; fever

917 97 6
                                    

Renata tidak pernah membayangkan jika hidupnya akan seperti ini. Kejadian kecelakaan itu membuat perempuan itu bernasib malang. Kehilangan kedua orang tua bukanlah mimpinya. Awalnya Renata tidak mau tinggal bersama paman dan bibinya. Dengan kata lain Renata tidak ingin merepotkan siapapun, namun Renata tidak memiliki pilihan lain.

Ayah dan Ibu disana pasti bangga dengan pendidikan Renata yang mendapatkan beasiswa disalah satu Universitas Negri ternama di Indonesia. Hal itu mau tak mau membuat Renata harus memilih untuk merantau ke Jakarta dan meninggalkan keluarganya serta kenangan menyakitkan dimasa lalu.

Namun siapa disangka semesta memang suka bercanda. Renata dipertemukan kembali dengan si pemberi luka itu. Tanpa permisi dan tanpa pertanda apapun, ia dipertemukan dengan Hema di organisasi ini. Mau keluar pun percuma, ia sudah terjun terlalu dalam masuk ke Himpunan Manajemen itu jadi mau tak mau dia harus menyelesaikannya.

Hema sendiri juga cukup terkejut kalah bertemu dengan mantannya itu. Alih alih bertanya kemana selama ini, Hema memilih diam. Rasa bencinya membuat Hema tutup mulut atas semua pertanyaannya selama ini. Rasa benci itu bukan berarti Hema tidak mau kembali. Ia mau saja, namun Hema menunggu Renata sakit hati dulu karena kesalahannya. Namun setelah lama kenal Renata, perempuan itu tidak menunjukkan sikap menyesal telah meninggalkannya.

Hema sering kali keluar masuk ruang sekretariat bersama perempuan yang tidak dikenali Renata dan hasilnya : Renata sama sekali tidak tertarik dan ekspresi perempuan itu terbilang datar. Meski Hema sering dekat banyak perempuan, bukan berarti semua Hema pacari. Jujur saja Hema belum bisa mencintai perempuan lain karena cintanya sudah habis di masa SMA.

Jam menunjukan pukul 10 pagi, ia baru saja selesai kelas Manajemen Bisnis. Kepalanya seperti mau pecah dan jika saja kepalanya ini sebuah mesin, mungkin sudah asap yang mengepul disana. Alias, anjrit pusing banget. Kedua kakinya dengan ringan melangkah menuju parkiran. Nanti pukul 2 ada lagi mata kuliah tambahan, mata kuliah Perpajakan. Sedikit cerita, Hema menyesal mengambil mata kuliah itu. Kenapa tidak tahun depan saja sih sekalian?

Langkahnya memelan saat ponsel di saku celananya bergetar, dilihatnya ponselnya dan disana tertera nama sang manusia yang membuat emosi Hema naik turun.

Jidan

"Hallo?"

"Heh lo dimana?"

"Baru kelar kelas, ngapa?" Hema berjalan santai mendekati mobil Terios putihnya.

"Mau ikut kagak?"

"Kemana?"

"Kossan Nata."

Hema menghembuskan napas panjang, tangannya bergerak hendak membuka pintu mobil, namun tiba tiba tangannya menggantung saat mendengar perkataan Jidan di sebrang sana.

"Demam katanya tu anak, info dari Misya sih semalem hujan hujanan."

Hema memejamkan matanya seperkian detik dan membukanya kembali, "Ya udah gue nyusul. Lo duluan aja."

"Bareng aja napa si brengsek? Gue udah di parkiran mobil!"

Hema langsung membuka mobil dan masuk ke dalam mobilnya, "Lo kan bawa--"

"Nggak! Gue bawa motor. Males, nebeng lo aja! Lo parkir belah mana?"

Hema menyugar rambutnya yang sudah berantakan. Fikirannya semrawut, kepalanya semakin pening mendengar ocehan Jidan disebrang sana. Bisa tidak sih di hari rabu ini dia sedikit bernapas lega selepas mata kuliah Manajemen Bisnis yang membuatnya seperti tercekik?

"Deket pohon beringin."

Terdengar kekehan dari sebrang sana, "Dih? Kunti lo?"

"Mau gue tinggal atau lo kesini sekarang juga?"





Irreplaceable | Lee Haechan ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang