Winter menggerakkan kakinya secepat yang ia bisa di area rumah sakit. Detak jantung yang tertompa kencang tidak memiliki arti lebih dibandingkan melihat langsung dengan bola matanya, sosok yang ia tunggu untuk sadar akhirnya benar-benar bisa ia lihat.
Kecepatannya mulai berkurang setelah di koridor rumah sakit. Ia hanya perlu beberapa menit lagi untuk sampai di depan kamar rawat dan bertemu langsung dengan lelaki itu.
Telapak kakinya bak tertancap paku. Ini seperti mimpi karena harapannya terkabulkan. Lelaki dengan penyangga leher menatapnya sayu dan mengulas senyum tipis yang bahkan tidak terlihat jika tidak dilihat jelas.
Tidak ada kata selain lega. Winter amat lega karena penantiannya berujung baik. Ia lega karena perjuangannya tidak sia-sia.
"Hai," sapanya dengan suara yang hampir berupa bisikan. Ia mendekat, canggung karena tatapan lelaki itu agak membuatnya gugup.
Lelaki itu hanya membalas dengan senyum kecil karena tidak mampu bersuara.
"Akhirnya kau sadar. Aku menunggumu. Terima kasih sudah berjuang." Mungkin kata-kata itu sangat sederhana, tapi bagi Winter, itu adalah kata-kata yang paling terbaik. Tidak harus orang yang menolong diberi pujian, tapi orang yang membantu mewujudkan harapan adalah paling penting. Dan harapan terbesarnya terletak pada lelaki bernetra biru ini.
Lelaki itu kembali mengulas senyum karena aneh. Seharusnya ia yang berterima kasih, kan?
Tapi, karena sulitnya berbicara sekarang, jadi ia tidak berkata apa-apa dan hanya berdehem sebagai respons kecil.
Winter berdiri gugup dan merasa waktu begitu lambat. Dokter hanya memberi waktu sepuluh menit, tapi ia merasa ini sudah sejam dengan kondisi saling diam-diaman.
"Baiklah." Winter memecah keheningan. "Kau istirahatlah lagi agar cepat sembuh. Aku keluar dulu."
Winter memberikan senyum tipis dan berbalik, tanpa tahu raut ketidaksukaan terpancar jelas dari lelaki yang terbaring tak berdaya itu.
***
Seminggu pun berlalu dengan baik dan perbincangan tidak secanggung pertemuan pertama. Jika diingat, pasti menggelikan sekali karena malu.
Ada senyum yang terukir saat kedua bola mata bersitatap dan sosok yang tersenyum pertama kali adalah pembalap kaya dengan nama Adam Green yang kini tidak diketahui.
Sejak perempuan keriting itu memasuki ruangan, Adam tidak melihat seulas senyum di sana, melainkan ada kegusaran yang tidak ia ketahui. Otaknya masih tidak bisa berpikir keras. Jangankan berpikir, untuk perihal tanpa alasan saja, kepalanya langsung sakit, padahal tidak ada apa-apa.
"Ada apa?" tanyanya. Perempuan itu duduk di depannya kemudian balik bertanya, "Kau sama sekali tidak mengingat apa pun?"
Adam menggeleng. Tentu saja ia tidak ingat. Ia hanya bisa merasakan jika kepala belakangnya masih terasa sakit seperti terkena hantaman. Ia tidak tahu apa yang terjadi, seolah ia langsung hadir ke dunia tanpa merasakan apa-apa.
"Kau tidak ingat keluargamu? Nama pacarmu? Atau nama orang tuamu, mungkin?"
Ia sekali lagi menggeleng dengan alis berkerut. "Aku sama sekali tidak ingat. Ada apa? Ada yang menganggumu?" tanyanya lagi, kali ini memberikan perhatian yang ia miliki. Penyebabnya hanya satu, perempuan ini sejak tadi begitu gusar dan tidak berhenti bertanya.
"Namamu sendiri kau tidak ingat?"
Winter menelan kekecewaan karena lelaki itu tidak memberikan respons dan hanya menatapnya lekat. Tanpa diberi respons pun ia tahu kalau lelaki itu menjawab, TIDAK.
"Aku ... amnesia?" Adam menerka, walaupun ia sudah tahu jawabannya. Ia memastikan lebih dalam mengenai kondisinya separah apa.
Winter mengangguk.
"Oh, maaf merepotkanmu. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku bisa di sini. Kau tahu, rasanya seperti baru lahir dan seperti orang bodoh hidup di dunia baru. Maaf merepotkanmu."
Kata-kata yang terkesan merendah itu membuat Winter langsung mendekat sembari mengayunkan telapak tangannya.
"Jangan berpikir berlebihan. Tenang saja. Aku tidak mempermasalahkan itu. Aku tahu kau pasti tidak mau juga berbaring di sana. Sudahlah, yang penting kau selamat dan sadar untukku saja, itu lebih penting." Winter tak mungkin tega membiarkan lelaki itu terpuruk pada kesalahannya. Toh, ia juga ikhlas membantu. Ia lebih tidak tega melihat orang menderita, dibandingkan dirinya sendiri. Ia bukan tipe orang yang bisa amat masa bodoh. Walaupun ia mencoba untuk tak peduli, tetap saja ia tidak akan benar-benar bisa untuk acuh karena sama saja bunuh diri perlahan dengan rasa yang tidak enakkan.
Adam tak menjawab karena sekarang ia berada di pertanyaan besar dan terjerumus di dalamnya hingga sulit untuk keluar. Apa yang ia lewatkan selama beberapa hari ini?
"Dokter bilang kau bisa rawat jalan secepatnya kalau kondisimu sudah sangat membaik. Jadi, beristirahatlah agar kondisimu semakin cepat pulih. Dokter juga bilang ingatanmu akan pulih setelah tiga minggu," kata Winter dengan senyum yang dikulum untuk menutupi kecanggungan. Terbesit dalam pikiran jika dalam tiga minggu lelaki ini tidak keluar dari rumah sakit, mungkin itu cukup memudahkan mengembalikan lelaki itu ke asalnya karena ingatan itu sudah kembali. Katakanlah ia jahat karena berharap lelaki itu tetap di rumah sakit selama tiga minggu agar ia tidak terlalu pusing menempatkan lelaki itu di mana. Jika lelaki itu sudah ingat, pekerjaannya akan lebih mudah.
Adam menggerakkan jemarinya perlahan karena otot-otot yang tidak digerakkan itu menjadi kaku.
"Kau butuh sesuatu?" Winter mendekat, melihat lebih jelas yang mungkin lelaki itu hendak memberi kode-kode melalui jemarinya.
"Aku hanya mencoba mengetes staminaku karena kalau menunggu selama itu aku baru bisa keluar dari rumah sakit, kurasa aku akan lebih cepat mati."
"Hei, jangan berbicara begitu."
"Aku merepotkanmu. Kau pasti juga akan memantauku di sini selama aku masih belum baik-baik saja. Aku tidak mau merepotkanmu lebih jauh."
Winter menggeleng cepat dan keras, menolak semua kata-kata itu dan menyesal tadi berpikir untuk membiarkan lelaki itu lebih lama di rumah sakit. Ternyata, ia malah dikasihani karena direpotkan. Seharusnya, hal kecil itu terbesit di pikiran. Jika dipikir matang pun, biaya rumah sakit tetap harus dibayar. Entah berapa banyak lagi biaya yang harus keluar akhir-akhir ini.
"Jangan berpikir begitu. Sejak aku menemukanmu, kau sudah menjadi tanggung jawabku dan aku tidak ada masalah dengan itu. Aku akan semakin bermasalah kalau aku abai dan membiarkanmu kesakitan. Tenang saja, semua akan berakhir baik." Maafkan ia terkesan munafik, tapi dari ini, ia akan belajar untuk tidak overthinking karena beberapa kali melesatkan niat.
Melalui tatapannya, lelaki itu tampak sedikit—ralat, ia tidak tahu itu memang bersalah atau tidak, tapi itu menular hingga ia pun merasa hal yang sama.
"Semua akan baik-baik saja. Kau tidak perlu banyak berpikir. Aku hanya mau kau bekerjasama tentang kesehatanmu. Oke?"
Winter memberikan senyum menenangkan yang akhirnya dibalas anggukan. Tangannya bergerak memberi elusan penyemangat di lengan lelaki itu.
"Everything's gonna be alright. Trust me."
.
.
.
TO BE CONTINUED
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembalap Miliarder ✅
RomansaPertama kali publish : 18 Februari 2023 Adam Green, pembalap miliarder penyuka tantangan mengalami kecelakaan setelah menerima tantangan balapan dengan musuhnya. Tatkala membuka mata, ia kehilangan semua ingatan, semua kenangan, jati diri, tak lagi...