HAPPY READING 📖
-----------------------------------------------
Adam berteriak bahagia setelah mendengar kabar menyenangkan pagi-pagi. Sebelumnya, kondisi Winter memang tidak terlalu baik dan sering muntah di pagi hari. Menurutnya, Winter salah makan. Tapi setelah mengikuti saran dari dokter umum kalau Winter harus diperiksa di dokter kandungan, akhirnya di sinilah mereka. Di kamar yang berantakan karena tidak dirapikan beberapa hari saking sibuk dengan pekerjaan masing-masing."Aku senang sekali!" Adam menaiki ranjang empuk itu lalu melompat-lompat di atasnya sembari merentangkan kedua tangan.
Winter tertawa geli di sofa melihat kelakuan kekanakan Adam. Saking senang dengan kabar kehamilan Winter, Adam sampai lupa ranjang yang mereka pakai ini mulai rusak. Mendengar bunyi kayu patah, barulah ia berhenti dengan kekesalan memuncak.
"Kubeli juga pabriknya sekaligus. Kasur macam apa yang dikit-dikit berisik begini." Ia kesal karena semasa mereka berhubungan intim pun, berisiknya ranjang ini mengalahkan suara erangan mereka. Dari lalu ia memang sudah ingin menggantinya, tapi terus kelupaan karena sibuk dengan profesi baru yang sedang ia jalani.
Tentu saja membuka gedung baru untuk Winter. Jadi Winter tidak perlu lagi menjadi karyawan di perusahaan media itu. Ia yang akan memfasilitasi semua kebutuhan Winter, sekaligus ia belajar banyak hal untuk menjadi pemimpin. Bukan berarti ia akan meninggalkan kesukaannya menjadi pembalap. Ia melakukan itu sesekali, karena tidak ingin nyawanya terenggut lagi hanya karena berbalap. Ada saatnya ia akan berbalap, itu pun tidak di jalanan liar, melainkan di arena balap yang sudah disokong fasilitas terbaik.
"Ayo, beli hari ini. Jangan sampai kita tidak tidur hanya karena ranjang sialan ini. Ayo, Sayang." Adam turun dari ranjang kemudian menarik tangan Winter, tapi Winter bergeming dan hanya menatapnya.
Tak mendapat tanggapan Winter, Adam mengerutkan dahi, bertanya-tanya. Tapi akhirnya ia ingat kenapa.
"Maaf. Aku lupa. Ayo, kubuatkan susu dulu."
Barulah senyum manis Winter muncul dan menuruti Adam, membiarkan tangannya digenggam dan dituntun untuk ke dapur. Perlakuan manis Adam dengan membuka kursi lalu membiarkannya duduk, membuat hati ini berbunga-bunga seperti baru saja bermekaran dari taman.
Ia menunggu dengan sabar Adam menyiapkan susu untuknya. Lamunan mengenai anak mereka yang akan lahir membuat ia senyum-senyum sendiri dan tidak sadar mencetuskan, "Bagaimana kalau anak kita yang laki-laki kita beri nama Lion. Aku jadi rindu memanggil Lion."
Adam berbalik sembari mengaduk susu vanila yang dikhususkan untuk ibu hamil. Sehabis mereka dari dokter kandungan, ia dan Winter mampir ke super market untuk berbelanja kebutuhan semasa hamil. Apalagi Winter akan mengalami morning sickness yang kata orang menyeramkan.
"Kau bisa memanggilku Lion kalau kau mau. Aku bisa memberikan nama Adam ini untuk anak kita." Tentu saja Adam tidak terima. Itu pemberian Winter untuknya. Mau anaknya, ia tetap tidak akan rela nama itu dipakai. Baginya, itu adalah kenangan terindah dan tidak ada yang boleh mengklaimnya, termasuk anaknya. Katakanlah ia kejam, tapi ia memang tidak suka untuk berbagi.
"Kalau untuk anak kita, kan, sudah pasti cocok."
"Aku tidak mau. Aku tidak suka berbagi, termasuk pada anakku nanti, Sayang. Kau tahu itu. Aku tidak suka kalau aku harus membagikan nama itu. Nama itu penuh arti sekali untukku."
"Okay, Lion. Ayahmu ternyata tidak mengizinkan. Jadi, nama apa yang bagus untukmu, Lion?" Winter rmenunduk, berbicara dengan anaknya yang masih berupa biji jagung—mungkin. Karena kata dokter, usia kandungannya baru tiga minggu. Ia mengelus perutnya yang masih datar dan beberapa kali masih tidak menyangka jika ia telah mengandung. Ada nyawa di dalamnya. Ia sama sekali tidak menyangka bisa mengandung. Dulu saat masih begitu muda, ia berpikir bagaimana anak bisa tumbuh di dalam sini. Pada akhirnya pun, ia mengalami hal tersebut. Aneh tapi nyata. Padahal perutnya kecil, tapi bisa muat berkilo-kilo anak di dalam.
"Winter!" Adam melangkah sembari membawa susu yang sudah siap untuk diminum dengan wajah cemberut. Bisa-bisanya Winter tidak terpengaruh dengan ucapannya. "Kau tidak mendengarku?"
"Aku mendengarmu. Nyatanya, kan, aku bilang pada Lion kalau ayahnya tidak mengizinkan dia untuk menggunakan nama itu. Apa aku salah?"
"Ya, jelas salah. Aku sudah bilang jangan pakai nama itu, bukan berarti kau bisa menyebutnya. Lebih baik aku yang kau panggil begitu dan anak kita kau panggil Adam. Masalah beres."
"Kau memarahiku?" Winter mendongak dengan mata berkaca-kaca, tak mengerti kenapa ia harus menangis. Tak mengerti kenapa ia malah menjadi selemah ini.
"Astaga." Adam meletakkan gelas itu ke meja dan langsung ke depan Winter dan berlutut.
"Jangan menangis, Sayang. Aku tidak memarahimu. Mana berani aku memarahi ibu cantik dari anak-anakku. Aku hanya bicara saja tadi." Adam memucat. Seumur hidup, ia jarang sekali melihat Winter menangis. Itu pun saat hari pernikahan mereka. Selebihnya, mana pernah Winter menangis terisak begini.
"Maaf. Maafkan aku, Sayang. Astaga, apa yang sudah kulakukan. Maafkan aku." Adam meletakkan kepalanya di paha Winter, kemudian bergumam, "Maaf. Kau boleh menamani anak kita Lion, aku ikhlas. Aku menerima anak kita mendapatkan nama itu asal kau tidak menangis. Maafkan aku, Sayangku. Maafkan aku, ya?" Adam mendongak, melihat Winter yang sudah tersenyum lebar dengan air mata yang masih berceceran.
Tiba-tiba Winter menggeleng. "Aku tidak mau."
"Tidak mau apa, Sayang?" Adam menjauh sedikit untuk melepas kaosnya, setelah itu ia menghapus air mata Winter dengan kaos itu, serta ingus yang keluar. Gila, ini artinya Winter memang benar-benar menangis. Ingus itu sudah menjadi bukti kalau kesalahannya hari ini sangat fatal.
"Aku berubah pikiran. Aku ingin memanggilmu Lion. Rasanya aku akan gila juga kalau memanggil anak kita Lion. Aku merasa dia yang menjadi suamiku. Bukan kau."
"Nah, itu tahu." Adam ikut tersenyum lebar. Lega sekali rasanya sudah mendapatkan maaf Winter dan lega sekali karena Winter tidak lagi menangis. Inikah yang dihadapi para lelaki luaran sana saat ada perempuan mengidam begini?
"Aku mencintaimu, Lion."
Tanpa perintah, Adam berdiri kemudian memeluk Winter. Sudah sekian lama ia tidak mendengar Winter menyebut namanya. Dan hari ini namanya tersebut begitu saja. Ia mengakui, nama itu membuatnya merasa lebih dekat dengan Winter. Bukankah ia mengenal Winter dari nama itu, bukan Adam?
"Aku lebih mencintaimu, Sayang. Aku sangat-sangat mencintaimu." Adam mendongakkan wajah Winter, mempertemukan bibir merah mereka yang sejak tadi sudah menggugah untuk dipertemukan. Adam mengelus rambut yang berantakan itu dengan bibir bergerak lihai, membuai Winter dalam ciumannya dengan harapan besar bahwa hubungan mereka akan selalu baik-baik saja dan bertahan sampai mereka bisa melihat masa depan indah. Ya, masa depan yang lebih menarik lagi karena bukan hanya mereka yang mengisinya, melainkan ada buah hati yang akan bergabung.
.
..
TO BE CONTINUED
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembalap Miliarder ✅
RomancePertama kali publish : 18 Februari 2023 Adam Green, pembalap miliarder penyuka tantangan mengalami kecelakaan setelah menerima tantangan balapan dengan musuhnya. Tatkala membuka mata, ia kehilangan semua ingatan, semua kenangan, jati diri, tak lagi...