Chapter - 6. Telah Sadar

179 12 0
                                    

HAPPY READING 📖

-----------------------------------------------

Winter mematikan ponsel setelah meminta cuti pada atasan. Menurut perkiraan dokter, lelaki yang mengalami cedera leher itu akan sadar kira-kira mencapai dua minggu dan bisa lebih cepat. Dokter mengambil kesimpulan bahwa lelaki yang tidak diketahui identitasnya itu memiliki semangat juang yang tinggi dan kuat.

Sudah tiga hari Winter menghabiskan lebih banyak waktunya di rumah sakit. Ia akan pulang di malam hari untuk beristirahat dan paginya datang ke rumah sakit untuk menjenguk.

Hati nurani sebagai manusia masih bergerak. Apalagi lelaki ini masih tidak diketahui identitasnya. Karena kata dokter amnesia itu akan berlangsung selama tiga minggu sejak lelaki itu sadar, maka ia akan mencoba mencari tahu sendiri dengan memancing memori itu.

Alasannya tidak menggunakan bantuan polisi hanya satu. Ia takut malah ia yang dijadikan tersangka. Nyalinya tidak sebesar itu untuk menghadapi beberapa hal buruk dalam satu waktu. Belum lagi lelaki itu amnesia. Ia bahkan tidak yakin apakah amnesia itu akan hilang setelah tiga minggu atau lebih. Pokoknya, ia tidak mau melakukan apa-apa selain menjaga. Ia tidak mau sok bergerak banyak yang membuatnya bisa salah langkah.

Mengenai identitas, ia berkata pada pihak rumah sakit bahwa lelaki itu ternyata merupakan teman dari teman perempuannya dan beralasan jika lelaki itu sudah tidak memiliki keluarga. Ia menambahkan lagi jika teman perempuannya tidak bisa datang dan identitasnya telah dicuri. Setelah alasan itu mendapat pertanyaan lagi, ia menjawab tidak tahu.

Uh, alasan yang menarik dan pengelakan yang keren, bukan?

Lagi pula, ingat, ini masih waktu sialnya. Niat hati ingin menyelesaikan masalah, yang ada masalah kembali bertambah. Membayangkan itu saja tiba-tiba tubuhnya meremang.

"Amit-amit." Winter menggeleng, mengenyahkan pikiran kotor yang menghasutnya untuk berpikir lebih jauh. Bukan saatnya untuk banyak berpikir sekarang ini.

Winter mendongak, melihat berita yang menayangkan kecelakaan dengan identitas mobil balap. Beberapa detik melihat, ia memalingkan wajah. Tanpa berita itu pun, ia sudah tahu di luar kepala.

Kakinya melangkah ke depan ruangan. Beginilah rutinitasnya setiap hari. Kalau tidak duduk, ia akan berdiri untuk melihat lelaki itu dari luar yang masih tertempel selang-selang penunjang kehidupan dengan harapan dalam agar lelaki itu cepat membuka mata.

***

Hari keempat.

Hari kelima.

Hari keenam.

Sudah enam hari terlewati dengan aksi yang sama. Menunggu. Winter hampir menyerah dan berniat masuk kerja karena lelaki itu belum sadar juga. Entah ia yang tidak sabar atau memang belum waktunya sadar, tapi ia semakin lama merasa lelah dan bosan. Apa ia masuk kerja saja?

Bahkan ini menjelang satu minggu, tapi tidak ada tanda-tanda gerakan sedikit saja untuk menumbuhkan semangat. Ia jadi merasa semua akan berakhir sia-sia.

Winter menghela napas, kemudian mengirimkan pesan pada Jake bahwa hari ini ia akan masuk kerja. Sebelumnya pun ia telah mengabari Jake mengenai cutinya dengan alasan ada urusan dengan keluarga dan ia tahu Jake tidak sepenuhnya percaya. Tapi, setidaknya itu lebih baik dibandingkan ia harus mengabari kalau ia menjadi saksi satu-satunya korban kecelakaan. Katakanlah ia tidak profesional dan tidak bekerja sesuai kode etik, tapi ia memang dilanda ketakutan yang belum hilang.

Kakinya melangkah keluar dari koridor rumah sakit untuk ke kantor. Sebelum benar-benar pergi, ia menoleh ke gedung rumah sakit, memantapkan hati untuk pergi karena tiba-tiba ia merasa tidak harus pergi sekarang.

***

"Jadi bagaimana keluargamu?"

Winter merebahkan kepala di atas meja kemudian menjedut-jedutkannya. Pertanyaan itu sama sekali tak ingin ia jawab karena masih tidak tahu harus mengarang bagaimana.

"Ya, begitulah."

"Kurasa kau tidak mau cerita," kata Jake lagi dengan senyum sedihnya.

"Aku lagi malas, Jake. Hari-hariku buruk. Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku harus hidup lagi," keluh Winter. Rasanya ia memang ingin menangis keras-keras, berteriak dan menyalahkan siapa saja. Ia merasa tidak melakukan kesalahan apa-apa, tapi kenapa masalah terus datang?

"Hatiku lelah."

"Coba bunuh diri."

Winter seketika menegak dan memandang Jake dengan mata menyipit dengan isian sinisan. "Jadi kau mau aku bunuh diri? Begitu maksudmu?"

"Katamu kau lelah."

"Tapi tidak bunuh diri juga, bodoh! Kau pikir mudah bunuh diri? Kalau aku jadi arwah penasaran, kau orang pertama yang kuhantui."

Jake tertawa geli sembari menepuk pundak Winter. "Tertawa adalah kekuatan korektif yang mencegah kita menjadi gila."

Tatapan winter menjadi agak ... horor. Tumben saja si aneh ini mendadak sok puitis? Dan ... apa kaitannya bunuh diri dengan tertawa? Jika begini terus, ia yakin otaknya akan tidak waras lebih cepat.

"Kau tidak nyambung, bodoh, idiot, tolol." Winter bergumam rendah, kemudian ia memandang sekeliling yang dipenuhi manusia sibuk. Sebenarnya, pekerjaan yang ia geluti sudah menumpuk seperti pakaian kotor, hanya saja ia sama sekali tidak sedang berselera untuk mengerjakannya satu pun. Ia sedang tidak di tahap rajin. Motivasi hidupnya mendadak hilang, padahal uangnya keluar dari dompet terus. Entah apa maunya sekarang.

"Pergilah liburan. Mungkin kau butuh liburan agar otakmu tenang." Saran Jake tidak bisa Winter ikuti. Bagaimana ia bisa liburan jika uangnya menipis begini? Masa ia harus kerja lembur bagai kuda setelah uangnya habis? Bisa matilah dirinya.

"Saranmu hari ini tidak berguna semua," kesal Winter. Ia melipat tangannya di atas meja dan menatap komputernya yang sudah menyala, tapi tidak berisi apa-apa selain layar utama. Sejak beberapa menit yang lalu di sini, ia hanya merana.

"Kutraktir Starbucks?"

Winter menoleh cepat, melihat Jake menaikkan kedua alis dengan senyum mengembang.

"Itu saran yang paling bagus darimu hari ini  Kutunggu!" Winter menjentikkan jari, menyetujui ide itu karena ia memang membutuhkan sesuatu yang manis untuk menyegarkan pikiran dan mengembalikan stamina, apalagi ditraktir.

"Alright! Aku akan pesan online! Tunggu, ya!"

Winter menepuk-nepuk tangan seperti anak kecil karena kegirangan. Jake memang teman yang paling mengerti. Ia tidak jadi marah kalau begini ceritanya.

Ponsel yang tergeletak di atas meja, tiba-tiba berdering saat ia menunggu Jake memesan. Wajahnya tertoleh, melihat nama yang kembali menjungkirbalikkan kenyataan.

Rumah sakit.

Ia mengambil ponselnya kemudian segera beranjak dan menjauh. Ia tidak tahu apa yang akan ia dengar ini adalah berita buruk atau baik, tapi ia seratus persen berharap jika dokter akan mengabarkan berita yang ia tunggu.

"Halo," jawabnya setelah memastikan Jake tidak akan mendengar karena ia memberi kode pada lelaki itu jika ada yang penting dan Jake tahu privasinya tidak mau diganggu.

Detik saat ia mendengar kabar dari rumah sakit, kakinya seperti jeli yang hendak roboh dalam sekali tendang. Seluruh tubuhnya menjadi lunak tanpa tulang.

Apa yang ingin ia dengar telah dikabulkan.

Sosok yang ia selamatkan telah sadar.

.

.

.

TO BE CONTINUED

Pembalap Miliarder ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang