HAPPY READING 📖
---------------------------------------------
"Dia duluan!" tuduh Jake sembari menunjuk Lion yang melayangkan tatapan kesalnya seperti anak kecil.
"Dia duluan!" balas Lion tak mau kalah. Ia menghentak meja dengan tangannya—tak terlalu keras—kemudian menunduk, melihat ponselnya lagi.
"Kalau kau tidak memancingku dengan bilang sok perhatian, aku tidak akan mau mencari masalah denganmu."
Jake memicingkan mata, mendelik, lalu menoleh pada Winter, "Dia cemburu, makanya bertingkah begini."
"Aku tidak cemburu! Kau yang memang suka cari gara-gara!" Lion bersumpah, ia tidak akan mau disuruh berdamai dengan Jake kalau lelaki itu tidak minta maaf duluan. Ia takut saja kalau Jake membuka aibnya pada Winter, meskipun ia tidak pernah mengatakan apa-apa pada Jake. Tapi, sesama lelaki, jelas saja akan tahu apa yang dilakukan oleh sesama lelaki terhadap perempuan. Dan ia benci mulut Jake yang ember sekali karena membuka kedok itu. Seharusnya kalau Jake tahu, Jake mendukungnya, bukan malah memojokkannya begini. Lelaki macam apa Jake itu.
"Kalau kau tidak cari gara-gara duluan, aku juga tidak akan cari gara-gara!"
Kata-kata Jake yang semakin memojokkannya, membuat ia tak bisa menahan hati untuk tidak membenci lelaki itu. Sebutlah ia lebay, tapi memang itu yang ia rasakan. Ia tidak mau membohongi diri sendiri yang begitu benci melihat Jake, apalagi kalau Jake sudah dekat dengan Winter.
Lion tak membalas. Namun, tatapannya yang membalas, mengibarkan bendera perang pada Jake. Tanpa kata-kata pun, Jake akan tahu kalau ia tidak senang dengan itu.
"Apa?" tantang Jake, meskipun ia tahu apa arti tatapan itu. Ia tidak kesal, hanya saja pura-pura kesal dan senang mengerjai Lion. Ia sama sekali tidak terbawa perasaan dari perdebatan mereka karena memang ia jahil. Tapi ia tahu kalau Lion tidak sama sepertinya. Lelaki itu emosian, apalagi setelah ia membuka kartu tentang perasaan, pasti Lion mencak-mencak di dalam hati, hanya saja tertahan.
Hahaha, biarkan saja Lion itu. Bukankah lelaki harus macho, kenapa malah lemah gemulai?
"Sudahlah, apa yang kubilang tadi?" kata Winter pada Jake untuk mengingatkan. Malu sekali jika dilihat orang bahwa ada pertengkaran di sini. Apalagi hanya masalah sepele.
Lirikan Lion menuju tangan Winter yang berada di bahu Jake, membuat darahnya yang semula masih bisa ditoleransi, kini sudah di paling ujung kepala alias ubun-ubun. Sayangnya, yang bisa ia lakukan hanya diam. Tekanannya pada ponsel saat menembak ikan pun semakin kuat.
Tiba-tiba Jake tertawa keras, bersamaan pramusaji datang menghidangkan makanan yang Winter pesan sendiri karena Lion dan Jake sibuk bertengkar. Seluruh mata memandang ke meja mereka dan itu disadari Winter. Mau tak mau, ia menyenggol keras lengan Jake untuk menghentikan tawa itu.
"Kau ini! Memalukan sekali! Kalau mau tertawa, jangan keras-keras! Orang-orang memandang kita di sini."
Jake masih tak menghentikan tawa. Ia bahkan memukul-mukul meja karena geli.
"HAHAHA!" Air matanya perlahan mengalir karena kelebihan tertawa. Ia tidak menyangka penglihatannya tadi yang hanya sekilas, bisa selucu ini. Padahal ia tidak berniat untuk melihat Lion, tapi ternyata Lion memberikan kejelasan dari tindakan lucu itu.
"Hei, diamlah!" tegur Winter karena tawa Jake bukannya semakin kecil, malah semakin besar. Ia bisa malu kalau duduk bersama mereka lama-lama. Bukannya menjaga harga diri, mereka bisa membuatnya ikutan menanggung beban yang orang-orang berikan. "Astaga, hei! Hentikan!"
Jake tak peduli dan tetap tertawa. Bayangan wajah Lion tadi masih terngiang-ngiang di kepala. Ia tidak bisa menghilangkan itu di kepala. Oh, Tuhan. Makhluk apa yang Winter bawa ini sampai bisa sebodoh yang tak ia duga.
"Kau itu tampan, tapi bodoh, ya." Jake mencibir dengan tawa yang mulai mereda. Ia akui Lion memang tampan. Sayangnya, lelaki itu tidak bisa menyembunyikan sebuah kharisma. Lion seolah pria bodoh yang membiarkan siapa pun melihat ekspresi kekesalannya itu karena cemburu. Seharusnya, Lion tidak perlu menunjukkannya terlalu jelas. Orang lain bisa melihat, termasuk ia yang duduk tepat di depannya ini.
"Apa, sih. Kau selalu mencari ribut denganku! Padahal aku sudah diam!" Lion rasanya hendak menempeleng Jake karena tak bisa menjaga mulut. Ia sudah menahan marah susah payah, dengan mudahnya Jake memancing marah itu sampai ia ingin lepas kendali.
Jake tertawa, walaupun ia tahu Lion semakin marah. "Baiklah-baiklah, aku tidak akan memberitahumu aib yang ini. Kau memang kekanakan, ya. Coba sesekali bertingkah seperti lelaki macho. Kau pasti akan keren. Sayang sekali kekerenanmu hilang karena kekanakanmu itu."
Lion memutar bola mata, tak menanggapi lebih lanjut hinaan Jake. Ia melanjutkan permainan game tembak ikan itu dan mendiami mereka. Percuma saja, Winter pun tidak akan membela. Padahal ia tidak salah di sini. Memang Jake saja yang selalu mencari gara-gara.
"Kau ini juga! Malah mencari masalah! Kalau dia sudah diam, kau juga harus diam. Kenapa malah semakin mencari perkara!"
Mendengar pembelaan Winter, Lion tiba-tiba mendongak dan menatap kekesalan Winter tertuju pada Jake. Setelahnya, ia menunduk sembari menahan senyum dan bibir yang dikulum agar tidak terlalu jelas sekali jika ia senang dengan pembelaan itu. Ia kira ia tidak akan dibela dan terus-menerus disalahkan. Ternyata, Winter lebih membelanya dibandingkan Jake dan itu menumbuhkan sebuah kepercayaan diri kalau Winter tidak ada hubungan lebih dengan Jake. Itu artinya pun, Winter lebih menyayanginya dibandingkan Jake. Hampir saja ia lepas kendali untuk mengejek Jake. Sayangnya, kalau ia mengejek Jake, bisa-bisa ia malah mendapat teguran dan Jake pasti besar kepala karena balik dibela.
"Kau mau makan, Lion?" Lion langsung mendongak dan malah mendapat pelototan Winter.
"Wajahmu kenapa? Kau sakit?"
Lion mengerutkan dahi tak mengerti. Wajahnya memang kenapa sampai dibilang sakit begitu?
"Aku?"
"Ya, kau sakit? Wajahmu memerah. Kalau sakit, kau harus bilang padaku agar kita bisa segera ke rumah sakit." Winter mendadak cemas. Merahnya wajah Lion seperti berada di panas-panasan, bahkan lebih dari itu. Merahnya sudah sampai ke telinga juga. Ia jadi khawatir karena sejak tadi bisa saja Lion menahan sakit, makanya tidak terlalu mendebat Jake.
Lion mengeleng pelan, masih tak paham. Memangnya wajahnya merah? Semerah apa? Ia hanya merasakan panas di wajah, tapi tidak tahu kalau wajahnya bisa merah. Apa ... apa ini artinya ia ....
"Kau merona, ya, karena dibela Winter tadi? Kau merona seperti perempuan."
Mungkin jika tidak ada siapa pun orang di sini, Lion benar-benar akan meninju mulut Jake karena terlalu banyak bicara seperti ember bocor. Kenapa lelaki itu selalu menjatuhkan harga dirinya? Kenapa tidak menutupinya saja, sih, dan berkata melalui kode daripada terus terang. Kalau sudah begini, ia merasa tak punya muka lagi untuk menutup malu karena ketahuan jika ia memang merona akibat pembelaan itu.
.
.
.
TO BE CONTINUED
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembalap Miliarder ✅
Lãng mạnPertama kali publish : 18 Februari 2023 Adam Green, pembalap miliarder penyuka tantangan mengalami kecelakaan setelah menerima tantangan balapan dengan musuhnya. Tatkala membuka mata, ia kehilangan semua ingatan, semua kenangan, jati diri, tak lagi...