatkala membuka mata, ia kehilangan semua ingatan, semua kenangan, jati diri, tak lagi...