; pasca seminar

833 93 8
                                    

Bau alkohol yang menyengat hidung Renata membuat Renata pusing, disebelah Hema ini Renata masih menahan bau yang menyengat. Dan di tempat tidur sana, Jevan sudah pulih. Ia baru sadar dari koma. Tidak ada sang kekasih disini karena Shifa sedang ada kuis. Orang tua Jevan menangis mengucap syukur kepada sang pencipta karena telah mengembalikan Jevan kepada mereka.

Di ujung tempat tidur, Hema menatap Jevan dengan tatapan lega. Ia bersyukur sahabatnya telah sadar dari koma meski nanti tidak bisa ikut acara besar ya tak apa. Yang penting Jevan sadar. Dan dibelakang Hema, Renata tak henti hentinya menatap Jevan dengan binar di kedua matanya. Jevan telah melewati masa sulitnya, dan kini hanya tinggal pemulihan saja, lusa juga Jevan bisa pulang.

Setengah jam kemudian, kedua orang tua Jevan pamit untuk mencari makan siang. Kini tersisa Hema dan Renata yang menjaga Jevan dengan selang infus yang masih setia menemaninya.

"Gimana Jogjakarta?" Tanya Jevan.

Hema merotasikan matanya dan Renata menatap Jevan dengan tatapan mematikan itu membuat Jevan terkekeh, "Mata lo takut keluar ih, Na!"

Renata menggeram, "Lo nanya itu buat apa?"

"Ya gua mau tau aja, ngapa si? Gimana gimana?''

"Biasa aja." Ucap Hema.

Biasa saja katanya? Wahh! Dia tidak tahu Renata mati matian mencoba denial akan perasaannya karena di Jogjakarta dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan Hema, belum lagi saat Hema menawarkan bantuan, lalu saat Hema khawatir dan mencarinya disaat ia hilang di Malioboro. Dan Hema bilang biasa saja? Hema rupanya tidak tahu saat itu hati Renata kembali jatuh pada Hema Lingga Permana, hanya saja Renata sampai saat ini mati matian menepis perasaan itu.

Rasa benci yang terlanjut menyelimuti hati Hema membuat pemuda itu menyangkal perasaannya. Ia berbohong kepada Jevan. Setelah 2 malam 3 hari itu membuat Hema bertanya tanya akan perasaannya kembali.

Satu hotel dengan Renata membuat hatinya melebur. Hema sendiri sering kali memperhatikan Renata saat terlelap. Ditatapnya wajah tenang gadis itu dan pernah tanpa sadar tangan Hema dibawa mengelus kepala Renata, maka tanpa sadar dia terbawa suasana lalu entah bisikan dari mana bibir Hema menabrak bibir Renata. Untungnya saat itu Hema tidak bermain cukup lama, hanya ciuman sekilas namun berbekas. Dan Renata tidak terbangun karena Hema lebih dulu sadar.

Ingatan itu yang masih berbekas di ingatan Hema, dan terkadang ingatan itu membuat pemuda itu frustasi. Kini Jevan kembali mengingatkannya pada peristiwa itu membuat wajah Hema merah padam.

"Muka lu ngapa gitu?"

Hema tersentak akan pertanyaan Jevan membuat Renata menoleh, "Hah? Kaga--"

"Disini nggak panas kan, Na?"

"Hah? Kagak ah!"

"Terus ngape muka Kahim kita merah?"

Renata mencondongkan tubuhnya mendekati Hema dan spontan Hema mundur karena tubuh Renata sangat dekat dengannya. "Muka lo merah, Hema. Lo ke--"

"Heh jangan deket deket gue!" Hema menjauhkan wajah Renata dengan telunjuknya mendorong kening gadis itu.

Hal itu membuat Renata mengerucutkan bibirnya membuat Hema menahan gemas dalam hatinya, "Galak banget!"

Jevan di tempat tidur pasien itu terkikik melihat interaksi keduanya.

"Lu jangan dulu masuk kampus, ya?"

"Kagak. Lusa gue balik, mau istirahat dulu nanti abis seminar masuk gak apa apa kan, Hem?"

Hema mengangguk, "Nggak apa apa. Sembuh dulu aja, kerjaan lo diback up Jidan, santuy." Jelas Hema dengan tersenyum.

Irreplaceable | Lee Haechan ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang