; ICU

965 106 22
                                    

Panas terik matahari membuat Hema mengibas ngibaskan tangan ke wajahnya. Entah kenapa sore ini sangat panas dan membuat Hema tak kuat. Jidan didepannya itu baru saja meneguk es jeruk yang tersisa sedikit lagi.

"Wah anjir lo pinter!" Jidan takjub pada Hema setelah pencairan dana dari Fakultas berhasil.

Hema dan Renata memang sudah sampai Jakarta dari hari minggu malam kemarin, kini Hema baru sampai ruangan Sekretariat dengan amplop cokelat di tangannya berisi dua gepok uang nominal seratus ribu rupiah. Selain pencairan dana yang sangat lancar, Hema juga berhasil melobi Pak Gyan perihal tambahan dana dan hasilnya pak Gyan menambahkan uang sponsor kemarin.

Selain Hema ini orangnya pintar bernegosiasi, Hema pun sangat baik dan terkenal sebagai teman yang royal. Dan teman temannya pun mengakuinya. Hema sebenarnya sudah lelah hidup dengan kepura puraan, mungkin hanya Jidan yang paham Hema orangnya seperti apa.

"Kak Hemaaa."

Itu Nira, adik tingkatnya semester 2 berlari terpogih-pogoh menghampiri Hema dan Jidan yang sedang mengenakan sepatu, rupanya ruang Sekretariat sudah mereka kunci.

"Kenapa?"

Napas Nira terengah engah, dan gadis itu seperti kesulitan untuk menelan air liurnya ditenggorokan. Rasanya tenggorokannya kering kerontang.

"Kak Jevan kecelakaan! Ak-Aku di telfon sama kak Shifa tadi." Ucap Nira.

Hema terlonjak kaget dan Jidan pun sama.

"Sekarang dimana dia?" tanya Jidan.

"RSCM." Jawab Nira dengan lirih.

"Buset!" Pekik Jidan.

Hema dan Nira berjalan cepat dibelakang Jidan mengekori pemuda itu menuju parkiran. Jantung Hema seperti hampir copot apalagi Jidan. Bagi mereka Jevan sama seperti sahabatnya, makanya Hema sekalut ini dan Jidan langsung mengintrupsi untuk menggunakan mobilnya saja. Jidan tahu Hema tidak akan bisa menyetir.

Jalanan seperti biasa, akan macet tentunya karena ini jam pulang kantor mungkin jika tidak macet jarak tempuh hanya sekitar 40-50 menit saja. Namun mereka sudah hampir satu setengah jam baru sampai parkiran RSCM.

Hema secara tergesa gesa menuju ruangan yang Nira katakan tadi. Nira dan Jidan tentunya agak kesulitan menyusul Hema belum lagi di lobi sangat banyak orang.

Bau alkohol menyeruak dimana mana, orang orang berlalu lalang disana, banyaknya orang yang sekedar menunggu dokter poli atau menunggu kerabat yang sedang sakit dan entah kenapa rumah sakit akan menjadi tempat menyedihkan bagi Jidan. Tidak, Jidan tidak memiliki pengalaman buruk tentang rumah sakit, hanya saja pasti orang orang yang datang ke tempat umum ini pasti orang yang butuh pertolongan untuk bertahan hidup.

Dilihatnya Ibu dan Bapak Jevan menangis sambil berpelukan menatap ruang ICU, begitupun Shifa yang tengah dipeluk oleh temannya, kalau tidak salah namanya Chika teman sekelas Shifa.

"Kak Shifa!"

Shila melepaskan pelukannya dari Chika dan menatap Nira dengan tatapan putus asa. Sorot matanya menyirankan kesakitan yang amat dalam dan tentunya mata Shifa sangat sembab. Rasanya gadis itu sudah tidak bertenaga untuk sekedar menjelaskan mengapa Jevan bisa seperti ini.

"Ibu, Bapak!"

Hema dan Jidan menghampiri kedua orang tua Jevan.

"Eh nak Hema, Jidan."

Ibu sudah kenal dekat dengan Jidan dan Hema karena mereka sering kali ke rumah Jidan.

Keadaan kedua orang tua Jevan tak kalah berantakannya dari keadaan Shifa. Namun mereka masih bisa tersenyum begitu melihat teman teman Jevan menjenguk. Dari sana, Hema bisa melihat bagaimana Jevan tertidur dengan tenang bersama selang oksigen di hidungnya. Hatinya semakin teriris saat melihat disana juga ada kantung darah, itu berarti Jevan kekurangan darah.

Irreplaceable | Lee Haechan ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang