HAPPY READING 📖
------------------------------------------
Winter menerima pesan di ponselnya. Awalnya ia enggan untuk melihat karena merasa itu hanya chat spam dari orang atau chat grup yang lupa ia bisukan. Sayangnya, hatinya terus memberontak, menyuruhnya membuka ponsel untuk melihat. Penting atau tidak, ia seolah dipaksa untuk melakukan itu.
Ia merogoh ponselnya di tas sembari berjalan menaiki lift. Saat ponsel itu sudah terbuka, senyum tak bisa ia sembunyikan. Ia tak peduli jika sekitarnya akan melihat ia seperti perempuan gila atau bahkan di dalam lift nanti orang-orang akan melihatnya tersenyum. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak terus tersenyum karena ulah Lion. Jemarinya bahkan sedikit bergetar karena menerima pesan singkat itu.
Astaga, apa yang Lion perbuat padanya hingga ia merasa seperti perempuan sedang di mabuk cinta? Padahal ini hanya kata-kata penyemangat saja, tapi ia sudah berpikiran yang aneh.
"Terima kasih, Lion. Jaga dirimu baik-baik, ya. Kalau kau tidak di kafe nanti, beritahu aku harus bertemu di mana. Jangan tersesat." Ia membalas pesan itu, seolah tak berpengaruh apa-apa, padahal jangan tanyakan bagaimana detak jantung yang semula berdetak normal, kini mampu berpacu lebih cepat.
"Huh!" Ia mengembuskan napas kemudian keluar dari lift dengan senyum merekah, siap menyambut pekerjaannya yang menumpuk dengan senang hati.
***
Lion menyeruput minumannya, sebelum ia menerima pesan balasan dari Winter. Ia kira Winter tidak akan membalas dan hanya membaca. Jadi, hal yang membingungkan jika ia tidak terkejut. Perempuan itu memang bisa membuatnya tak berkutik. Winter sulit ditebak dan anehnya Winter berhasil menebaknya. Ah, mengingat perempuan itu, ia sama sekali tak sabar untuk bertemu.
"Kalau aku sudah ingat nanti, aku janji akan mengabulkan apa yang kau mau," janjinya sembari menatap layar ponsel, seolah mampu berbicara langsung pada Winter tanpa perantara. Mungkin terkesan aneh jika ia terus mengharapkan hal itu, tapi pada kenyataannya, ia memang berharap segera ingat agar dapat memberikan apa pun yang Winter mau. Ia tidak tahu apakah jati dirinya adalah pengusaha, koki, atau apa pun itu, yang penting ia ingin membahagiakan Winter bagaimanapun caranya.
Matanya teralihkan ke dompet cokelat yang tergeletak di lantai dan beralih pada lelaki yang sepertinya terburu-buru untuk bekerja. Jadi, secepat kilat ia mengejar lelaki itu agar dompetnya tidak hilang.
Shivan meneguk ludah. Ke mana Adam? Sekeliling yang ia telah lihat, tidak menunjukkan pria itu di sekitarnya. Kaos putih yang dikenakan pria berwajah mirip dengan Adam bak ditelan bumi.
Remasan di rambut panjangnya semakin kasar, melampiaskan emosi karena kegagalan. Ia benci ini. Rasanya bumi pun hendak ia hancurkan. Padahal kesempatan sudah di depan mata, kenapa malah kesempatan itu hilang. Padahal ia merasa ia mengikuti pria itu tidak terlalu lama.
"Argh! Sialan, bajingan!" umpatnya keras. Tak memedulikan reaksi sekitar yang memberinya tatapan sinis dan bingung. Umpatan ini belum seberapa karena ia malah ingin meninju siapa saja yang lewat.
"Kau ke mana, brengsek?! Padahal aku sudah cukup cepat mengejarmu!" Shivan mengambil napas, menjernihkan pikiran yang dilanda panas emosi. Ia meyakini jika tidak menahan diri, sudah dipastikan api di kepalanya akan keluar dan orang akan meneriakinya gila.
"Baiklah, kau kembali ke kafe tadi, terus duduk dan minum. Bisa saja dia akan kembali ke kafe dan kau tidak perlu bersusah payah mencari." Shivan tersenyum tipis, menghibur kemarahan yang menggelegak agar tidak meledak. Ia memberi stimulus yang baik bahwa ia akan bertemu lelaki yang serupa dengan Adam nanti di kafe.
***
Shivan hampir menggebrak meja. Ia melangkah cepat, keluar dari kafetaria dengan kemarahan tertahan yang siap lepas jika disenggol sedikit, tak peduli sengaja atau tidak. Sudah hampir 20 menit ia menunggu, Adam tidak muncul. Bukankah itu artinya Adam tidak akan kembali?
Setelah masuk ke mobil, ia meninju stir, mengamuk gila di dalamnya.
"Anjing, anjing!!!" Akan ia catat hari kesialan terparahnya hari ini dan menandai jika ia akan bermusuhan dengan hari. Sedikit lagi. Sedikit lagi ia akan bertemu dengan Adam. Sedikit lagi ia akan membawa Adam kembali. Tapi kenapa semua menjadi berantakan, menghancurkan harapannya menjadi butiran halus yang tak akan bisa disatukan. Jika kepingan saja, masih ada harapan. Ini butiran! Bahkan ia merasa putus asa karena bisa saja memang itu bukan Adam atau ia kehilangan jejak Adam!
Kepalanya terdongak ke kepala kursi, memejam dengan kekecewaan besar tak terkendali. Ia bisa gila dengan kekacauan ini. Ia bisa gila karena kekacauan yang mereka sebabkan. Ia ingin mengutuk Adam yang tidak mendengar ucapannya untuk tidak menerima tantangan licik itu. Ia menyumpah serapahi Bright dan rekan setannya itu karena bertindak di luar nalar.
Memang sudah sejak di arena setelah mengetahui Adam memiliki hobi yang sama dengan kakaknya, Bright Lean, Bright tak senang dan merasa tersaingi. Apalagi Adam lebih unggul dalam berbalap karena sifat tenangnya, dibandingkan Bright yang tergesa-gesa dan mudah tersulut emosi. Shivan adalah lelaki yang pernah ditolong Adam karena penindasan yang dilakukan Bright di arena balap dan itu hampir merenggut nyawa. Kalau bukan karena balas budi dan ia merasa bertanggung jawab lebih dengan kehidupan Adam, ia tidak mungkin sepeduli ini.
Selain itu, jika Adam mati, maka Bright bisa menguasai seluruh kekayaan keluarga Green yang sebelumnya diberikan untuk Adam. Bukan tanpa alasan seluruh kekayaan keluarga Green diberikan untuk Adam. Sejak masih belia, Bright lebih condong memberontak untuk mengikuti keinginannya tanpa mau dihalang, sementara Adam adalah lelaki yang cukup penurut. Tidak, sebenarnya tidak penurut. Hanya saja, cara Adam lebih berkelas.
Mulanya saat mengetahui hobi Bright, keluarga Green menentang keras. Bagi mereka, kelakuan Bright semakin tak tahu arah dengan tindik di mana-mana, menjalani kehidupan yang kotor, dan mereka beranggapan lelaki itu mencemari nama baik keluarga.
Berbeda dengan Adam, lelaki itu tidak terlalu mementingkan penampilan. Jadi, pada saat Adam mengatakan ingin menempuh kehidupan baru dengan menjadi pembalap, keluarga yang semula menentang karena takut kembali mencoreng nama keluarga, akhirnya menyetujui karena kata-kata manis Adam dengan janji.
Peristiwa itu semakin memupuk kebencian Bright pada adiknya. Tak jarang, orang-orang lebih menyukai Adam, bahkan memuji Adam di depannya. Bright yang memang tidak suka kedamaian dan basa-basi, rela mengeluarkan tenaga lebih untuk menghajar siapa pun yang berani merendahkannya secara langsung maupun tidak.
Hampir beberapa kali tantangan yang diberikan Bright untuk Adam merenggut nyawa. Sayangnya, masih belum kesampaian karena Adam berhasil diselamatkan. Namun, tidak kali ini.
Shivan tidak tahu apakah Adam memang selamat atau tidak, tapi ia selalu meyakini jika kesempatan tidak akan pernah ada untuk ketiga kali. Pasti jika sudah ketiga kali, akan ada kesulitan yang di luar nalar. Jika tidak diberi kesempatan paling terakhir, jalan satu-satunya adalah kematian. Dan Shivan Malik masih belum menginginkan kematian untuk Adam. Baginya, lebih baik ia yang mati daripada Adam karena tanggung jawab Adam masih belum selesai. Lelaki itu masih harus banyak bertanggung jawab terhadap keluarga, kekasih yang seperti pelacur itu, dan bertanggung jawab dengan masalahnya sendiri.
Kepalan tangan di setir mobil menjadi janji terkuat. Ia harus menemukan Adam dalam keadaan hidup. Setidaknya, satu petunjuk sudah ia dapat dan ia meyakini akan ada petunjuk lainnya yang memberi keindahan di akhir.
.
.
.
TO BE CONTINUED
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembalap Miliarder ✅
RomancePertama kali publish : 18 Februari 2023 Adam Green, pembalap miliarder penyuka tantangan mengalami kecelakaan setelah menerima tantangan balapan dengan musuhnya. Tatkala membuka mata, ia kehilangan semua ingatan, semua kenangan, jati diri, tak lagi...